Langsung ke konten utama

Classroom of the Elite 2nd Year Volume 2 Chapter 2 Part 3

Chapter 2 : Waktu yang mengalir (Part 3)



Aku meninggalkan ruangan OSIS dan berjalan menuju gerbang sekolah.

Kiriyama, orang yang ingin menggulingkan kekuasaan Nagumo. Dia mendukung Manabu dan telah mencari berbagai cara untuk membuat rencananya berhasil, dia bahkan sampai melakukan kontak denganku saat aku masih kelas satu. Dia mungkin terlihat sudah menyerah, namun ketika mendengar adik Manabu akan bergabung dengan OSIS, ada kemungkinan dia akan mengambil tindakan.

Tapi, jika melihat Kiriyama hari ini, tampaknya pertarungan antara Kiriyama dan Nagumo sudah berakhir.

Aku bisa merasakan celah yang terbentuk di antara mereka berdua.

Yah... jika Kiriyama belum menyerah, cepat atau lambat dia akan bertindak.

"Baiklah, ini sudah cukup."

Aku tidak ingin lagi berpikir untuk hari ini.

Aku akan langsung pulang dan menghabiskan hari ini dengan bersantai.

Aku mengeluarkan ponsel dan memeriksa waktu.

[Hei, jika kamu tidak ada keperluan hari ini... Bolehkah aku datang ke kamarmu?]

Sepertinya aku terlalu fokus memperhatikan pembicaraan di ruang OSIS, sehingga tidak menyadari pesan dari Kei.

Meskipun sudah 30 menit berlalu, Kei tidak menarik kembali pesannya, mungkin dia masih menunggu balasan dariku.

Meskipun ini sudah telat, aku memutuskan untuk membalas pesan Kei, lagipula aku juga tidak ada keperluan setelah ini.

Meski kami berpacaran, kami belum mengumumkannya ke publik.

Jika kami ingin menghabiskan waktu bersama tanpa diketahui orang lain, tempat yang bisa kami kunjungi cukup terbatas.

Bahkan di asrama tidak bisa dibilang aman. Jika ada yang melihat kami berduaan, itu akan berakibat fatal.

Tapi jika itu terjadi, kami akan mencari solusinya bersama.

[Apa kau ingin datang ke kamarku?]

Aku membalas pesannya, dalam waktu satu detik, pesan itu langsung terbaca.

Apa dia kebetulan sedang memainkan ponselnya? Atau sudah menunggu dari tadi?

[Aku akan datang!]

Balasan singkat dari Kei.

[Bolehkah aku datang sekarang!?]

Kei mengirim pesan satu demi satu. Aku membalas pesannya dan mengatakan kalau saat ini aku dalam perjalanan kembali ke asrama, aku juga mengatakan bahwa dia bisa datang kapan saja setelah 20 menit kemudian, tentu saja dengan menggunakan cara yang sama seperti biasa.

Seandainya ada siswa lain di lantai kamarku, Kei pasti bisa menanganinya.

Aku tiba di asrama dalam waktu 10 menit. Aku membiarkan pintu kamarku tidak terkunci dan membersihkan kamarku sebentar. Tidak lama kemudian aku mendengar ketukan pintu sebanyak tiga kali.

Aku dan Kei telah menetapkan beberapa kode untuk pertemuan rahasia. Meskipun kebanyakan menggunakan bunyi bel pintu, aku meminta Kei mengetuk pintu tiga kali dalam situasi mendesak. Kadang-kadang aku tidak bisa membuka dan menutup pintu dengan santai, karena ada banyak siswa yang lewat di asrama.

Aku juga mengizinkannya masuk tanpa sinyal jika dia berada dalam situasi darurat.

"Aku masuk!"

Kata Kei dan buru-buru masuk ke dalam kamarku.

Kemudian dia mendorong pintu hingga tertutup dan mengatur nafas untuk menenangkan dirimya.

"Aku sangat panik ketika melihat lift berhenti di lantai 4~"

Kei meletakkan tangannya di dada, mungkin karena jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.

Melewati koridor asrama secara diam-diam memanglah sulit, wajar jika Kei merasa panik.

"Kita tidak mungkin bisa menyembunyikan hubungan kita selamanya, kan?"

"Aku tahu itu..."

Aku menaruh sepatu Kei di rak sepatu.

Untuk berjaga-jaga, aku mengunci pintu dan memasang rantai berbentuk huruf U.

Dengan begini, bahkan jika ada yang datang, aku bisa memintanya pergi tanpa membiarkan mereka masuk ke dalam.

Namun, menggunakan kunci U di dekat pintu terlihat tidak wajar.

Awalnya aku tidak pernah berencana untuk melakukan ini, tapi aku berubah pikiran sejak kejadian dengan Amasawa.

Ini lebih baik daripada membiarkan orang lain masuk dan melihatku berduaan dengan Kei di dalam kamar.

Bahkan jika terjadi situasi mendesak dimana aku harus pergi, selama aku sudah siap untuk keluar, semuanya akan baik-baik saja.

Aku akan mengatakan kalau kamarku berantakan, dan meminta mereka menunggu di luar sebentar, lalu aku akan keluar.

Kemudian, setelah aku pergi, Kei bisa pergi diam-diam dari kamarku.

"Haah... Aku merasa lega."

Kei duduk di kasur dan mengelus dadanya.

"Baguslah kalau begitu."

Pada malam hari, asrama akan dipenuhi oleh siswa yang pulang sekolah.

Mengundang seorang gadis ke kamar sangatlah beresiko. Meski tidak banyak siswa yang akan keluar dari kamar, akan jadi masalah jika ada yang tahu seorang gadis berada di dalam kamarku malam-malam.

