Chapter 5 Part 3
Aku membawa Ike dan Shinohara melalui jalan memutar yang memakan waktu sekitar lima belas menit.
Ketika akhirnya kami menemukan jalan aman untuk menuruni lereng bukit, kami kebetulan bertemu dengan Nanase yang sedang berjalan seorang diri.
"Kenapa kau ada di sini, Nanase?"
Sudou dan yang lain seharusnya berada cukup jauh dari tempat ini.
"Itu… Uhm, aku tidak bisa lagi melihatmu dan Ike-senpai, jadi aku memutuskan untuk mencarimu…"
Jawab Nanase. Meskipun napasnya tampak stabil, dahinya dipenuhi keringat.
Sepertinya ia buru-buru mencari kami, namun tatapannya justru mengarah ke tempat lain.
"Kau sedang mencari sesuatu?"
"Tidak, tolong jangan khawatirkan itu."
Ia menolak menjelaskan lebih lanjut, pandangannya tetap terpaku ke satu arah dengan ekspresi kaku.
Lalu, seakan sebuah tombol ditekan, dia berbalik menatap Ike dan Shinohara, yang berjalan beberapa meter di belakangku.
"Aku senang Shinohara-senpai berhasil di temukan dalam keadaan selamat."
Melihat Shinohara berjalan bersama Ike, dia menghela napas lega dengan tulus.
Sejauh ini aku berjalan di depan, jadi kami menunggu sampai Ike dan Shinohara menyusul kami.
"Sudou-senpai dan yang lainnya ada di arah sini."
Sebagai orang yang paling familiar dengan rute kembali, Nanase mengambil alih dan memimpin jalan.
Sementara itu, aku memutuskan untuk memberi tahu Nanase tentang apa yang di katakan Shinohara sebelumnya.
Aku menjelaskan bahwa Shinohara melihat seseorang mendorong Komiya dan Kinoshita dari atas lereng bukit, tapi tidak di ketahui apakah pelakunya laki-laki atau perempuan.
Aku juga memberitahunya bahwa Shinohara bersembunyi karena takut ketahuan.
Dan juga, aku menambahkan satu informasi penting lainnya.
"Sepertinya tadi malam Shinohara dan teman-temannya sempat berpapasan dengan sekelompok murid tahun pertama."
"Murid tahun pertama, katamu?"
"Sepertinya mereka mendirikan perkemahan di sekitar sini. Tapi, Shinohara hanya bilang mereka cuma berpapasan, jadi kita tidak bisa langsung menuduh mereka sebagai pelaku."
"Itu benar. Tapi, aku jadi penasaran siapa murid-murid tahun pertama yang dimaksud. Kalau kita tahu, mungkin kita bisa mencari informasi atau setidaknya menemukan petunjuk."
Sekalipun mereka memang berada di sekitar area ini, akan sulit menemukannya di hutan lebat dan penuh semak seperti ini. Mungkin akan jadi cerita yang berbeda kalau mereka bertahan di satu tempat dalam waktu lama, namun kemungkinan besarnya mereka akan terus bergerak, menuju tujuan berikutnya. Bahkan, ada kemungkinan saat ini mereka justru pergi ke arah yang berlawanan.
Bagaimanapun, keterlibatan murid tahun pertama ini agak sedikit menggangguku.
Lagi pula, jika salah satu dari mereka adalah siswa White Room, mereka bisa saja melakukan perbuatan itu tanpa ragu sedikit pun.
Nanase terdiam cukup lama sampai akhirnya dia buka mulut untuk bicara.
"Senpai. Jika… memang ada seseorang yang tega menyebabkan luka separah itu, bukankah aneh kalau Komiya-senpai tidak menyadari keberadaannya sama sekali?"
"Ya. Biasanya, kau pasti akan tahu apakah ada orang di sekitarmu atau tidak."
Komiya pasti akan mengatakan sesuatu jika dia ingat pernah melihat seseorang, sekalipun orang itu adalah siswa yang tidak dia ketahui namanya.
Namun, dari cara dia bercerita, ingatannya tentang insiden itu cukup samar, dan bisa saja sebenarnya mereka sama sekali tidak diserang.
Apa benar itu hanya sebuah kecelakaan?
Atau… apa ada seseorang yang benar-benar berhasil melancarkan serangan itu tanpa diketahui sama sekali?
Jika diasumsikan pada saat kejadian tempatnya cukup gelap, maka wajar berpikiran kalau pelaku menggunakan semacam penerangan.
"Kalau itu Ayanokouji-senpai, apa Senpai bisa melakukannya tanpa di ketahui dua orang itu?"
"Aku? Jangan bercanda."
Meskipun aku menghindar dari pertanyaan itu, sebenarnya bukan tidak mungkin jika aku benar-benar berniat melakukannya.
Menurut kesaksian Komiya sebelumnya, Komiya mengatakan bahwa semuanya berawal ketika sesuatu tiba-tiba menghantam betisnya.
Dengan cara yang sama, aku bisa mendekat dari belakang tanpa suara dan menendang betisnya sebagai serangan pembuka. Hasilnya, dia akan langsung terjatuh menuruni lereng, wajahnya terpelintir oleh rasa sakit. Dia bahkan mungkin tidak akan sempat menoleh ke arahku.
