The First Call
Liburan musim semi akan segera berakhir karena hanya tersisa satu hari lagi.
Bahkan sebelum aku menyadarinya, matahari mulai terbenam.
Sudah waktunya untuk tidur.
Aku penasaran, apa yang dirasakan oleh teman-teman sekelasku saat menghabiskan malam terakhir liburan ini.
Apa mereka akan sedih sama seperti akhir pekan yang berakhir dan mulainya hari Senin? Atau mungkin mereka dipenuhi harapan untuk tahun ajaran yang baru?
Jika bertanya padaku, aku akan mengatakan hal yang serupa... Kurang lebih aku ingin pergi ke sekolah keesokan harinya.
Tentu saja banyak hal yang sulit di berbagai sisi.
Aku tidak perlu menyebutkan tentang taruhan dengan Horikita, tapi siswa dari White Room yang disebutkan Tsukishiro kemungkinan besar sudah membaur di antara kelas satu, dan juga beberapa hal lainnya. Semua itu memang merepotkan, tapi aku sudah terbiasa menjalani keseharian itu sebagai siswa di sekolah ini.
Tidak terlalu buruk jika menghabiskan hari liburan dengan bersantai, tapi yang membuatku merasa paling terpenuhi adalah.. belajar dan berolahraga seperti yang diharapkan dari para siswa.
Dan di atas semua itu...
Ada sesuatu yang berubah dari tahun lalu.
Tepat jam 10 malam, ponselku berdering.
Aku tidak perlu mengkonfirmasi siapa orang yang meghubungiku.
Karuizawa Kei.
Dia adalah teman sekelasku, dan sekarang ini dia lebih dari sekedar teman.
Dengan kata lain, panggilan dari seseorang yang bisa dikategorikan sebagai pacar.
Meskipun kami sudah resmi berpacaran, kami belum bertemu selama beberapa hari ini.
Mungkin itu karena Kei masih belum bisa menerima fakta tentang hubungan kami.
Sejak saat itu aku juga belum pernah menghubunginya sekalipun, aku hanya menunggu liburan musim semi ini berakhir. Tapi pada hari terakhir liburan.. yaitu hari ini, aku menerima pesan darinya di siang hari, isi pesannya adalah dia ingin berbicara denganku melalui ponsel pada jam 10 malam.
Dan sekarang waktunya telah tiba.
"... Ya-hoo!"
"Ah."
Sesaat baru menerima panggilan, aku sedikit canggung menjawabnya setelah jeda singkat.
"Mou, terlalu datar."
"Benarkah? Tidak, itu mungkin benar."
Jika ditanya apa itu terdengar seperti sesuatu yang akan dikatakan pacar, aku akan menjawab tidak.
"Aku sudah menunggumu untuk menghubungiku."
Apa dengan begini sudah terdengar seperti pacar?
Aku yakin dengan itu, jadi kucoba untuk mengatakannya.
"Eeeeh!?"
Dari sisi penelepon, terdengar jeritan keras bersamaan dengan suara sesuatu yang terjatuh.
"Apa yang terjadi? Apa kau baik-baik saja?"
"A-Aku baik-baik saja! Aku hanya terjatuh dari tempat tidur. Aww..."
Apa itu bisa dibilang baik-baik saja?
Kemudian dia menarik nafas dalam-dalam, sepertinya dia mencoba untuk menenangkan diri dan menyesuaikan kembali posisinya.
"Apa kamu benar-benar menungguku? Menunggu panggilanku?"
"Itu wajar kan jika seorang pacar menunggu panggilan dari kekasihnya dengan penuh harapan."
"Yah, itu memang benar.. tapi... kedengarannya tidak seperti itu."
"Aku memang berpikir begitu karena itu penting bagi kita berdua."
Kami saling menghadapi untuk pertama kalinya. Aku sebagai diriku. Dia sebagai dirinya.
Terkadang melakukan sesuatu yang tidak terduga, di lain waktu mengatakan sesuatu yang ceroboh.
Sulit untuk mengontrol itu semua.
Jadi, aku memutuskan untuk tidak terlalu memikirkannya.
Apa aku mengatakan ini secara alami? Bagaimana dengan tindakanku?
Bagaimanapun itu hanyalah kesenangan cinta yang akan kuserahkan pada diriku sendiri.