Itu sebabnya, lebih baik kami bertemu siang hari ketika libur, atau sore hari sepulang sekolah, agar kami dapat membuat alasan.

Bahkan jika hubungan kami terungkap, setidaknya kami tidak akan dianggap melakukan hal yang aneh.

"Apa kau ingin minum sesuatu?"

Aku menanyakan itu pada Kei setelah dia menenangkan dirinya. Kei terdiam sejenak, lalu dia berjalan menuju dapur.

"Biar aku yang melakukannya."

"Ini mengejutkan, ada apa denganmu? Biasanya kau tidak akan mau melakukannya."

"Kamu pasti kesulitan membuat minuman dengan tangan terluka, kan? Lihat saja aku, bahkan aku juga tahu cara merebus air!"

Sepertinya dia khawatir dengan tangan kiriku yang sedang terluka.

"Kalau begitu aku akan menyerahkannya padamu..."

"Baiklah. Aku mau minum teh hitam. Kiyotaka, kamu mau minum apa?"

"Aku... samakan saja denganmu, Kei."

Aku ingin meringankan beban Kei, tapi itu malah jadi sebaliknya. Wajah Kei menjadi tidak senang.

"Kamu tidak percaya padaku, kan?"

"Bukan begitu ... yah, kalau begitu aku mau kopi."

"Serahkan padaku! Kopinya di tempat biasa, kan?"

Setelah mengatakan itu, Kei membuka lemari dapur.

Kemudian dia menyuruhku menunggu di ruang tamu, sepertinya dia sadar kalau aku terus menatapnya.

Akan sangat merepotkan jika membuat Kei sampai marah, aku menurutinya dan menunggu sambil menonton TV.

"Ngomong-ngomong, ada yang ingin kukatakan padamu, Kiyotaka, kamu memiliki tanggung jawab yang besar sekarang."

Sesaat ketika aku mengambil remote TV, kata-kata itu terdengar dari dapur.

"Kenapa kau tiba-tiba membahas itu?"

"Akan sulit bagi kita untuk mengungkapkan hubungan kita, karena kamu mendapat nilai sempurna dalam ujian khusus di bidang matematika."

Awalnya aku sedikit penasaran, tapi rupanya ini yang ingin dia katakan.

Memang benar, kalau  Kei mengungkapkan hubungan kami sekarang, itu akan menyebabkan masalah...

"Entah apa yang akan terjadi jika kita memberitahu hubungan kita kepada orang-orang..."

"Jadi, kita akan tetap seperti ini untuk sementara waktu?"

"Mau bagaimana lagi... itu menyebalkan, aku seolah-olah berpacaran denganmu karena status."

"Apakah berpacaran dengan seseorang karena status adalah hal yang buruk?"

"Tidak juga, aku tidak mengatakan itu buruk..."

"Berpacaran dengan gadis imut juga termasuk status bagi anak laki-laki, kan? Bukankah terlalu berlebihan jika melarang seseorang melakukan itu?"

Tentu saja prefensi setiap orang berbeda-beda, dan tidak ada yang mutlak.

Meski begitu, aku menyadari ada standar tertentu untuk setiap orang.

Aku membantah pendapatnya tentang pacaran karena status, tapi aku tidak mendengar balasan apapun darinya. Aku sempat berpikir dia sedang memikirkan cara untuk melawan, tapi nyatanya dia bergerak secara perlahan sehingga wajahnya terlihat dari dapur.

"A-Apa aku imut?"

Sepertinya dia tidak berpikir untuk melawan kata-kataku.

Dia hanya fokus pada perkataanku di bagian [pacaran dengan gadis imut].

"Apa menurutmu aku akan berpacaran dengan gadis yang tidak imut?"

Sudut bibir Kei sedikit terangkat, setelah itu dia mencoba untuk melarikan diri dan tidak ingin melihat wajahku secara langsung, dia seolah berusaha untuk lepas dari pandanganku.

Ketel mulai mengeluarkan suara yang menandakan air mendidih.

Sesuatu yang membuat seseorang berpikir bahwa orang lain itu imut bukan hanya sebatas penampilan saja. Kepribadian dan bentuk tubuh, suara dan sikap, latar belakang dan pendidikan. Berbagai jenis faktor itu akan tumpang tindih dan membuat seseorang merasa bahwa orang lain terlihat imut.

"Ahhh... aku, aku juga berpikir kamu sangat keren, Kiyotaka."

Kei mengatakan itu meski aku tidak menanyakannya, lalu dia kembali ke dapur.

Setelah air di ketel mendidih, aku bisa mendengar suara air dituangkan ke dalam cangkir, ketika aku berulang kali mengganti siaran TV.

Tidak butuh waktu lama bagi Kei untuk menyelesaikannya, dia kembali dan menempatkan cangkir kopi di atas meja dengan bangga. Meskipun Kei mengatakan ingin minum teh hitam, entah bagaimana minumannya berubah menjadi cafe au lait.

"Terima kasih."

"Sama-sama."

Kami meletakkan buku pelajaran kelas satu di atas meja.

Lalu kami menyiapkan notebook dan pulpen, agar kami terlihat seperti sedang belajar.

Dengan begitu, bahkan jika terjadi sesuatu yang tak terduga, kami bisa mengelak dengan alasan kami sedang belajar.

Jika memungkinkan, aku tidak ingin situasi seperti itu terjadi.

Dari saat Kei memasuki ruangan, hingga sekarang, semuanya merupakan strategi pertahanan untuk mencegah kejadian dengan Amasawa terulang kembali.