"Kalau itu aku… Kalau aku yang menyerang Komiya-senpai dan Kinoshita-senpai… kurasa itu bukan hal yang mustahil. Tentu, tergantung timing-nya. Meski begitu, tetap saja itu cukup sulit dilakukan."
Nanase mengutarakan kesimpulannya sendiri. Alih-alih menyangkal kesaksian Shinohara, Nanase tampaknya juga setuju bahwa memang ada seseorang yang menyerang mereka.
Namun, sekalipun ada pelaku, motifnya tetapnlah tidak diketahui.
Apakah mereka sedang menyampaikan peringatan secara tidak langsung pada ku? Tidak, risikonya terlalu besar jika itu tujuannya.
Atau mungkin… mereka justru ingin menunjukkan bahwa mereka tidak takut mengambil risiko, sebesar apa pun itu?
Ada juga kemungkinan sesuatu yang tak terduga terjadi sehingga mereka tidak punya pilihan selain bertindak.
Tapi sejauh ini, tidak ada satu pun teori yang terasa cukup meyakinkan. Bagaimanapun, sangat mungkin pelakunya bukanlah siswa White Room. Bahkan, mungkin saja tidak ada pelaku sama sekali.
"Meski begitu, kita belum tahu apa alasan mereka berdua sampai diserang begitu."
Akhirnya, Nanase pun sampai pada kesimpulan yang sama denganku.
Motif di balik serangan itu. Bagian yang paling membingungkan dari seluruh kejadian ini.
Tak lama kemudian, kami kembali ke tempat Sudou dan yang lain, namun tak ada yang berubah semenjak kami pergi.
"Sekarang tinggal menunggu saja, kapan para guru akan tiba."
Sudah setengah jam berlalu sejak Alarm Darurat pertama kali berbunyi, namun tanda-tanda keberadaan mereka masih belum juga terlihat.
Kami berada di sudut timur laut pulau, jadi wajar jika butuh waktu cukup lama bagi mereka untuk sampai ke sini, bahkan sekalipun menggunakan perahu atau helikopter.
"Uhm~… Apa ada sesuatu yang terjadi di sini?"
Tepat saat situasi mulai terasa tak ada kemajuan, sekelompok siswa muncul dari dalam hutan dan menyapa kami.
Aku dan Nanase sempat bertukar pandang sebentar. Kelompok siswa itu adalah murid-murid tahun pertama: Mitsui Ayumi dari Kelas 1-A, Dougami Mitsuko dari Kelas 1-B, Tsubaki Sakurako dari Kelas 1-C, dan Makita Takashige dari Kelas 1-D. Totalnya, ada tiga siswa perempuan dan satu siswa laki-laki, sebuah kombinasi yang sesuai dengan kesaksian Shinohara sebelumnya.
Sebagai seseorang yang juga mendengar kesaksian Shinohara, Ike menatap keempat orang itu dengan sedikit kewaspadaan di matanya.
"Ada sedikit masalah. Kedua orang ini jatuh dari lereng dan mengalami luka yang cukup parah."
Mendengar itu, para murid tahun pertama saling berpandangan sebentar.
"Kami sedang berkemah tidak jauh dari sini ketika mendengar suara alarm dan seperti ada teriakan seseorang… Jadi kami memilih menunggu sampai agak terang sebelum datang ke sini untuk memastikan apa yang sebenarnya terjadi."
Suara alarm itu memang terdengar sangat nyaring, jadi wajar saja kalau mereka juga mendengarnya dari area sekitar.
"Ngomong-ngomong, bolehkah aku menanyakan apakah yang terluka baik-baik saja?"
Dougami, siswa perempuan yang bertindak sebagai juru bicara kelompok itu, tampak cukup cemas, begitu pula dengan Makita dan Mitsui.
Berbeda dengan mereka, Tsubaki terlihat benar-benar tenang.
Meskipun dikelilingi oleh kakak kelas, termasuk dua orang yang terluka serius, itu tampaknya tidak mempengaruhinya sama sekali.
"Mereka sepertinya tidak baik-baik saja, tapi sulit bagi kami memastikan. Saat ini, kami hanya bisa menunggu para guru tiba."
Dengan begitu, 30 menit pun berlalu.
Dan sekitar satu jam setelah Alarm Darurat pertama berbunyi, pihak sekolah akhirnya datang.
Yang tiba lebih dulu adalah Sakagami-sensei, wali kelas 2-B, dan wali kelasku sendiri, Chabashira. Selain itu, ada tiga orang dewasa lain yang tampak sebagai tenaga medis, totalnya ada lima orang.
"Baiklah, mari kita langsung membicarakan apa yang sebenarnya terjadi di sini."
Sakagami-sensei berbicara sambil mendekati Komiya, yang sudah bisa duduk, dan Kinoshita, yang masih terbaring tak sadarkan diri di sampingnya.
Semua orang mulai berkumpul di sekitarnya, seakan tertarik oleh kesempatan untuk menyaksikan sebuah TKP secara langsung.