"Hmm.. mungkin begitu. Karena aku masih tidak percaya itu nyata... Kita benar-benar pacaran, kan?"
"Tentu saja kita pacaran."
"Ya... benar. Aku sudah tahu itu, tapi... Sebelumnya aku sempat berpikir, jika aku bertanya lagi tentang pengakuan cintamu padaku, kamu akan mengatakan pengakuan itu tidak pernah ada sejak awal. Itulah sebabnya aku agak terlambat menghubungimu, Kiyotaka."
Sepertinya itulah alasan dia tidak menghubungiku sampai sekarang.
"Apa kamu tahu.. sebenarnya tidak masalah jika kamu ingin menghubungiku. Kamu juga berpikir begitu, kan?"
"Aku hanya ingin menunggu panggilan darimu."
Meskipun itu kedengarannya tidak adil, aku tetap menyampaikan itu kepadanya karena dia tampak agak murung.
Tapi setelah itu percakapan segera beralih ke topik sehari-hari.
"Ah, apa kamu pernah mendengar ini? Aku hanya pergi makan bersama teman-temanku dan―"
Percakapan ini tidak memiliki makna yang dalam, tapi bagiku rasanya begitu baru dan fresh.
Hubungan kami sebelumnya hanyalah orang yang menggunakan dan orang yang digunakan.
Bukan teman atau kekasih. Kami juga tidak menyimpan kontak masing-masing di ponsel kami.
Biasanya akulah orang yang menghubunginya, bukan dia.
Orang lain mungkin akan berkata itu adalah hubungan yang menyimpang.
Tapi, itulah satu-satunya yang menghubungkan kami berdua.
Namun itu sudah berlalu. Kini dunia yang baru ada di depan mataku.
"Apa kamu mendengarkanku?"
Dia menyadari kurangnya respon dariku dan bertanya seperti itu.
"Aku mendengarkanmu dengan baik."
Dia sepertinya puas dengan jawabanku dan melanjutkan percakapan.
Topik percakapan tidak berhubungan denganku. Tapi aku cukup senang mendengarnya.
"Ngomong-ngomong, Kiyotaka. Apa tidak ada sesuatu yang ingin kamu bicarakan denganku?"
Dia memintaku untuk membicarakan sesuatu. Tampaknya dia tidak puas jika hanya dia saja yang mengemukakan topik.
Bahkan jika dia memintaku untuk membicarakan sesuatu, bagiku hal semacam itu agak sulit. Atau lebih tepatnya, aku buruk dalam hal itu.
Tidak, justru karena itu aku harus menantang diriku sendiri.
"Mari kita lihat..."
Aku ingin tahu, berapa lama aku bicara setelah itu?
Aku sedikit terkejut dengan diriku yang banyak bicara tentang hal-hal sepele, padahal aku tidak pernah seperti ini sebelumnya.
Aku hanya mengatakan hal-hal yang tidak begitu menarik bagi orang lain.
Tapi Kei tetap mendengarkanku, entah kenapa dia menikmatinya.
Terkadang dia tertawa, terkadang dia menyindirku.
Setelah itu, percakapan bergeser ke arah yang tidak terduga.
Ketika melepaskan rasa kantuknya padaku, aku memeriksa jam. Waktu sudah hampir menunjukkan jam 11 malam.
Itu berarti kami sudah berbicara kurang lebih selama satu jam.
Tidak berlebihan jika mengatakan ini adalah panggilan telepon dengan durasi terlama yang pernah kami lakukan sejauh ini.
"Mungkin kita harus segera mengakhiri percakapan ini."
Mengingat kegiatan besok hari, lebih baik kami segera mengakhiri panggilan ini.
"Itu benar."
Kei tidak menentangnya, tampaknya dia juga mengerti.
"Sampai jumpa besok. Selamat malam, Kiyotaka."
"Selamat malam, Kei."
Kami berhenti bicara setelah mengatakan itu.
"Baiklah, kalau begitu―"
Tanpa ragu-ragu, aku menekan tombol untuk mengakhiri panggilan.
"Sekarang, waktunya bersiap untuk tidur."
Aku berniat begitu tapi...
Kei meneleponku lagi meskipun kami telah mengakhiri percakapan beberapa detik yang lalu.
Apa dia lupa memberitahu sesuatu?
"Ada ap―"
"Kamu bahkan tidak ragu sedikitpun! Kenapa!?"
Jeritan yang memekakkan telinga.