Setelah itu, kami menghabiskan waktu dengan membicarakan hal-hal yang tidak penting.

Mulai dari yang kualami di sekolah hari ini, dan beberapa hari yang lalu.

Siapa yang kami temui saat Golden Week, dan acara TV apa saja yang kami tonton.

Kami menghabiskan waktu dengan melihat-lihat foto yang di ambil oleh Kei.

Kami membahas segala macam topik, dari yang pendek sampai yang panjang, terkadang kami mengganti topik pembicaraan secara tiba-tiba.

Kami berdua menghabiskan banyak waktu untuk membicarakan hal-hal yang tidak penting. Tapi, aku merasa ini tidaklah buruk.

Tanpa kusadari, sedikit demi sedikit aku mulai mengerti arti dari kasih sayang.

Berkencan dengan Kei di dalam kamar, kadang dia tertawa, kadang dia marah, Kei menunjukkan berbagai ekspresi kepadaku.

Saat kami membahas beberapa topik, percakapan di antara kami mulai berkurang sedikit demi sedikit. Obrolan santai pun mulai menghilang dan kami beralih ke dalam keheningan yang panjang. Suasana di kamar terasa berbeda dari yang sebelumnya.

Terhadap satu sama lain, kami mulai merasakan sesuatu.

Kami mulai menyadari sesuatu.

Tidak, ini bukan sesuatu lagi.

Aku sudah tahu apa itu.

Keinginan untuk menyentuh satu sama lain, dan mengharapkan respons dari masing-masing pihak, perasaan itu secara bertahap semakin berkembang.

Tapi, ini adalah sesuatu yang tidak perlu diucapkan.

Hanya dengan melihat mata satu sama lain, kami bisa memahami keinginan masing-masing.

Tapi, tidak mudah untuk mengambil langkah itu.

Tidak peduli seberapa baik aku mengenalnya, aku masih harus mempertimbangkan resiko yang berbandingkan 1 : 10.000.

Meskipun kami berdua menginginkan hal yang sama, aku perlu mempertimbangkan kemungkinan pihak lain menolak.

Dan jika penolakan itu terjadi, perasaan negatif akan memancar keluar seperti geyser.

Meski begitu―

Aku tetap menatap Kei yang mencoba mengalihkan pandangannya dariku.

Apakah ini tidak apa-apa? Tapi ... perasaan yang berlawanan itu saling bertabrakan satu sama lain.

Kemudian, seakan sudah menyerah, Kei mengarahkan pandangannya kepadaku.

Waktu terasa membeku, aku semakin ingin merasakannya dengan tubuhku.

Jarak antara tubuh kami berdua, dan juga wajah kami, perlahan-lahan semakin berkurang.

Kami akhirnya mencapai jarak dimana kami bisa bernafas di dekat kulit satu sama lain, dan sedikit lagi kami akan bersentuhan.

Dari mulut Kei tercium aroma kopi bercampur susu yang diminumnya tadi.

Dalam 2 detik ... 1 detik ... bibir kami akan saling bersentuhan...

―Ding Dong

Moment kami dihancurkan dengan kejam oleh bunyi bel pintu.

Hanya ada sedikit jarak yang memisahkan bibir kami yang tidak jadi bersentuhan.

Kesadaranku yang tadinya melayang, kembali menuju kenyataan secara tiba-tiba.

"Ah, eh, pintunya...?"

Kei mundur dengan panik, pipinya menjadi kemerahan, tapi aku tidak punya waktu untuk memperhatikan wajahnya dari dekat. Begitulah, karena bunyi bel itu bukan berasal dari aula, melainkan dari pintu masuk kamarku.

Interkom menunjukkan dengan jelas bahwa ini memang notifikasi panggilan dari pintu kamarku. Berbeda dengan di aula, di koridor ini tidak ada satupun kamera pengawas yang terpasang, mustahil bagiku untuk mengetahui siapa yang datang. Aku bisa saja berpura-pura sedang tidak di rumah, tapi situasinya akan jadi buruk jika pengunjung tersebut telah melihat Kei masuk ke dalam kamarku.

Lebih baik aku memeriksanya dan mencari tahu tujuannya.

"Tunggu sebentar."

"Uh, mm."

Kei sedikit mengangguk dan terlihat gugup. Karena kejadian dengan Amasawa sebelumnya, aku sudah meletakkan sepatu Kei di dalam rak sepatu untuk antisipasi. Jika ada yang datang, mereka akan mengira aku sendiri di dalam kamar.

Tapi rencana ini tidak bisa dibilang sempurna.

Solusi yang tepat adalah.. aku harus berdiri dan berbicara di koridor dengan orang yang berkunjung ke kamarku ini.

Tapi jika dia ingin masuk ke kamarku, itu pasti akan menimbulkan kecurigaan. Membawa seorang gadis ke dalam kamar, bahkan sampai menyembunyikan sepatunya. Hal semacam itu pasti akan tersebar.

Sepertinya, memasang kunci U di pintu adalah pilihan yang tepat.

Pengunjung itu tidak akan dapat melihat sepatu Kei dari celah pintu, dan hubunganku dengan Kei juga tidak akan terungkap.

Aku sudah menyiapkan alasanku mengunci pintu ketika nanti akan berbicara dengan pengunjung tersebut.

Selain itu, aku juga bisa menunda percakapan, setelah itu aku akan pergi dari kamar.

Tapi aku ingin tahu, siapa orangnya?

Apakah Horikita? Atau siswa laki-laki? Sambil memikirkan hal ini, aku mengkonfirmasi pengunjung itu melalui 'peephole'.