Melihat itu, aku menjauh dari kerumunan dan menghampiri Chabashira, yang sejak tadi menatap ke arahku.
"Dari pengamatan sekilas, sepertinya akan sulit bagi Komiya dan Kinoshita untuk melanjutkan ujian ini."
"Ya. Pengunduran diri mereka hampir tak terelakkan."
Ekspresinya terlihat berat, wajar saja mengingat kelompok Komiya mencakup salah satu murid dari kelasnya sendiri.
"Apa ini hanya sekadar kecelakaan?"
"Yah… kurasa kita akan segera mengetahuinya."
Setelah memastikan penanganan medis telah dimulai, Sakagami-sensei beralih pada anggota kelompok yang tidak terluka, Shinohara, dan memberi isyarat agar dia menjelaskan.
Namun, Shinohara hanya perlu sekali melihat kondisi teman-temannya, lalu kembali menangis tersedu-sedu.
"Menangis tidak akan membawa kita ke mana pun, kau tahu itu, bukan?"
Sakagami-sensei menegurnya dengan nada keras, membuat Ike segera maju untuk melindunginya.
"Uhm, apa boleh kalau aku yang menjelaskan? Shinohara sudah menceritakan padaku apa yang terjadi."
Sepertinya dia ingin menyampaikan situasi kepada Sakagami-sensei sebagai pengganti Shinohara.
"…Baiklah, kurasa tidak masalah. Tolong jelaskan."
"Shinohara bilang kalau mereka berdua di dorong jatuh dari lereng."
Aku melirik ke arah lereng yang dimaksud ketika Ike mengulang kembali apa yang Shinohara katakan sebelumnya, tapi entah mengapa, penjelasannya terdengar agak sulit dipercaya.
"Didorong? …Cukup meresahkan."
"Kalau begitu mereka tidak perlu mundur dari ujian, kan? Benar begitu, kan!?"
"Jika itu benar, tentu saja mereka tidak perlu mengundurkan diri."
"Apa maksud Anda bilang ‘jika itu benar’? Shinohara sendiri yang bilang begitu!"
"Kalau begitu, aku akan anggap dia memiliki semacam bukti untuk mendukung perkataannya, bagaimana?"
Mendengar tanggapan Sakagami, baik Shinohara maupun Ike mendadak terdiam, sama sekali tak tahu harus berkata apa.
"Me-Meski Anda bilang begitu, tapi ini kan bukan di sekolah! Di sini tidak ada kamera pengawas atau semacamnya!”
"Namun, kalau mereka memang didorong, setidaknya salah satu dari mereka pasti melihat wajah pelakunya."
"Itu─!"
"Jadi bagaimana, Shinohara-san? Kau tidak bisa terus menangis. Lebih baik beri kami jawaban."
Satu-satunya bukti yang ada saat ini hanyalah kesaksian Shinohara sebagai anggota kelompok yang sama.
Meskipun aku bisa saja menyebutkan tentang jejak kaki misterius yang sempat kutemukan sebelumnya, tanah di sekitar area ini sudah diinjak-injak oleh banyak orang sejak tadi.
Sekalipun kusebutkan, tidak akan ada gunanya.
"Wa-Waktu itu gelap…"
"Gelap? Gelap sampai kau tidak bisa melihat wajah pelakunya?"
Sebagai jawaban, Shinohara mengangguk berulang kali, namun Sakagami-sensei hanya menghela napas panjang.
"Jadi, begitu gelap hingga kau tak bisa melihat wajahnya, tapi kau bisa melihat dengan jelas bahwa mereka didorong…? Terpaksa kukatakan, cerita yang kau buat ini terdengar terlalu ‘kebetulan’, bukan?"
Dengan itu, Sakagami-sensei mulai menekan Shinohara agar mengaku, membuat gadis itu kembali menangis tersedu-sedu.
Tangisannya sampai-sampai membuat kata-katanya tak lagi terdengar jelas, dan ia hanya bisa terus mengangguk-angguk, berusaha semampunya untuk menegaskan bahwa ia berkata jujur.
"Shinohara tidak mungkin berbohong!"
"Kau teman sekelasnya. Sudah sewajarnya kalau kau berkata begitu."
"Jadi maksud Anda, Anda tidak percaya padanya!?"
"Kalau memang dia berkata jujur, ini akan menjadi masalah yang cukup serius. Namun, kesaksian ini saja jelas tidak cukup."
"Bagaimana mungkin! Lalu apa yang akan terjadi pada Komiya dan Kinoshita!?"
"Bagaimanapun hasilnya, satu-satunya pilihan yang realistis adalah pensiun dari ujian. Sebagai wali kelas mereka, tentu aku tidak senang harus melihat mereka mundur, tapi melihat kondisi kaki mereka, mustahil untuk melanjutkan ujian ini."
Bukan berarti Sakagami-sensei sengaja bersikap kejam.
Dia hanya bersikap objektif. Kerusakan pada kaki mereka sama sekali bukan cedera ringan yang bisa pulih dalam sehari dua hari.
