Langsung ke konten utama

Classroom of the Elite 2nd Year Volume 3 Chapter 6 Part 2

 Chapter 6 Part 2


Aku dan Nanase bergerak ke arah selatan menuju area awal, namun di tengah perjalanan muncul sebuah Tugas di dekat puncak area C5, jadi kami menyesuaikan rute kami ke sana.

Tugas kali ini adalah pertandingan Tarik Tambang satu lawan satu. Waktu pendaftarannya cukup singkat, yaitu hanya 40 menit, dan jumlah pesertanya pun juga dibatasi: dua laki-laki dan dua perempuan. Syaratnya benar-benar ketat. Namun, hanya dengan ikut serta saja sudah mendapat lima poin, dan jika menang akan mendapat tambahan sepuluh poin, total lima belas poin.

Karena puncak gunung itu berjarak cukup dekat dari posisi kami, hampir mustahil ada murid lain yang bisa sampai lebih dulu kecuali mereka sudah berada di area itu sejak awal. Mengingat sebentar lagi aku akan gagal mencapai area tujuan keempat berturut-turut (dan kehilangan dua poin karenanya), aku memutuskan kami harus ikut dalam Task ini. Selain itu, ada kemungkinan besar lima belas poin itu akan jatuh ke tangan kami begitu saja jika tidak ada orang lain yang muncul.

Meski jalur pendakian cukup terjal, kami bergerak cepat dan tiba di lokasi Tugas dengan sisa waktu sekitar lima menit.

Kupikir kami akan menjadi yang pertama datang, tapi ternyata ada seseorang yang lebih dulu tiba.

‘Seseorang’ itu tampaknya menyadari kehadiran kami, namun sama sekali tidak menciba menoleh.

"Dia sampai cukup cepat ya? Pasti tadi posisinya lebih dekat daripada kita."

"Mungkin."

Sekalipun dia berada di sisi selatan C5 saat pengumuman Tugas, tetap saja butuh waktu lumayan lama untuk sampai ke sini.

"Aku nggak tahu apa ini akan membantumu memahami situasinya atau tidak, tapi dia adalah Kouenji Rokusuke."

"Kouenji…? Maksudmu Kouenji dari kelasmu yang sekarang berada di peringkat keempat dari keseluruhan? …Yah, dia memang terlihat memancarkan… semacam aura keagungan."

Bukan hanya dia tiba lebih cepat dari kami, yang lebih aneh lagi adalah kenyataan bahwa selain sebotol air mineral di tangannya, dia tidak membawa tas atau barang apa pun.

Kalau dia bergerak ringan tanpa beban, masuk akal dia bisa mendaki lebih cepat dari kami, tapi…

Itu berarti dia selama ini berkeliling tanpa tablet, meskipun itu memang sesuatu yang bisa diharapkan dari sosok seperti Kouenji.

Setelah meneguk seteguk air, dia langsung menuangkan sisa botol itu ke atas kepalanya, membasahi dirinya sendiri. Dalam arti tertentu, dia tampak seolah sedang menikmati kepuasan karena berhasil menaklukkan puncak gunung.




"Ah… betapa tampannya diriku ini, tetesan keindahan maskulin mengalir di tubuhku yang megah. Sepertinya aku telah menjadi jauh lebih kuat dibanding tahun lalu."

"Dia… sedang bilang sesuatu…? Apa dia bicara sama kita…?"

"Bukan, dia jelas-jelas bicara pada dirinya sendiri. Sepertinya dia hanya tenggelam dalam pesona dirinya sendiri."

"Be-Begitu ya…"

Merasa bingung, Nanase memiringkan kepalanya, tidak mampu memahami tingkah laku Kouenji.