(Tl note : ' artinya lubang untuk mengintip tamu yang datang, biasanya terpasang di pintu kamar hotel atau asrama, tapi ada juga di rumah pribadi..)

Hal pertama yang kulihat adalah rambut berwarna merah.

"Senpai~"

Diikuti dengan suara imut yang dibuat-buat.

Dia seolah tahu bahwa aku mengawasinya dari lubang pintu.

"Ini aku~"

Dari suaranya, dia sepertinya yakin kalau aku ada di dalam kamar.

Gadis dengan pakaian kasual itu tersenyum.

Kedua tangannya bebas, dia sepertinya tidak membawa apapun.

Aku perlahan melepaskan kunci dan membuka pintu.

Semenjak akhir April lalu, aku belum melakukan kontak dengan Amasawa Ichika Kelas 1-A.

Kemunculannya ini membuatku sedikit terkejut.

Demi membantu rencana Housen, dia mengambil pisau yang digunakan Housen pada kejadian sebelumnya dari dapurku, dia harusnya sadar bahwa aku sudah mengetahui kerja sama nya dengan Housen, lebih masuk akal jika Amasawa menjaga jarak dariku.

Namun, Amasawa yang muncul di depanku sekarang ini, tidak terlihat seperti orang yang merasa bersalah.

Apa dia pikir aku tidak tahu keterlibatannya dengan Housen?

Tidak, ketika Housen menjalankan rencananya, aku sudah tahu kalau Amasawa terlibat dalam hal itu.

"Bagaimana kau bisa masuk ke asrama kelas dua?"

"Aku mengikuti seorang senpai kelas dua yang kembali ke asrama. Aku ingin memberimu kejutan, Ayanokouji-senpai."

Jika dia menggunakan telepon di lobi, aku akan mengetahui kedatangannya.

Dia menggunakan siswa lain untuk menghindari situasi itu.

"Jadi, apa yang kau inginkan?"

"Apa tanganmu sudah sembuh? Aku datang menemuimu karena aku khawatir padamu."

Amasawa tidak mencoba menutupi fakta bahwa dia terlibat dalam masalah itu.

Sebaliknya, dia sengaja menunjukkannya.

Dia kemudian menyentuh kunci U dengan jari telunjuk tangan kanannya.

"Bisakah kamu membuka kunci ini ... Senpai?"

Sambil mempertahankan senyumannya, Amasawa mengarahkan matanya ke arah rak sepatu, tempat aku menyembunyikan sepatu Kei.

Apakah dia menyadari ada orang lain di dalam kamarku karena aku memasang kunci U? Atau jangan-jangan ...

"Ini sudah larut malam, bisakah kita bicara besok? Aku akan mendapat masalah kalau aku ketahuan membawa kouhai perempuan ke dalam kamar malam-malam."

Kalau kedatangannya memang untuk melihat keadaan tanganku, dia akan pergi setelah mendengar kata-kata ku barusan.

Tapi sepertinya, Amasawa tidak berniat untuk pergi.

Dia meletakkan tangan kirinya di bibirnya, tindakannya itu seolah mencerminkan bahwa dia sedang berpikir.

"Senpai, kamu kelihatannya sedang nganggur, buatkan aku makanan dong."

Amasawa tiba-tiba mengganti topik pembicaraan, dia sepertinya akan menggunakan berbagai cara untuk bisa masuk ke kamarku.

"Itu benar, kan? Selain itu, kamu tidak lupa kalau aku sudah bekerja sama dengan Sudou-senpai, kan?"

Jika dia memaksa ingin masuk ke dalam, dia pasti akan menggunakan kata-kata itu, seperti yang kuperkirakan.

Aku terpaksa mengikuti keinginannya.

"Maaf, aku kehabisan bahan makanan. Tidak ada satu pun yang tersisa di kulkas."

"Eh―Benarkah―? Senpai seharusnya menyiapkan bahan cadangan."

Amasawa mengeluh padaku, tapi wajahnya terlihat puas.

"Kalau memang harus sekarang, aku akan bersiap-siap dulu. Setelah itu kita akan pergi membelinya bersama. Bagaimana?"

Meskipun kencanku dengan Kei akan berakhir, setidaknya aku dapat menghindari masalah yang tidak perlu.

Amasawa sudah pernah bertemu dengan Kei satu kali, tapi aku tidak ingin Amasawa tahu kalau Kei sering datang ke kamarku.

"Jadi begitu, senpai kehabisan bahan makanan ya ~ sayang sekali ~"

Entah kenapa wajah Amasawa terlihat senang.

"Tolong jangan di tutup pintunya, ya?"

Setelah mengatakan itu, Amasawa menghilang dari pandanganku selama beberapa detik.


Setelah itu, dia menggunakan tangan kirinya untuk mengangkat kantong plastik yang dia letakkan di lantai koridor, aku bisa melihat apa yang dia pegang melalui celah pintu. Sebelumnya aku sudah memastikan dari lubang pintu kalau dia tidak membawa apapun, tapi sepertinya memang sulit untuk melihat sesuatu yang dia letakkan di dekat kakinya dari lubang intip.

Sepertinya dia sengaja meletakkan bahan makanan itu di luar bidang penglihatanku.

Rencanaku telah gagal.

Alasanku menolak Amasawa masuk karena tidak ada bahan makanan, sudah tidak bisa kugunakan lagi.

Aku tahu Amasawa memiliki pemikiran yang tajam, tapi ini melebihi perkiraanku.