"Dengan kondisi saat ini, kita tidak punya pilihan selain menyimpulkan bahwa Shinohara-san berbohong untuk menutupi cedera yang timbul akibat kecelakaan ini."
"Anda pasti bercanda! Siapa juga yang percaya omong kosong macam itu!?"
Ike membalas dengan penuh emosi, sambil menggenggam bahu Shinohara yang menangis, namun balasan yang ia dapat hanyalah sikap dingin yang menusuk.
"Untuk kali ini saja, aku akan abaikan ledakan emosimu yang ceroboh itu. Mengerti?"
"Cih…!"
Menyadari bahwa dia sudah bicara terlalu lancang pada seorang guru, Ike hanya bisa menggigit bibirnya sendiri.
Selama ini, Ike dan Shinohara sudah berusaha membela diri, namun, ada sesuatu yang terasa aneh dengan cara Sakagami-sensei menanggapi mereka.
"Sepertinya Anda sudah mengetahui banyak hal bahkan sebelum datang ke sini, ya, Chabashira-sensei."
Aku menyampaikan pikiranku pada Chabashira yang berdiri di sampingku, dan dia hanya mengangguk pelan.
"Kami mengikuti sinyal GPS Komiya dan Kinoshita untuk sampai ke sini. Alarm darurat Komiya menyala pada pukul 04:56:24, sedangkan Kinoshita hanya berselang tujuh detik kemudian. Sinyal lain yang terdeteksi di sekitar lokasi saat itu hanyalah milik Shinohara. Tidak ada yang lain."
Jawab Chabashira, dengan matanya terfokus pada tablet yang dia pegang.
Seperti yang sudah kuduga.
Artinya, Sakagami-sensei juga pasti sudah memiliki informasi yang sama.
Jika ada satu saja sinyal GPS mencurigakan di area itu, tentu masih ada ruang untuk menaruh curiga. Namun, data GPS justru menyangkal adanya pelaku di tempat kejadian. Dengan begitu, kesimpulan paling logis yang bisa diambil staf sekolah adalah Shinohara telah mengarang cerita tentang pihak ketiga yang tak dikenal, semata-mata demi mendapatkan keringanan hukuman dan melindungi rekan-rekannya dari pengunduran diri secara paksa.
"Kelompok pertama yang tiba di lokasi setelah alarm berbunyi adalah lima siswa, termasuk dirimu. Berikutnya adalah kelompok empat siswa tahun pertama. Lalu kami yang terakhir tiba."
Berdasarkan catatan, tidak ada kelompok lain yang sempat berinteraksi dengan kelompok Komiya sebelum kami datang.
Informasi ini bisa dibilang cukup layak dipercaya.
Kalau begitu… mungkinkah pelakunya bukan seorang murid?
Guru dan staf pengawas ujian tidak diwajibkan memakai jam tangan, jadi mereka memang tidak memiliki sinyal GPS.
Tidak─hal itu seharusnya tidak termasuk kemungkinan juga, bukan?
Aku sudah mulai menyusun sebuah hipotesis, tapi masih ada banyak hal yang tidak cocok, termasuk fakta bahwa para guru tampak melewatkan sesuatu.
"Chabashira-sensei. Setelah ini, Anda akan kembali ke titik awal bersama Komiya dan Kinoshita, bukan?"
"Ya. Kami akan melakukan pemeriksaan lebih detail terhadap cedera mereka di kapal nanti."
"Ada sesuatu yang ingin aku minta Anda selidiki sekalian. Secara diam-diam."
Aku merendahkan suara dan berbisik di telinganya. Meskipun sempat terlihat sedikit terkejut dengan permintaanku, Chabashira akhirnya mengangguk menyetujuinya.
Namun, ada masalah yang lebih mendesak untuk dihadapi sekarang.
Dengan kepastian hampir mutlak bahwa Komiya dan Kinoshita harus mundur, Shinohara akan dibiarkan berjuang sendirian.
Bagi dirinya, bertahan hidup sendirian satu atau dua hari saja sudah mustahil, apalagi satu minggu setengah ke depan.
"Aku… A-Aku nggak bisa lanjut seperti ini…! Mustahil aku bisa melakukannya sendirian…!"
Ike hanya bisa terdiam melihat Shinohara jatuh berlutut, tak mampu menemukan kata-kata yang tepat untuk menghiburnya.
Dia hanya berdiri terpaku, terjebak dalam kebimbangan tanpa henti tentang apa yang seharusnya ia lakukan.
Aku bukan satu-satunya yang memperhatikan hal ini.
Komiya, yang beberapa detik lagi akan dibawa pergi dengan tandu oleh tim medis, juga menyadarinya.
"Ike… kemarilah sebentar."
"A-Ada apa?"
Komiya tiba-tiba memanggil Ike, memberi isyarat agar ia mendekat dalam jangkauan tangannya.
Lalu, tanpa memedulikan rasa sakit yang membebani tubuhnya, ia bangkit sedikit, melingkarkan lengannya di leher Ike, dan menariknya mendekat.
"Tunjukkan… bahwa kau bisa menjadi seorang lelaki sejati."