Aku secara refleks menjauhkan ponsel dari telingaku, tapi aku masih bisa mendengar dengan jelas suara yang keras itu.
"Setidaknya, kamu harus merasa ragu, kan!?"
"...Maksudku, itu wajar untuk mengakhiri panggilan, kan?"
Aku merasa aliran percakapan seperti ini.. kita harus mempersiapkan diri untuk besok jadi mari kita akhiri panggilan ini. Kami berdua seharusnya merasakan hal yang sama. Tapi dia tidak suka dengan caraku mengakhiri panggilan tadi.
"T-Tapi.. kita bersenang-senang, kan!?"
"Ya. Ini pertama kalinya aku merasa senang seperti ini."
"Lalu, bagaimana aku harus mengatakannya.. apa kamu tidak merasa sedih mengakhiri percakapan kita?"
Tentu saja.. jika waktu mengizinkan kami untuk berbicara lebih lama.
"Sedikit."
"Bohong! Aku merasa kamu tidak seperti itu!"
Dia tidak menerima jawabanku dan terus menggerutu.
Syukurlah aku tidak meletakkan ponsel di dekat telingaku.
Sepertinya aku telah melakukan sesuatu yang salah, dia melanjutkan percakapan sambil merasa kesal.
Kemana perginya suasana yang baik sebelumnya? Bahkan percakapan kami sekarang hanya berisikan.. 'Aku tidak suka ini, aku tidak suka itu'.
(Tl note : ' Kata-kata ini diucapkan oleh Kei)
Jadi ini ya.. yang disebut dengan hati wanita.
Aku perlu banyak waktu untuk menganalisinya.
"Huft, huft... Ah, aku merasa begitu lega."
Setelah melampiaskan semua keluh kesalnya, dia akhirnya kembali tenang.
"Jadi... apa yang harus kulakukan?"
"Soal apa?"
"Kau tahu.. ini sudah hampir jam 11 malam."
"Ah..."
Sementara dia melampiaskan kekesalannya, waktu tidak pernah berhenti dan terus berjalan.
"Sebaiknya kau saja yang mengakhiri panggilan ini, Kei."
"Mungkin begitu."
Dia mungkin khawatir kapan aku akan mengakhiri panggilan, tapi entah kenapa dia keberatan dengan usulanku itu.
"Kamu saja yang mengakhirinya. Kali ini lakukan dengan benar, ya?"
"Lakukan... dengan benar?"
Secara tak terduga, aku baru saja menerima tugas yang tidak menyenangkan.
"Ya. Lakukan dengan cara yang tidak akan membuatku salah paham. Apa kamu tidak akan memenuhi permintaan dari pacarmu yang imut ini?"
Kata-katanya itu terdengar seolah dia menungguku untuk mengambil inisiatif.
"Permintaan? Pacar yang imut?"
"Kenapa? Ada masalah?"
"Tidak, sama sekali tidak."
Aku berdiri dan berjalan menuju komputer.
Aku mungkin akan menemukan petunjuk di internet.
"Asal kamu tahu, tidak ada gunanya browsing atau semacamnya. Aku mendengarkan dengan cermat jadi aku akan tahu kalau kamu melakukannya."
Dia memojokkanku seolah-olah dia telah membaca pergerakanku.
Dia yakin bukan gadis yang lemah, aku kagum dengannya.
Kalau begitu, satu-satunya pilihanku adalah mengandalkan kekuatanku sendiri.
Ini merupakan rintangan bagiku yang ingin memulai hubungan ini.
"Mari kita lihat―"
Aku akan memulainya setelah jeda singkat. Aku memikirkan alasan untuk mengakhiri panggilan. Cara yang tidak akan membuatnya kesal.
"Memang benar aku mengakhiri panggilan tanpa ragu-ragu. Tapi.. itu bukan berarti aku menganggapnya sepele."
Apa kata-kata yang bagus digunakan untuk mengakhiri panggilan?
Lebih baik kukatakan saja apa yang sedang aku pikirkan.
"Aku merasa sedikit sedih untuk mengakhiri panggilan ini. Tapi masih ada hari esok dan aku ingin menemuimu. Tidakkah kau merasakan hal yang sama?"
"Itu benar... Aku juga ingin bertemu denganmu, Kiyotaka..."
Sudah beberapa hari sejak kami berpacaran.