Kalau sudah begini, apa aku harus mengakui kalau aku berbohong? Dan mencari solusi lain?

Semenjak kejadian dengan Amasawa sebelumnya, aku sudah membuat banyak rencana, tapi pada akhirnya, Amasawa berhasil menghancurkannya.

Namun, aku tidak tahu apakah Amasawa akan menerima alasanku atau tidak.

Aku percaya diri jika menghadapi siswa lain, tapi aku sedikit ragu kalau menghadapi Amasawa yang sudah mengetahui hubunganku dengan Kei.

"Apa senpai berbohong padaku karena tidak ingin aku masuk ke dalam kamarmu?"

Tidak butuh waktu lama bagi Amasawa untuk menyudutkanku.

Tampaknya kedatangan Amasawa ini bukan sebuah kebetulan.

"Senpai tidak sendirian, kan?"

"Apa yang membuatmu berpikir begitu?"

Seperti yang kuduga, dia bertindak begini setelah memastikan Kei masuk ke kamarku.

Dia pasti mengawasi Kei dari suatu tempat.

"Karena ~ aku melihatnya. Aku sudah mengawasi Karuizawa-senpai sejak dia pulang sekolah."

Seolah ingin membuktikan dugaanku, Amasawa langsung mengatakan kebenarannya. Setelah diam-diam mengkonfirmasi Kei masuk ke dalam kamarku, dia pergi membeli bahan makanan. Lalu dia melewati kunci otomatis dengan mengikuti seorang siswa kelas dua lainnya tanpa mempedulikan resiko terkunci dari luar, dia menjalankan rencana itu dengan berani.

"Melihatmu menyembunyikan sepatu pacarmu, apa kalian berdua melakukan sesuatu yang mesum?"

"Itu hanya tindakan pencegahan karena kami belum memberitahu hubungan kami kepada orang lain."

"Ah, jadi akhirnya senpai mengakuinya, ya? Aku tidak tahu alasan kalian menyembunyikannya, tapi aku sudah mengetahui hubungan kalian, jadi tidak perlu berbohong padaku, oke?"

Amasawa menunjukkan wajah kurang puas, dia tidak senang kalau aku berbohong padanya.

"Aku menjaga rahasia kalian karena kebaikan hatiku... Tapi aku penasaran, apa yang akan terjadi jika aku membeberkannya?"

Bahkan fakta kami tidak berpacaran di depan umum telah diselidiki oleh Amasawa.

Kalau tidak, dia tidak akan menggunakannya sebagai bahan negosiasi denganku.

Dengan kata lain, percakapan kami sekarang ini hanyalah formalitas.

Jika aku menolak permintaannya sekarang, ada kemungkinan Amasawa akan memberitahu orang-orang tentang hubunganku dengan Kei.

Jika Amasawa mengungkapkannya, itu akan menimbulkan masalah ke depannya untuk Kei.

Pada akhirnya, aku terpaksa membiarkan Amasawa masuk ke kamarku.

Aku akan menyerahkan nasibku pada takdir. Aku mengakui kekalahanku dalam kondisi pertahanan yang tidak menguntungkan.

"Tunggu sebentar, aku akan membuka kuncinya."

"Oke ~"

Amasawa menjawab dengan wajah senang. Kemudian aku menutup pintu dan memberi sinyal pada Kei bahwa tidak ada masalah. Amasawa telah melangkah sejauh ini. Kami harus menghadapinya secara langsung. Aku melepaskan kunci U dan membiarkan Amasawa masuk ke dalam kamarku.

Setelah pandangannya bertemu dengan Kei, Amasawa tersenyum lebar.

Di sisi lain, Kei berdiri dan memasang wajah masam, seolah baru menelan sesuatu yang pahit.

"Itu tidak baik lho~ pasangan muda berduaan malam-malam di kamar dengan pintu terkunci ~"

Amasawa mengatakan itu dengan penuh semangat sambil melepaskan sepatunya.

"Memangnya kenapa? Pasangan lain juga banyak yang melakukannya."

"Ya ~ itu memang benar. Tapi ketika melihat kalian berdua, aku merasa kalian telah melakukan sesuatu yang mesum."

Aku ingin menyangkal tuduhan Amasawa, tapi aku tidak bisa melakukannya, karena aku teringat kembali dengan kejadian tadi, dimana aku dan Kei hampir berciuman.

Begitu Amasawa tiba di ruang tamu, dia langsung melihat ke tempat tidur.

"Pakaian kalian tidak berantakan, tempat tidur juga masih rapi, sepertinya kalian memang tidak melakukan hal yang aneh-aneh."

"Tentu saja! Ngomong-ngomong, kenapa kamu datang ke sini!?"

Melihat kehadiran Amasawa, Kei yang sebelumnya bersikap feminim, sekarang menjadi sangat marah.

Rasa marah bercampur dengan rasa cemas.

Kei mungkin sadar kalau dia membuat Amasawa tidak senang, Amasawa akan memberitahu ke publik tentang hubungan kami.

"Kupikir kalian melakukan hubungan yang terlarang, maksudku ... berhubungan seks."

Meskipun ini adalah topik yang tidak senonoh, Amasawa dengan berani membicarakannya.

Dia tidak menujukan kata-kata itu padaku, melainkan kepada Kei.

Kei tidak memberi balasan, malahan wajahnya menjadi kemerahan, bahkan lebih merah dari sebelumnya.

Dengan wajah kemerahan, Kei bicara.. "A-Apa yang dikatakan anak ini!?"

Sepertinya Amasawa mencoba untuk mengorek informasi mengenai hubunganku dengan Kei, dan setiap kali dia mengatakan sesuatu, dia akan mengarahkan pandangannya kepada Kei untuk melihat reaksi Kei.