Setelah kata-kata singkat itu, Komiya kembali terbaring, tubuhnya hampir jatuh pasrah ke atas tandu.
Awalnya, Komiya berencana untuk menyatakan perasaannya pada Shinohara di tengah ujian ini.
Namun, sepertinya ia belum sempat melakukannya.
Mungkin sebaliknya, Shinohara justru sudah lebih dulu menceritakan sesuatu padanya tentang Ike, bahkan sebelum dia sempat menyampaikan isi hatinya.
Jika demikian, maka Komiya pasti sudah menyadari betapa besar perasaan Shinohara terhadap Ike.
Dengan kata-kata singkat itu, ia mempercayakan Shinohara─gadis yang bersumpah akan ia lindungi dengan kedua tangannya sendiri─kepada Ike, rival cintanya.
"Itu pasti berat…"
Kata Sudou, saat kami semua menyaksikan petugas medis membawa Komiya pergi.
Sepertinya, setelah melihat langsung apa yang baru saja terjadi, Sudou pun menyadari betapa sulitnya hal ini bagi Komiya.
Bukan hanya teman sekelasku yang sedang melangkah menuju kedewasaan. Hari demi hari, Komiya pun ikut berkembang, sama seperti Sudou.
Setelah keheningan singkat, Nanase berbicara kepada Shinohara, mengajukan sebuah usulan untuk menghadapi situasi berat yang menimpanya.
"Bebanmu bisa dikurangi dengan bertahan di sekitar area awal. Meskipun kamu tidak akan bisa mendapatkan poin dari mencapai area yang ditentukan, itu seharusnya sudah cukup untuk menghindari pensiun dengan paksa."
Memang benar, mungkin ini merupakan strategi terbaik yang bisa dipilih Shinohara sekarang.
Dalam sisa waktu dua minggu di pulau ini, dia hanya bisa menggantungkan harapan pada kelompok lain yang tereliminasi.
Tentu saja, jika tidak ada kelompok lain yang mundur, maka Shinohara tidak akan punya jalan keluar dari pengusiran.
Chabashira, yang mendengar saran Nanase, ikut menambahkan:
"Shinohara. Aku tidak ingin ini terdengar seperti aku sudah mengharapkanmu dikeluarkan, tapi… apa rencanamu? Akan sangat sulit bagimu melanjutkan ujian ini sendirian."
"A-Aku tahu…"
“Kalau begitu, seperti kata Nanase, paling tidak kamu bisa kembali ke pelabuhan dan bertahan sampai ujian selesai. Tidak menutup kemungkinan kamu juga bisa mengambil beberapa Tugas yang muncul di sekitar area itu."
Saran itu memang terasa kejam, namun dalam keadaan Shinohara sekarang, itu adalah pilihan paling realistis.
Jika ia mencoba melanjutkan ujian sendirian, besar kemungkinan dia akan kehabisan tenaga di tengah jalan. Dan begitu stamina dan perbekalannya habis, pada akhirnya dia pasti akan dipaksa untuk mengundurkan diri.
Sebaliknya, jika dia mengubah strategi, dia masih bisa bertahan di pelabuhan dan mungkin saja mendapatkan bantuan dari kelompok lain yang lewat. Dengan begitu, ada kemungkinan dia bisa bertahan sampai akhir.
Bagaimanapun juga, itu jauh lebih baik dibandingkan pilihan yang ada di depannya sekarang: pengusiran.
Sambil menghapus air matanya, Shinohara perlahan mengangguk.
Melihat itu, Chabashira menambahkan satu kalimat terakhir untuknya.
"Aku harap, bagaimanapun caranya, kau bisa mencapai area awal dengan usahamu sendiri."
"I-Iya… Baik."
Karena pihak sekolah tidak diizinkan memberi bantuan, Shinohara harus sampai ke pelabuhan dengan kekuatannya sendiri.
Setelah para murid tahun pertama dan Sakagami-sensei pergi, Shinohara hendak mengambil tasnya, namun Ike buru-buru meraih lengannya.
"…Apa?"
"Ja-Jangan bilang gitu aja…! Apa kau benar-benar berniat cuma kembali ke area awal dan menunggu di sana!?"
"Memangnya aku punya pilihan lain? Komiya-kun dan Kinoshita-san sudah tidak ada… Tidak mungkin aku bisa melewati ujian khusus ini sendirian."
"Tapi, tapi─"
"Lagian aku akan dikeluarkan juga, jadi biarkan aku sendiri!"
Dia segera menarik lengannya, melepaskan diri dari genggaman Ike, lalu berbalik hendak pergi.
"…"
Ike berdiri terpaku, giginya terkatup rapat menahan perasaannya dalam diam.
Ike yang dulu mungkin sudah menyerah, tak sanggup lagi melangkah maju.
Namun, kata-kata Komiya barusan telah memberinya dorongan untuk menapaki langkah berikutnya.
"A-Aku… Aku akan melakukan sesuatu soal ini!"
Dia berteriak pada Shinohara, yang mulai menutup diri dari dunia sekitarnya.
"Sudahlah, hentikan. Itu mustahil. Benar-benar mustahil."