Kupikir tidak akan ada murid lain yang datang, tapi karena waktu pendaftaran tinggal beberapa menit, kuputuskan untuknfokus saja menyelesaikan Task ini. Kemudian, aku dan Nanase maju untuk mendaftar dan mengamankan tempat kami dalam Task. Namun, karena aturan mengharuskan pertandingan satu lawan satu berdasarkan gender, aku terpaksa berhadapan dengan Kouenji karena kami satu-satunya peserta laki-laki. Sementara itu, Nanase menang otomatis di kategorinya karena tidak ada gadis lain yang muncul.

"Sepertinya lawanku adalah kau, Ayanokouji-boy."

"Sepertinya begitu."

Dalam Tugas sebelumnya, aku memang sempat ‘berlomba’ dengan teman sekelasku, tapi hanya sebatas ikut serta dalam kerumunan.

Namun kali ini, untuk pertama kalinya aku harus bertarung langsung satu lawan satu dengan seorang teman sekelas. Dan lawan itu tidak lain adalah Kouenji. Aku benar-benar berharap ini bukanlah takdir yang sudah ditentukan.

Staf yang bertugas memberikan kami seutas tali dan menginstruksikan agar mengikat ujungnya ke tubuh masing-masing.

Karena jumlah area tujuan yang kulewatkan hanya akan terus bertambah, aku ingin mengamankan poin sebanyak mungkin, tapi…

Daripada merebut kemenangan untuk diriku sendiri padahal aku bahkan bukan bagian dari sepuluh besar, rasanya lebih masuk akal jika kuserahkan saja poin itu pada Kouenji. Dengan 15 poin yang akan dia peroleh, dia akan melampaui skor Kiriyama yang 135 poin dan naik ke peringkat dua seorang diri, meski itu mungkin hanya sementara.

Kalau memang begitu, lebih baik aku menyerah dari awal agar tidak membuang-buang waktu dan tenaga. Aku bisa ambil lima poin partisipasi, turun gunung, lalu melanjutkan perjalanan kembali ke pelabuhan di area awal.

"Pertandingan akan segera dimulai, silakan bersiap."

"Apa ada yang salah, Senpai?"

Saat staf memberi tahu soal dimulainya pertandingan, Nanase menyadari aku sedang melamun dan bertanya.

"Tidak, aku hanya…"

"Fufu, jadi kau ini pria yang memandang sesuatu dari sisi efisiensi, hmmmm?"

Kouenji langsung menangkap isi pikiranku, seakan bisa membacanya dari wajahku.

"Kau berpikir lebih baik mundur daripada repot-repot melawanku, bukan? Bagaimanapun juga, menyerahkan poin padaku yang sedang duduk di peringkat keempat jelas akan lebih menguntungkan kelas kita. Dan juga efiesiensi waktu terbaik."

"Apa… apa itu benar, Senpai?"

"Aku tidak keberatan selama itu bisa membantu Kouenji naik peringkat."

"Namun, kurasa gadis bernama Horikita itu tidak akan terlalu senang, bukankah begitu? Bisa dibayangkan baginya lebih baik aku bertahan di posisi dua atau tiga daripada meraih posisi pertama."

Dugaan Kouenji begitu tepat sampai aku sempat bertanya-tanya apakah dia mendengar percakapanku dengan Horikita sebelumnya.

"Itu hanya berlaku kalau murid sekelas kita sendiri saling bersaing untuk posisi teratas. Tapi kenyataannya sekarang, kelompokmu adalah satu-satunya yang masuk peringkat sepuluh besar dari keseluruhan kelas 2-D. Kalau kita saling berebut poin di sini, yang ada malah mengganggu langkah kita sendiri."

"Tentu saja aku paham itu, tapi itu cuma omong kosong belaka. Fakta bahwa kau percaya bisa mengalahkanku adalah alasan utama kenapa kau punya pikiran sia-sia itu. Siapapun lawannya, yang menang tetaplah aku."

Kouenji sejauh ini sudah mengikuti banyak Tugas, dan tiap kali selalu berhasil meraih hadiah.

Dari semua kelompok yang tersebar di tiga angkatan berbeda, hanya dia yang bisa menguasai situasi sejauh ini.