Seiring waktu berlalu, tentu saja rasa ingin bertemu semakin menguat.
"Itu sebabnya kita harus membiarkan waktu mengalir. Itulah yang kupikirkan. Bagiku tidak masalah untuk meluangkan waktu dan berbicara sampai larut malam. Tapi itu tidak akan ada akhirnya."
"Ya..."
"Alasanku mengakhiri panggilan karena aku tidak sabar untuk bertemu denganmu besok. Itulah yang kurasakan."
"Aku mengerti... jadi begitu, ya..."
"Apa kau sudah paham?"
"Ya, aku paham. Kali ini aku akan memberimu izin untuk mengakhiri percakapan kita."
Dia sepertinya sudah puas. Aku bisa mendengar suara yang lembut dan tenang melalui loudspeaker.
"Karena kau kesulitan, aku akan mengakhirinya untukmu. Kau setuju?"
"Aku setuju. Besok kita mungkin... tidak punya kesempatan untuk berbicara di sekolah, tapi... aku menantikan untuk bertemu denganmu."
"Aku juga."
Mengikuti alur percakapan, aku menekan tombol untuk mengakhiri panggilan.
Setelah itu, dia tidak menghubungiku lagi.
Hubungan kami telah berubah, tapi untuk saat ini Kei masih ingin menyembunyikannya.
Peluang kami berbicara di sekolah akan terbatas hingga semua orang mengetahui faktanya.
Tapi kami mungkin masih bisa diam-diam melirik satu sama lain (curi pandang).
Akhirnya, liburan musim semi ini telah berakhir tanpa adanya hal yang belum terselesaikan.
Mulai besok aku akan menjalani awal semester yang baru.
Kuharap itu akan menjadi tenang dan damai.
Keinginanku ini belum berubah sedikitpun dari dulu hingga sekarang.
Hal yang terbaik adalah menyusuri dasar sungai ini dengan perahu kecil secara perlahan.
(Tl note : kata istilah)
Baik itu akademik, olahraga, maupun cinta. Tidak ada yang tahu kapan ini semua akan mulai bergejolak.
Namun itu―merupakan bagian dari kehidupan sekolah yang menyenangkan.
Liburan musim semi akan segera berakhir karena hanya tersisa satu hari lagi.
Bahkan sebelum aku menyadarinya, matahari mulai terbenam.
Sudah waktunya untuk tidur.
Aku penasaran, apa yang dirasakan oleh teman-teman sekelasku saat menghabiskan malam terakhir liburan ini.
Apa mereka akan sedih sama seperti akhir pekan yang berakhir dan mulainya hari Senin? Atau mungkin mereka dipenuhi harapan untuk tahun ajaran yang baru?
Jika bertanya padaku, aku akan mengatakan hal yang serupa... Kurang lebih aku ingin pergi ke sekolah keesokan harinya.
Tentu saja banyak hal yang sulit di berbagai sisi.
Aku tidak perlu menyebutkan tentang taruhan dengan Horikita, tapi siswa dari White Room yang disebutkan Tsukishiro kemungkinan besar sudah membaur di antara kelas satu, dan juga beberapa hal lainnya. Semua itu memang merepotkan, tapi aku sudah terbiasa menjalani keseharian itu sebagai siswa di sekolah ini.
Tidak terlalu buruk jika menghabiskan hari liburan dengan bersantai, tapi yang membuatku merasa paling terpenuhi adalah.. belajar dan berolahraga seperti yang diharapkan dari para siswa.
Dan di atas semua itu...
Ada sesuatu yang berubah dari tahun lalu.
Tepat jam 10 malam, ponselku berdering.
Aku tidak perlu mengkonfirmasi siapa orang yang meghubungiku.
Karuizawa Kei.
Dia adalah teman sekelasku, dan sekarang ini dia lebih dari sekedar teman.
Dengan kata lain, panggilan dari seseorang yang bisa dikategorikan sebagai pacar.
Meskipun kami sudah resmi berpacaran, kami belum bertemu selama beberapa hari ini.
Mungkin itu karena Kei masih belum bisa menerima fakta tentang hubungan kami.
Sejak saat itu aku juga belum pernah menghubunginya sekalipun, aku hanya menunggu liburan musim semi ini berakhir. Tapi pada hari terakhir liburan.. yaitu hari ini, aku menerima pesan darinya di siang hari, isi pesannya adalah dia ingin berbicara denganku melalui ponsel pada jam 10 malam.