Shinohara tetap berjalan, tanpa sedikit pun berniat mendengarkan Ike.
"Itu tidak mustahil!"
Tak tahan hanya diam melihatnya pergi, Ike berlari mengejarnya dan kembali menggenggam pergelangan tangannya sekali lagi.
"Lepaskan aku…!"
"Aku nggak akan ngelepasin! Kau pikir aku bakal diam saja dan biarin kau dikeluarkan cuma gara-gara hal kayak gini!?"
"Kenapa tidak!? Ini nggak ada hubungannya denganmu, Ike! Kalau aku keluar, kemungkinan kelompokmu dikeluarkan juga jadi makin kecil… Harusnya kamu senang kan!?"
"Senang? Omong kosong apa yang kau bilang!? Mana mungkin aku senang!?"
"Hah…?"
"Maksudku, kita bakal kehilangan banyak poin kelas kalau kau sampai dikeluarkan! Aku… eh, ya, pokoknya aku harus mencegah itu terjadi! Karena itu aku bakal membantumu, apa pun yang terjadi!"
"Itu memang benar, tapi… Gimana kalau kelompokmu sendiri malah terpuruk gara-gara kamu ngebantu aku? Belum lagi, itu juga bakal nyusahin Sudou-kun sama Hondou-kun."
"Itu─"
"Ike, kamu itu nggak pernah mikir jauh-jauh dulu, ya? Kalau terus kayak gini, cepat atau lambat kamu sendiri yang bakal dikeluarkan."
Shinohara tersenyum tipis, senyum yang lebih mirip pasrah, lalu dengan lembut menepis genggaman tangan Ike.
"Pokoknya, aku juga nggak bakal nyerah sampai akhir, jadi kamu juga harus berjuang sebaik mungkin, Ike."
Dia menolak tawaran Ike dengan halus, sebelum akhirnya berbalik pergi, kali ini dengan tekad yang jelas di langkahnya.
"Tu-Tunggu…!"
Sikap percaya diri Ike sebelumnya lenyap seketika.
Dia tidak punya cara lagi untuk menghentikan Shinohara yang terus melangkah menjauh.
"Kanji."
Melihat itu, Sudou memanggil Ike dengan senyum percaya diri. Ia menepuk dadanya dua kali, memberi dorongan tanpa kata kepada sahabatnya.
Dorongan itu membuat Ike, yang hampir menyerah, kembali melangkah maju.
"Tunggu…! Tunggu Shinohara…! Aku, aku cuma… cuma… maksudku…"
Dia berusaha mati-matian mencari kata yang tepat, tapi suaranya tercekat.
Kata-kata itu sudah ada di ujung lidahnya, tapi entah kenapa tidak bisa keluar.
Ia hanya butuh satu dorongan terakhir. Ini adalah penentu segalanya.
Namun, tak ada seorang pun—tidak aku, tidak Sudou, tidak juga Nanase—yang bisa mengatakannya untuknya.
Hanya Ike sendiri yang bisa menyampaikannya.
Dia tidak punya pilihan selain menekan rasa takut dalam hatinya dan melangkah maju dengan kekuatannya sendiri.
"Tunggu, aku bilang tunggu!"
"Ka-Kagetin aja! Aku dengar kok, astaga… Emangnya masih ada lagi yang mau kamu bicarakan?"
"Ada! Malahan ada banyak sekali yang ingin kubicarakan! Aku bener-bener nggak mau kau dikeluarkan! Itu sebabnya, aku bakal menyelamatkanmu meskipun kau nggak mau sekalipun!"
Kata-kata yang ia ucapkan… bukanlah kata-kata indah atau puitis seperti pengakuan cinta.
Tapi justru karena itu, mereka begitu jujur—kata-kata yang sepenuhnya mencerminkan diri Ike, penuh dengan emosi tulus yang ia keluarkan sampai ke batas terakhir.
"Yosh! Kalau ini pilihan Kanji, ayo kita susun strategi, Ryoutarou!"
"O-Oke!"
Sudou dan Hondou segera bergerak ke belakang Ike, berdiri kokoh di sisinya, menunjukkan dukungan penuh terhadap tekad sahabat mereka. Keduanya melambai ke arah Shinohara, mengisyaratkan agar ia datang dan bergabung bersama mereka.
"Hah…? Apa-apaan? Kalian ini bodoh ya? Padahal kalian nggak seharusnya buang waktu buat orang seperti aku, tapi kalian malah…"
Tak sudi menunggu Shinohara yang masih ragu, Ike kembali berlari ke arahnya dan menggenggam pergelangan tangannya—untuk ketiga kalinya, dan kali ini adalah yang terakhir.
Dari genggamannya, terpancar tekad yang seolah berteriak pada dunia bahwa dia tidak akan pernah melepaskannya lagi.
Melihat pemandangan itu, bahkan Chabashira yang biasanya dingin pun akhirnya memperlihatkan senyuman tipis.
Itu sepertinya sudah cukup untuk membuatnya yakin kalau Shinohara akan berada di tangan yang tepat, setelah itu Chabashira pun menghilang ke dalam hutan, berjalan ke arah yang sama dengan Sakagami-sensei dan tim medis.