Setelah menyadari bahwa dia tidak bisa mendapatkan informasi yang berguna dariku, Amasawa beralih kepada Kei.

Aku memotong pembicaraan, karena aku tidak ingin Kei terbebani lebih dari ini.

"Seks dilarang dalam peraturan sekolah."

Aku menjawab Amasawa dengan tenang, sekaligus mencoba untuk menenangkan Kei yang panik.

Bahkan setelah mendengar perkataanku, Amasawa tidak menunjukkan tanda-tanda akan mundur.

"Bukankah peraturan itu hanya sekedar formalitas? Ada banyak pasangan kekasih yang bermesraan di depan umum. Bahkan toserba juga menyediakan alat kontrepsi. Ketika aku membelinya, karyawan toko pura-pura tidak menyadarinya. Yah, jika seks memang dilarang dan ada pasangan muda yang melakukannya diam-diam... itu akan jadi masalah kalau perempuannya hamil, kan?"

Setelah mengatakan itu, Amasawa mengeluarkan alat kontrepsi dari kantong belanjaannya dan meletakkan alat itu di atas meja.

Dia sepertinya ingin membuktikan kalau dia benar-benar membeli alat tersebut.

Memang benar, tanpa menggunakan alat ini, hubungan intim sepasang kekasih akan menghasilkan kehamilan.

Apa yang dilarang sekolah sebenarnya bukanlah hubungan seks tersebut, melainkan jika kami ingin melakukannya, kami harus menggunakan alat kontrepsi dan jangan sampai ketahuan.

Kei kehilangan kata-kata, matanya melihat aku, Amasawa, dan alat kontrepsi secara bergantian.

"Anggap saja ini hadiah dariku... Tidak, maksudku.. permintaan maaf."

"Aku tidak ingat kau melakukan sesuatu sampai harus meminta maaf padaku."

"Jangan pura-pura bodoh. Senpai sudah tahu kalau aku salah satu penyebab luka di tangan kirimu, kan? Senpai juga sudah tahu kalau aku bekerja sama dengan Housen-kun."

Amasawa mengatakan kebenarannya tanpa malu sedikitpun.

Aku bahkan tidak perlu memaksanya untuk mengakui hal itu, malahan dia sendiri yang mengakuinya.

"Apa itu benar...?"

Kei terkejut setelah mendengar perkataan Amasawa.

Aku harap Kei tidak akan membicarakan hal yang tidak perlu, itu juga demi dirinya sendiri.

Reaksi Kei itu sama saja seperti memberikan informasi pada pihak ketiga.

Dari situ Amasawa bisa tahu seberapa banyak yang diketahui oleh Kei, dan juga kelayakan Kei untuk diajak bicara.

"Ayanokouji-senpai, kupikir kamu sedikit salah paham?"

"Salah paham?"

"Aku bukan musuhmu, Ayanokouji-senpai."

"Kau mungkin sudah menyadarinya, tapi biarkan aku memperjelasnya. Aku tidak percaya padamu."

"Begitukah? Apa karena aku membantu Housen-kun?"

Seandainya Amasawa tidak melakukan kontak denganku, kejadiannya akan sangat berbeda.

Luka Housen tidak akan menjadi tanggung jawabku, dan rencananya mungkin akan berakhir menjadi penghancuran diri sendiri.

Tidak, jika itu Housen, dia pasti akan memikirkan cara lain untuk mengeluarkanku. Tapi karena intervensi (campur tangan) Amasawa, keberhasilan rencana Housen semakin meningkat.

"Biar aku tebak apa yang senpai pikirkan sekarang. Keterlibatanku meningkatkan persentase keberhasilan rencana Housen-kun untuk mengeluarkanmu dari sekolah. Itulah kenapa senpai berpikir bahwa kata-kataku barusan itu sangatlah konyol. Apakah itu benar? Sepertinya senpai meremehkanku."

"Aku tidak meremehkanmu. Aku hanya sedang menilai dirimu saat ini."

"Benarkah? Sepertinya tidak begitu."

Kei yang sebelumnya terdiam, akhirnya mulai bicara setelah mendengar kata-kata Amasawa.

"Tu-Tunggu dulu. Kamu bilang kamu berencana untuk mengeluarkan Kiyotaka... Apa maksdunya itu?"

Meskipun aku sudah memberitahu Kei tentang luka di tangan kiriku, aku tidak menceritakan secara detail penyebabnya.

"Hee ~"

Melihat reaksi Kei yang sangat panik, Amasawa menunjukkan senyuman aneh.

"Ayanokouji-senpai. Apa kamu belum memberitahu kejadian itu pada pacarmu? Lalu bagaimana dengan hadiah 20 juta poin itu, apa kamu juga belum menceritakannya?"

"A-Apa!? Du-Dua puluh juta poin?"

Amasawa sengaja membahas topik ini, tidak salah lagi, dia menggunakannya sebagai kesempatan untuk mengetahui lebih jauh hubunganku dengan Kei.

"Lebih baik kamu menanyakannya pada pacarmu, benar kan, senpai?"

Setelah Amasawa berkata begitu, mau tidak mau aku harus menceritakan kejadian itu pada Kei.

"Aku dan Housen-kun mencoba mengeluarkan senpai dari sekolah dengan menggunakan pisau yang kami beli di toko―Dan senpai sudah menyadari kejanggalan saat kita pergi belanja bersama, kan?"

Setelah mendengar perkataan Amasawa itu, aku mulai mengubah pendapatku tentangnya.