Dan sekarang waktunya telah tiba.
"... Ya-hoo!"
"Ah."
Sesaat baru menerima panggilan, aku sedikit canggung menjawabnya setelah jeda singkat.
"Mou, terlalu datar."
"Benarkah? Tidak, itu mungkin benar."
Jika ditanya apa itu terdengar seperti sesuatu yang akan dikatakan pacar, aku akan menjawab tidak.
"Aku sudah menunggumu untuk menghubungiku."
Apa dengan begini sudah terdengar seperti pacar?
Aku yakin dengan itu, jadi kucoba untuk mengatakannya.
"Eeeeh!?"
Dari sisi penelepon, terdengar jeritan keras bersamaan dengan suara sesuatu yang terjatuh.
"Apa yang terjadi? Apa kau baik-baik saja?"
"A-Aku baik-baik saja! Aku hanya terjatuh dari tempat tidur. Aww..."
Apa itu bisa dibilang baik-baik saja?
Kemudian dia menarik nafas dalam-dalam, sepertinya dia mencoba untuk menenangkan diri dan menyesuaikan kembali posisinya.
"Apa kamu benar-benar menungguku? Menunggu panggilanku?"
"Itu wajar kan jika seorang pacar menunggu panggilan dari kekasihnya dengan penuh harapan."
"Yah, itu memang benar.. tapi... kedengarannya tidak seperti itu."
"Aku memang berpikir begitu karena itu penting bagi kita berdua."
Kami saling menghadapi untuk pertama kalinya. Aku sebagai diriku. Dia sebagai dirinya.
Terkadang melakukan sesuatu yang tidak terduga, di lain waktu mengatakan sesuatu yang ceroboh.
Sulit untuk mengontrol itu semua.
Jadi, aku memutuskan untuk tidak terlalu memikirkannya.
Apa aku mengatakan ini secara alami? Bagaimana dengan tindakanku?
Bagaimanapun itu hanyalah kesenangan cinta yang akan kuserahkan pada diriku sendiri.
"Hmm.. mungkin begitu. Karena aku masih tidak percaya itu nyata... Kita benar-benar pacaran, kan?"
"Tentu saja kita pacaran."
"Ya... benar. Aku sudah tahu itu, tapi... Sebelumnya aku sempat berpikir, jika aku bertanya lagi tentang pengakuan cintamu padaku, kamu akan mengatakan pengakuan itu tidak pernah ada sejak awal. Itulah sebabnya aku agak terlambat menghubungimu, Kiyotaka."
Sepertinya itulah alasan dia tidak menghubungiku sampai sekarang.
"Apa kamu tahu.. sebenarnya tidak masalah jika kamu ingin menghubungiku. Kamu juga berpikir begitu, kan?"
"Aku hanya ingin menunggu panggilan darimu."
Meskipun itu kedengarannya tidak adil, aku tetap menyampaikan itu kepadanya karena dia tampak agak murung.
Tapi setelah itu percakapan segera beralih ke topik sehari-hari.
"Ah, apa kamu pernah mendengar ini? Aku hanya pergi makan bersama teman-temanku dan―"
Percakapan ini tidak memiliki makna yang dalam, tapi bagiku rasanya begitu baru dan fresh.
Hubungan kami sebelumnya hanyalah orang yang menggunakan dan orang yang digunakan.
Bukan teman atau kekasih. Kami juga tidak menyimpan kontak masing-masing di ponsel kami.
Biasanya akulah orang yang menghubunginya, bukan dia.
Orang lain mungkin akan berkata itu adalah hubungan yang menyimpang.
Tapi, itulah satu-satunya yang menghubungkan kami berdua.
Namun itu sudah berlalu. Kini dunia yang baru ada di depan mataku.
"Apa kamu mendengarkanku?"
Dia menyadari kurangnya respon dariku dan bertanya seperti itu.
"Aku mendengarkanmu dengan baik."
Dia sepertinya puas dengan jawabanku dan melanjutkan percakapan.
Topik percakapan tidak berhubungan denganku. Tapi aku cukup senang mendengarnya.
"Ngomong-ngomong, Kiyotaka. Apa tidak ada sesuatu yang ingin kamu bicarakan denganku?"
Dia memintaku untuk membicarakan sesuatu. Tampaknya dia tidak puas jika hanya dia saja yang mengemukakan topik.