Meski begitu, ini bukan waktunya untuk sekedar optimis. Bagaimanapun juga, menyelamatkan Shinohara jelas bukanlah hal yang mudah.
"Kalau ingin memastikan Shinohara bisa selamat, dia harus bisa bergabung dalam kelompok yang punya setidaknya tiga slot tambahan untuk anggota baru."
Begitu keempat orang itu berkumpul kembali, aku pun membuka suara.
Sulit untuk memastikan apakah Sudou dan kelompoknya mampu mendapatkan hak atas tiga slot itu sendirian.
"Paling realistis yah coba minta tolong sama orang dari kelas yang sama, kan?"
"Tidak ada yang salah dengan ide itu, tapi kalau seingat ku, peraturan ujian ini membuat kita mustahil mengetahui kelompok mana yang sudah mendapatkan hak untuk menambah anggota. Lagi pula, kurasa kecil kemungkinan ada kelompok yang mau menerima Shinohara-senpai, mengingat dua orang dari kelompoknya sudah lebih dulu tereliminasi. Ditambah lagi, penggabungan kelompok sendiri membawa risiko besar karena secara langsung akan mengurangi poin. Jadi daripada bersusah payah membentuk kelompok baru, lebih realistis kalau dia fokus mengumpulkan poin saja. Aku pikir sebaiknya dia terus menargetkan area tujuan dan menggunakan sisa waktunya untuk ikut serta dalam Tugas."
Nanase menyarankan agar Shinohara berhenti memikirkan soal bergabung dengan kelompok lain, dan fokus sepenuhnya mengumpulkan poin untuk seorang diri.
"Tapi bukankah lebih masuk akal kalau kita asumsikan nggak ada Tugas yang bisa dia menangkan sendirian? Paling mungkin, dia cuma bisa berharap keberuntungan, atau menunggu keajaiban kalau pesertanya nggak banyak."
"Memangnya nggak ada cara supaya dia bisa gabung ke kelompok dengan lancar, Ayanokouji?"
Di tengah percakapan, Sudou tiba-tiba menoleh padaku, seolah mengharapkan ide dari ku.
"Bukan berarti mustahil. Ada satu ide yang terlintas di benakku, dengan peluang keberhasilan yang cukup tinggi."
"Be-Benarkah!? Apa itu!?"
Aku sempat mempertimbangkan sejenak apakah sebaiknya aku memberitahukannya pada mereka, tapi pada akhirnya aku memilih untuk tidak melakukannya.
Kalau aku mengatakan rencana itu sekarang, secercah harapan pasti akan lahir di tengah keputusasaan mereka.
Namun bersamaan dengan itu, tekad mereka untuk berjuang mati-matian demi menyelamatkan Shinohara akan melemah. Karena itu, sulit untuk menyebutnya pilihan yang benar.
Yang terpenting adalah Ike dan yang lain mempertahankan mentalitas kompetitif sampai ujian ini benar-benar berakhir.
Belum lagi, ada beberapa hal yang harus kupersiapkan terlebih dahulu untuk bisa mewujudkan rencana itu.
Aku mulai berjalan ke arah tempat barang-barang diletakkan, lalu meminta Nanase untuk bersiap-siap berangkat juga.
"O-Oi, Ayanokouji? Apa sebenarnya rencanamu itu?"
"Untuk saat ini, satu-satunya yang bisa kalian lakukan adalah membiarkan Ike memimpin dalam melindungi Shinohara, lalu fokus mengumpulkan poin sebanyak mungkin. Selain itu, kalau sempat, cobalah ikuti Tugaa yang bisa menambah jumlah anggota maksimum kelompok kalian."
"Lalu, kau sendiri mau ngapain?"
"Aku akan menyiapkan rencana cadangan kalau misalnya ada sesuatu yang salah."
Itulah alasannya kenapa aku tidak punya waktu untuk berlama-lama bersama Ike dan yang lain.
"Tapi, seperti yang sudah kukatakan sebelumnya, di sini nggak ada jaminan apa pun. Dan kalau ada teman sekelas kita yang lain jatuh ke posisi lima terbawah… mungkin kita bakal dipaksa membuat keputusan sulit tentang siapa yang harus diselamatkan."
Aku ingin memastikan sejak awal bahwa mereka sadar, ada kemungkinan kami terpaksa menyerah pada Shinohara.
Ujian khusus ini memang dirancang sedemikian rupa, jadi, selama aturan lima kelompok harus menerima hukuman tertinggi tetap berlaku, maka akan selalu ada siswa yang tak bisa diselamatkan.
"Jangan lupakan itu, Ike."
"…Aku nggak akan lupa."
Sekitar dua setengah jam setelah insiden itu dimulai, akhirnya kami kembali ke area perkemahan dengan Shinohara ikut bersama kami. Kelihatannya kelompok Kei, yang sempat berkemah tidak jauh dari sini, sudah berangkat menuju area tujuan berikutnya.
Ransel milik Komiya dan Kinoshita dibawa pulang masing-masing oleh Sudou dan Ike.