"Harusnya waktu itu adalah pertama kalinya aku mengunjungi toko yang menjual peralatan dapur di sekolah, tapi aku tidak ragu sedikitpun ketika memilih pisau. Kemudian, senpai memeriksanya pada karyawan toko dan mendapat informasi bahwa ada seseorang yang ingin membeli piasu yang sama dengan kita. Karena itulah senpai bisa memutuskan tindakan pencegahan terhadap rencana Housen-kun, dimana dia akan melukai dirinya sendiri... benar, kan?"

Memang benar, alasanku mengetahui tindakan yang akan dilakukan Housen karena petunjuk yang ditinggalkan oleh Amasawa.

Amasawa sengaja meninggalkan petunjuk yang berguna untukku.

Karena aku sudah tahu apa yang harus kulakukan, aku bisa bertahan menghadapi rencana Housen.

Seandainya Amasawa menjalankan perannya dengan sempurna, situasinya akan berbeda.

"Kau sangat baik."

"Senpai adalah target yang dihadiahi 20 juta poin, kurasa sangat disayangkan jika senpai dikeluarkan tanpa mengetahui penyebabnya."

Apa siswa SMA bisa berpikir sejauh ini? Aku ragu akan hal itu.

Amasawa Ichika.

Dari cara berpikirnya, wajar jika aku mengira kalau dia adalah siswa yang dikirim dari White Room.

Tapi kalau itu memang benar, ini sama saja seperti mengungkapkan identitasnya.

Apa untungnya bagi Amasawa mengungkapkannya sekarang?

Atau mungkin dia sama dengan Sakayanagi, mengasah kemampuannya sendiri di luar White Room.

Bagaimanapun, aku harus meningkatkan kewaspadaanku terhadap Amasawa.

"Ahh.. tenggorokanku kering ~ Aku mau minum kopi atau semacamnya."

Tiba-tiba Amasawa berkata begitu, dia seperti seekor kucing yang meminta makanan.

Melihat sikap dan cara bicara Amasawa, Kei menunjukkan wajah tidak senang.

"Kei, tolong buatkan secangkir kopi untuk Amasawa."

"Eh? Aku!?"

"Kalau kau tidak mau, aku yang akan membuatnya, dan kau temani Amasawa di sini."

"... Aku saja yang membuatnya."

Membuatkan kopi atau menemani Amasawa, Kei tampaknya sudah mempertimbangkannya dan memilih keputusan terbaik menurutnya.

Kemudian Kei berdiri dan berjalan menuju dapur, sementara Amasawa yang ada di belakangnya, menambahkan pesanannya.

"Jangan lupa gula dan susunya juga, ya~"

"Argh! Baiklah, baiklah!"

Kei jadi semakin kesal.

"Jangan sampai memasukkan sampah atau air kotor ke dalam kopiku hanya karena senpai tidak menyukaiku, ya~"

"Aku tidak akan melakukan hal semacam itu!"

Amasawa tidak ragu sedikit pun mengatakan sesuatu yang bisa menyakiti hati orang lain, malahan dia tertawa bahagia melihat reaksi Kei.

Tidak diragukan lagi, dia adalah iblis kecil... Tidak, bahkan lebih dari itu.

Setelah Kei menghilang dari pandanganku, aku dan Amasawa tinggal berdua di ruang tamu.

Amasawa melihat buku yang terletak di atas meja.

"Buku-buku ini terlihat agak aneh."

"Tentu saja kau akan berkata begitu karena kau sudah tahu hubungan kami"

Tidak ada gunanya lagi bepura-pura, karena dia telah mencurigai kami dari awal.

"Mari kita lihat, hmmm? Apa undang-undang yang dibuat pada konferensi umum organisasi pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan PBB di tahun 1972?"

Setelah membaca pertanyaan itu, Amasawa memegang pensil mekanik dengan tangan kirinya, lalu dia menulis jawaban "Undang-undang tentang warisan dunia" dalam buku catatan yang kosong dengan tulisan yang rapi.

"Benar, benar~"

Amasawa memuji dirinya sendiri setelah mengisi jawaban dari pertanyaan tersebut.

"Hei! Jangan menulis di buku catatanku tanpa izin!"

Kei yang menyadari tindakan Amasawa, menampakkan wajahnya dari dapur dan memperingatkan Amasawa.

"Tidak masalah, kan? Cuma sedikit doang."

"Tidak boleh!"

Setelah menunjukkan amarahnya, Kei kembali ke dapur.

"Pacarmu ... kelihatannya sangat pemarah, Senpai."

Amasawa membisikkan hal itu ke telingaku. Ini akan jadi masalah besar jika Kei melihat kami sekarang.

Untung saja Kei tidak melihatnya. Kei kembali kesini membawa secangkir kopi sambil menunjukkan wajah tidak senang kepada Amasawa.

"Ini kopimu!"

"Terima kasih, Karuizawa-senpai~"

Amasawa tersenyum sedikit.

Namun, setelah itu dia segera berdiri dan tidak meminum kopinya.

"Yah, aku sudah memberikan sesuatu sebagai permintaan maaf untuk senpai, jadi sudah waktunya aku pulang. Silahkan gunakan bahan-bahan makanan itu untuk memasak makanan yang kamu suka, Senpai~"

Setelah selesai mengatakan apa yang ingin dia katakan, Amasawa berbalik dan bersiap-siap untuk pergi.

"Hah? Apa maksudnya ini? Kamu memintaku untuk membuatkan mu kopi? Tapi kamu tidak meminumnya?"