Kadang dia meraih peringkat pertama, kadang kedua, tapi kalau Tugas yang menuntut kekuatan atau stamina, dia selalu menyapu bersih peringkat pertama.

Maka, wajar saja dia punya keyakinan mutlak akan menang kali ini juga.

"Ayanokouji-boy, berhentilah melebih-lebihkan dirimu sendiri dalam pikiranmu itu. Tidak setiap hari kau bisa melawan diriku yang termotivasi."

Keyakinan teguh pada kemampuan dirinya sendiri, apa pun yang terjadi, mungkin itu memang pesona terbesar Kouenji.

Perlahan aku mengambil tali di kaki ku lalu melilitkannya di pinggang.

"Baiklah, silakan ambil posisi. Aku akan mulai hitung mundur. Kalian boleh mulai menarik saat aku menyebut nol."

Yang perlu kulakukan hanya berpura-pura berusaha lalu kalah. Dengan begitu aku tidak perlu menghabiskan tenaga sia-sia.

"Sepertinya kebijaksanaanku tidak cukup memotivasimu."

Bagi Kouenji, niatku tampak begitu jelas.

"Cobalah sebisamu. Bagaimanapun, ketahuilah, sekeras apa pun kau berjuang, kemenangan tidak akan berpihak padamu kali ini."

Begitu kami sama-sama menggenggam tali, hitung mundur dimulai.

"───Tiga, dua, satu… Nol!"

Saat hitungan nol, aku menarik tali dengan sangat ringan ke arahku.

Dengan tenaga sekecil itu, seandainya Kouenji serius, dia bisa menyeretku melintasi garis dalam waktu kurang dari satu detik.

Namun, tali itu sama sekali tidak bergerak ke arahnya.

Dia berdiri di seberang dengan senyum percaya diri, menungguku untuk bersungguh-sungguh.

Meski aku tidak berniat serius, aku juga tidak ingin membuang waktu.

Mungkin lebih baik kulawan sedikit agar dia merasa terancam. Kalau aku tiba-tiba menarik dengan lebih kuat dari yang dia perkirakan, dia pasti terpaksa merespons dengan panik.

Menang dalam Tarik Tambang bukan sekadar soal tenaga. Ada gaya gesek dari tali di tangan, gesekan antara kaki dan tanah, serta gaya normal yang menahan semuanya. Dan tentu saja, gaya gravitasi juga harus diperhitungkan.

Aku menggenggam tali sekuat mungkin, menancapkan kakiku kokoh di tanah, lalu mencondongkan tubuh ke belakang tanpa menekuk pinggang.

Akhirnya, dengan menekuk lutut dan menarik tali ke dekat pinggang…

Bendera di tengah tali bergerak sedikit ke arahku. Semua sesuai perhitunganku.

Namun, pergerakannya jauh lebih kecil dari yang kuduga.

Sebuah tenaga luar biasa tiba-tiba menarik balik tali, mematahkan seranganku dalam sekejap.

"Untuk menang dalam Tarik Tambang, yang dibutuhkan bukan trik murahan, melainkan murni kekuatan."

Bukan berarti aku menahan diri, tidak sama sekali. Tapi kekuatan tarikannya begitu besar sampai bendera kembali ke posisi semula, membuat pertandingan kembali seimbang.

Dari sini, jelas aku dan Kouenji setara dalam hal kekuatan lengan.

Selain itu, berat badannya juga lebih dariku. Berat badan bisa jadi faktor paling penting dalam Tarik Tambang, dan karena aku kalah di bagian itu, akan sulit bagiku untuk menang tanpa strategi lain. Kalau aku mengeluarkan seluruh kekuatanku, mungkin bisa kuubah jadi perang ketahanan sambil menunggu dia melakukan kesalahan. Tapi itu hanya membuang waktu dan tenaga. Aku memang punya strategi lain untuk menang, tapi belum saatnya kupakai.