"Sudou, jaga Ike dan yang lain. Dari semua orang di sini, kaulah yang paling bisa membuat keputusan masuk akal."
"Y-Ya, serahkan padaku."
Karena area tujuan berikutnya sudah diumumkan, aku mengambil kembali tablet ku dari Nanase, lalu menyelesaikan persiapan terakhir.
"Sepertinya Senpai sudah banyak menguras tenaga pagi ini…"
"Jangan khawatir. Aku masih punya cukup stamina untuk mengimbangimu."
Mulai hari ini, hari keempat ujian, sepuluh kelompok dengan peringkat tertinggi dan terendah akan diumumkan. Selain itu, hari ini juga akan ditambahkan Tugas yang memungkinkan pembentukan kelompok besar. Kalau salah satu Tugas seperti itu muncul, kapasitasnya pasti akan langsung penuh dalam sekejap, dan persaingan pun dipastikan akan berlangsung sengit.
Tapi sebelum semua itu, kami perlu memastikan area tujuan berikutnya.
Area yang kami dapatkan adalah G3, artinya kami harus bergerak ke arah barat laut dari lokasi sekarang.
Kami sudah tertinggal setengah jam dari jadwal, jadi kecil kemungkinan bisa mendapat Early Bird Bonus kali ini.
Meski perjalanan ke sana akan memakan waktu setidaknya satu jam, aku memutuskan untuk memuaskan rasa penasaranku dulu dengan memeriksa posisi kelompok saat ini.
Bukan hanya karena aku ingin tahu siapa yang memimpin, tapi lebih penting lagi, aku perlu mengecek lima kelompok terbawah—mereka yang berada di ambang pengusiran.
Nanase, yang juga tertarik, ikut mengintip layar tablet dari balik bahuku.
Sepuluh kelompok terbawah ditampilkan dalam sebuah tabel, disusun dari yang tertinggi hingga yang paling rendah. Informasinya bahkan lebih detail dari perkiraanku—tidak hanya menunjukkan nama anggota dan total skor tiap kelompok, tapi juga ada rincian umum tentang bagaimana mereka memperoleh poinnya.
"Ini─"
Dari sepuluh kelompok terbawah, tujuh di antaranya adalah murid-murid Kelas 3-B dan 3-D. Kelompok yang ada di posisi terakhir berasal dari Kelas 3-D, kelompok tiga orang dengan total 21 poin—5 dari Task dan 16 dari area tujuan. Namun, kelompok ini sempat kehilangan satu anggotanya karena sakit di hari pertama ujian, jadi wajar jika hasil yang mereka dapatkan begitu rendah.
Dari sisa tiga kelompok lain, ada satu kelompok murid tahun kedua dan dua kelompok murid tahun pertama.
Kelompok murid tahun kedua itu beranggotakan tiga teman sekelasku sendiri: Akito, Haruka, dan Airi.
"Sepertinya ada beberapa teman sekelas Senpai yang berada dalam posisi berbahaya."
Saat ini, mereka berada di peringkat sembilan dari bawah dengan total 28 poin—lebih buruk dari yang kuduga. Butuh kekuatan fisik dan ketahanan tertentu untuk bisa terus bergerak dari satu area tujuan ke area lainnya. Dengan Airi yang bermasalah dalam hal stamina, kemungkinan besar sulit bagi mereka untuk mendapatkan Arrival Bonus.
Sementara itu, dua kelompok murid tahun pertama yang masuk daftar terbawah hanya beranggotakan dua orang. Mengingat murid tahun pertama diberi izin membentuk kelompok empat orang sejak awal, masuk akal jika tak banyak dari mereka yang terpuruk di posisi bawah.
"Kalau dipikir-pikir, cukup mengejutkan juga. Tidak kusangka begitu banyak murid tahun ketiga yang terdampar di posisi bawah…"
Walau memang tak terduga, aku ragu kalau penyebabnya murni karena ketidakmampuan mereka.
Aku memutuskan untuk menunda memeriksa peringkat atas, dan menjelaskan lebih dulu pada Nanase rencana kami untuk ke depan.
"Untuk permulaan, aku akan mengincar Arrival Bonus di G3. Tapi setelah itu, aku mungkin akan melewatkan beberapa area tujuan berikutnya."
"Jadi ada tempat yang ingin Senpai tuju, meskipun harus mengorbankan area tujuan?"
"Ya. Kalau kau ingin terus fokus mengejar area tujuan, kita berpisah di G3."
"Tidak, tidak, aku akan tetap bersama Senpai. Selama Amasawa-san atau Housen-kun datang tepat waktu, kelompokku tidak akan sampai kehilangan area… Lagipula, ini kan ada hubungannya dengan rencana yang Senpai pikirkan untuk menyelamatkan Shinohara-senpai, bukan?"
Aku hanya menanggapinya dengan sebuah anggukan ringan.
Setelah itu, kami pun berangkat. Begitu sampai di G3, tujuan kami berikutnya adalah menuju starting area.
Kalau bisa, aku ingin tiba di sana paling lambat besok.
...

Komentar
Posting Komentar
Tulis komentar