"Aku tidak keberatan bersantai di sini. Tapi bagaimana denganmu? Apa tidak masalah?"

"Itu ... baiklah kalau begitu ... pulanglah."

"Benar kan~ Kalau begitu aku permisi~"

Sepertinya Amasawa sengaja meminta Kei membuatkannya kopi karena dia ingin mempermainkan Kei.

Apakah ini yang dimaksud ketika seseorang tidak mengetahui arti dari teror yang sebenarnya?

Amasawa berdiri dalam satu gerakan, dan pergi bagaikan angin.

Setelah Amasawa pergi, kamarku kembali tenang seperti sebelumnya.

Namun, berbeda dengan suasana yang romantis tadi, suasana saat ini terasa sedikit suram.

"Kiyotaka! Apa-apaan anak itu!?"

"Aku juga ingin tahu."

"... Dia sangat menyebalkan!"

Meski merasa kesal, Kei sadar tidak ada gunanya kami membicarakan tentang Amasawa.

Dia mengubah topik pembicaraan.

"Beritahu aku. Apa hadiah 20 juta poin itu ada kaitannya dengan luka di tangan kirimu?"

Aku tidak menceritakannya pada Kei bukan karena ingin merahasiakan itu darinya.

Aku hanya tidak ingin membuat Kei khawatir.

Tapi karena sekarang situasinya sudah seperti ini, aku tidak punya pilihan selain menceritakannya kepada Kei.

Aku memutuskan untuk memberitahu Kei tentang kejadian tersebut.

***

Komentar

Kami-sama mengatakan…
Nice, thank you min
Unknown mengatakan…
Update barunya nanti berapa hari lgi min
TORNEY mengatakan…
Semoga admin sehat selalu:)
Hamba allah mengatakan…
Dh mulai ganas nih si kiyotaka
Maniak NTR mengatakan…
Bjir dikasih kondom dong ....
Yu mengatakan…
Mantap min
Parhanjaelani mengatakan…
Kira2 brpa hari lgi update min??
Ganbate ajah✊✊✊
Adithya mengatakan…
Semangat nge tl min
Kawaii Oni chan mengatakan…
Wkwkwk mantap dong. Udah update aja nih Mimin. Cpt banget
Yoga mengatakan…
Said... update kapan min chapter 3
Dev mengatakan…
Wkwkwk, Ichika Best Girl
Humaira Chan mengatakan…
Apakah karuizawa akan sanggup dengan T-rex boy? Wkwk
Redezperado mengatakan…
Damn, gangguang disaat yg pas haha
Brian Torao mengatakan…
alat kontreps mungkin maksudnya alat kontrasepsi kan ya ? hahaha mungkinkah admin malu2 nulisnya

Postingan populer dari blog ini

Classroom of the Elite 2nd Year Volume 2

Volume 2 Ilustrasi Prolog Chapter 1 Part 1 Chapter 1 Part 2 Chapter 1 Part 3 Chapter 1 Part 4 Chapter 1 Part 5 Chapter 2 Part 1 Chapter 2 Part 2 Chapter 2 Part 3 Chapter 3 Part 1 Chapter 3 Part 2 Chapter 3 Part 3 Chapter 3 Part 4 Chapter 3 Part 5 Chapter 3 Part 6 Chapter 3 Part 7 Chapter 3 Part 8 Chapter 3 Part 9 Chapter 3 Part 10 Chapter 3 Part 11 Chapter 4 Part 1 Chapter 4 Part 2 Chapter 4 Part 3 Chapter 4 Part 4 Chapter 4 Part 5 Chapter 4 Part 6 Chapter 4 Part 7 Chapter 5 Part 1 Chapter 5 Part 2 Chapter 5 Part 3 Chapter 5 Part 4 Epilog [PDF] SS Amasawa Ichika SS Horikita Suzune SS Tsubaki Sakurako SS Shiina Hiyori

Classroom of the Elite 2nd Year Volume 1

Volume 1 Prolog Chapter 1 Chapter 2 Chapter 3 Chapter 4 Chapter 5 Part 1 Chapter 5 Part 2 Chapter 5 Part 3 Chapter 5 Part 4 Chapter 6 Part 1 Chapter 6 Part 2 Epilog SS Horikita Suzune SS Nanase Tsubasa I SS Nanase Tsubasa II SS Karuizawa Kei

Classroom of the Elite 2nd Year Volume 2 Chapter 1 Part 1

Chpater 1 : Perubahan dalam Kehidupan Sekolah (Part 1) Pada hari itu, Kelas 2-D menghadapi situasi aneh yang belum pernah terjadi sebelumnya. Teruhiko Yukimura berkali-kali menghentakkan kakinya, sambil melihat ke arah pintu masuk kelas. "Bisakah kamu tenang sedikit? Ini bahkan belum sampai 5 menit sejak Kiyopon pergi. Dia dipanggil oleh sensei, kan? Berarti dia tidak akan kembali dalam waktu dekat." Hasebe Haruka, teman sekelas sekaligus teman terdekat, berkata begitu kepada Yukimura. Sakura Airi dan Miyake Akito duduk di sebelahnya. "Aku sudah tenang... tidak perlu khawatir," jawab Yukimura. Meskipun dia berhenti menghentakkan kaki, tidak lama setelah itu dia kembali tegang. Diam-diam dia mulai menghentakkan kakinya ke atas dan ke bawah, hingga menggesek celananya. Yukimura berencana untuk bicara dengan Ayanokouji sepulang sekolah, tapi dia menundanya karena kehadiran Horikita. Kemudian dia mendengar dari gadis itu bahwa Chabashira memanggilny