Bahkan jika dia memintaku untuk membicarakan sesuatu, bagiku hal semacam itu agak sulit. Atau lebih tepatnya, aku buruk dalam hal itu.
Tidak, justru karena itu aku harus menantang diriku sendiri.
"Mari kita lihat..."
Aku ingin tahu, berapa lama aku bicara setelah itu?
Aku sedikit terkejut dengan diriku yang banyak bicara tentang hal-hal sepele, padahal aku tidak pernah seperti ini sebelumnya.
Aku hanya mengatakan hal-hal yang tidak begitu menarik bagi orang lain.
Tapi Kei tetap mendengarkanku, entah kenapa dia menikmatinya.
Terkadang dia tertawa, terkadang dia menyindirku.
Setelah itu, percakapan bergeser ke arah yang tidak terduga.
Ketika melepaskan rasa kantuknya padaku, aku memeriksa jam. Waktu sudah hampir menunjukkan jam 11 malam.
Itu berarti kami sudah berbicara kurang lebih selama satu jam.
Tidak berlebihan jika mengatakan ini adalah panggilan telepon dengan durasi terlama yang pernah kami lakukan sejauh ini.
"Mungkin kita harus segera mengakhiri percakapan ini."
Mengingat kegiatan besok hari, lebih baik kami segera mengakhiri panggilan ini.
"Itu benar."
Kei tidak menentangnya, tampaknya dia juga mengerti.
"Sampai jumpa besok. Selamat malam, Kiyotaka."
"Selamat malam, Kei."
Kami berhenti bicara setelah mengatakan itu.
"Baiklah, kalau begitu―"
Tanpa ragu-ragu, aku menekan tombol untuk mengakhiri panggilan.
"Sekarang, waktunya bersiap untuk tidur."
Aku berniat begitu tapi...
Kei meneleponku lagi meskipun kami telah mengakhiri percakapan beberapa detik yang lalu.
Apa dia lupa memberitahu sesuatu?
"Ada ap―"
"Kamu bahkan tidak ragu sedikitpun! Kenapa!?"
Jeritan yang memekakkan telinga.
Aku secara refleks menjauhkan ponsel dari telingaku, tapi aku masih bisa mendengar dengan jelas suara yang keras itu.
"Setidaknya, kamu harus merasa ragu, kan!?"
"...Maksudku, itu wajar untuk mengakhiri panggilan, kan?"
Aku merasa aliran percakapan seperti ini.. kita harus mempersiapkan diri untuk besok jadi mari kita akhiri panggilan ini. Kami berdua seharusnya merasakan hal yang sama. Tapi dia tidak suka dengan caraku mengakhiri panggilan tadi.
"T-Tapi.. kita bersenang-senang, kan!?"
"Ya. Ini pertama kalinya aku merasa senang seperti ini."
"Lalu, bagaimana aku harus mengatakannya.. apa kamu tidak merasa sedih mengakhiri percakapan kita?"
Tentu saja.. jika waktu mengizinkan kami untuk berbicara lebih lama.
"Sedikit."
"Bohong! Aku merasa kamu tidak seperti itu!"
Dia tidak menerima jawabanku dan terus menggerutu.
Syukurlah aku tidak meletakkan ponsel di dekat telingaku.
Sepertinya aku telah melakukan sesuatu yang salah, dia melanjutkan percakapan sambil merasa kesal.
Kemana perginya suasana yang baik sebelumnya? Bahkan percakapan kami sekarang hanya berisikan.. 'Aku tidak suka ini, aku tidak suka itu'.
(Tl note : ' Kata-kata ini diucapkan oleh Kei)
Jadi ini ya.. yang disebut dengan hati wanita.
Aku perlu banyak waktu untuk menganalisinya.
"Huft, huft... Ah, aku merasa begitu lega."
Setelah melampiaskan semua keluh kesalnya, dia akhirnya kembali tenang.
"Jadi... apa yang harus kulakukan?"
"Soal apa?"
"Kau tahu.. ini sudah hampir jam 11 malam."
"Ah..."
Sementara dia melampiaskan kekesalannya, waktu tidak pernah berhenti dan terus berjalan.
"Sebaiknya kau saja yang mengakhiri panggilan ini, Kei."
"Mungkin begitu."
Dia mungkin khawatir kapan aku akan mengakhiri panggilan, tapi entah kenapa dia keberatan dengan usulanku itu.
"Kamu saja yang mengakhirinya. Kali ini lakukan dengan benar, ya?"
"Lakukan... dengan benar?"
Secara tak terduga, aku baru saja menerima tugas yang tidak menyenangkan.
"Ya. Lakukan dengan cara yang tidak akan membuatku salah paham. Apa kamu tidak akan memenuhi permintaan dari pacarmu yang imut ini?"
Kata-katanya itu terdengar seolah dia menungguku untuk mengambil inisiatif.
"Permintaan? Pacar yang imut?"
"Kenapa? Ada masalah?"
"Tidak, sama sekali tidak."
Aku berdiri dan berjalan menuju komputer.
Aku mungkin akan menemukan petunjuk di internet.
"Asal kamu tahu, tidak ada gunanya browsing atau semacamnya. Aku mendengarkan dengan cermat jadi aku akan tahu kalau kamu melakukannya."
Dia memojokkanku seolah-olah dia telah membaca pergerakanku.
Dia yakin bukan gadis yang lemah, aku kagum dengannya.
Kalau begitu, satu-satunya pilihanku adalah mengandalkan kekuatanku sendiri.
Ini merupakan rintangan bagiku yang ingin memulai hubungan ini.
"Mari kita lihat―"
Aku akan memulainya setelah jeda singkat. Aku memikirkan alasan untuk mengakhiri panggilan. Cara yang tidak akan membuatnya kesal.
"Memang benar aku mengakhiri panggilan tanpa ragu-ragu. Tapi.. itu bukan berarti aku menganggapnya sepele."
Apa kata-kata yang bagus digunakan untuk mengakhiri panggilan?
Lebih baik kukatakan saja apa yang sedang aku pikirkan.
"Aku merasa sedikit sedih untuk mengakhiri panggilan ini. Tapi masih ada hari esok dan aku ingin menemuimu. Tidakkah kau merasakan hal yang sama?"
"Itu benar... Aku juga ingin bertemu denganmu, Kiyotaka..."
Sudah beberapa hari sejak kami berpacaran.
Seiring waktu berlalu, tentu saja rasa ingin bertemu semakin menguat.
"Itu sebabnya kita harus membiarkan waktu mengalir. Itulah yang kupikirkan. Bagiku tidak masalah untuk meluangkan waktu dan berbicara sampai larut malam. Tapi itu tidak akan ada akhirnya."
"Ya..."
"Alasanku mengakhiri panggilan karena aku tidak sabar untuk bertemu denganmu besok. Itulah yang kurasakan."
"Aku mengerti... jadi begitu, ya..."
"Apa kau sudah paham?"
"Ya, aku paham. Kali ini aku akan memberimu izin untuk mengakhiri percakapan kita."
Dia sepertinya sudah puas. Aku bisa mendengar suara yang lembut dan tenang melalui loudspeaker.
"Karena kau kesulitan, aku akan mengakhirinya untukmu. Kau setuju?"
"Aku setuju. Besok kita mungkin... tidak punya kesempatan untuk berbicara di sekolah, tapi... aku menantikan untuk bertemu denganmu."
"Aku juga."
Mengikuti alur percakapan, aku menekan tombol untuk mengakhiri panggilan.
Setelah itu, dia tidak menghubungiku lagi.
Hubungan kami telah berubah, tapi untuk saat ini Kei masih ingin menyembunyikannya.
Peluang kami berbicara di sekolah akan terbatas hingga semua orang mengetahui faktanya.
Tapi kami mungkin masih bisa diam-diam melirik satu sama lain (curi pandang).
Akhirnya, liburan musim semi ini telah berakhir tanpa adanya hal yang belum terselesaikan.
Mulai besok aku akan menjalani awal semester yang baru.
Kuharap itu akan menjadi tenang dan damai.
Keinginanku ini belum berubah sedikitpun dari dulu hingga sekarang.
Hal yang terbaik adalah menyusuri dasar sungai ini dengan perahu kecil secara perlahan.
(Tl note : kata istilah)
Baik itu akademik, olahraga, maupun cinta. Tidak ada yang tahu kapan ini semua akan mulai bergejolak.
Namun itu―merupakan bagian dari kehidupan sekolah yang menyenangkan.
~End~
Komentar
Posting Komentar
Tulis komentar