Rasa sakit dari tali yang kugenggam pada jari dan telapak tanganku mengingatkanku kembali, bahwa kekuatan fisik Kouenji benar-benar di luar nalar. Bahkan Sudou atau Albert yang terkenal kuat sekalipun tak ada apa-apanya dibanding orang ini. Gelar ‘Super High School-Level Student’ pun rasanya terlalu ringan untuknya.

Saat kutarik tali sekali lagi, Kouenji langsung mengimbangi gerakanku dan merespons dengan kekuatan setara.

Aku segera melepas genggaman dan berhenti menarik.

Secara alami, tali itu langsung tertarik penuh oleh Kouenji, dan dengan begitu pertandingan pun berakhir.

"Jadi kau memilih efisiensi sampai akhir, ya?"

Kouenji tampak sedikit terkejut, tapi karena hasilnya sudah jelas, dia tidak tertarik melanjutkan dan tak berkata apa-apa lagi.

"Sayang sekali ya, Senpai."

"Tidak, sekalipun aku serius, aku tetap tidak bisa menang darinya. Sudah sewajarnya berakhir seperti ini."

Di lihat secara keseluruhan, Tugas ini memberi keuntungan bersih 20 poin untuk kelompok siswa kelas 2-D.

Itu saja sudah cukup membuat perjalanan ini jadi sepadan.

"Apa kau masih sanggup, Nanase?"

"Sejujurnya, kakiku agak pegal."

Sambil berkata begitu, dia mengusap sisi pahanya.

"Tapi seperti yang kukatakan waktu pertama kali bergabung denganmu, kamu bisa bertindak sesuai keinginanmu, Ayanokouji-senpai."

Tekadnya untuk terus bersamaku tidak goyah sama sekali.

"Kalau begitu, kita lanjut dengan kecepatan penuh."

"Baik!"

Sepertinya, Kouenji sudah menuruni jalur lain saat aku bicara sebentar dengan Nanase, dia sudah tidak terlihat di mana pun.


...




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Classroom of the Elite 2nd Year Volume 2

Volume 2 Ilustrasi Prolog Chapter 1 Part 1 Chapter 1 Part 2 Chapter 1 Part 3 Chapter 1 Part 4 Chapter 1 Part 5 Chapter 2 Part 1 Chapter 2 Part 2 Chapter 2 Part 3 Chapter 3 Part 1 Chapter 3 Part 2 Chapter 3 Part 3 Chapter 3 Part 4 Chapter 3 Part 5 Chapter 3 Part 6 Chapter 3 Part 7 Chapter 3 Part 8 Chapter 3 Part 9 Chapter 3 Part 10 Chapter 3 Part 11 Chapter 4 Part 1 Chapter 4 Part 2 Chapter 4 Part 3 Chapter 4 Part 4 Chapter 4 Part 5 Chapter 4 Part 6 Chapter 4 Part 7 Chapter 5 Part 1 Chapter 5 Part 2 Chapter 5 Part 3 Chapter 5 Part 4 Epilog [PDF] SS Amasawa Ichika SS Horikita Suzune SS Tsubaki Sakurako SS Shiina Hiyori

Classroom of the Elite 2nd Year Volume 1

Volume 1 Prolog Chapter 1 Chapter 2 Chapter 3 Chapter 4 Chapter 5 Part 1 Chapter 5 Part 2 Chapter 5 Part 3 Chapter 5 Part 4 Chapter 6 Part 1 Chapter 6 Part 2 Epilog SS Horikita Suzune SS Nanase Tsubasa I SS Nanase Tsubasa II SS Karuizawa Kei

Classroom of the Elite 2nd Year Volume 2 Chapter 1 Part 1

Chpater 1 : Perubahan dalam Kehidupan Sekolah (Part 1) Pada hari itu, Kelas 2-D menghadapi situasi aneh yang belum pernah terjadi sebelumnya. Teruhiko Yukimura berkali-kali menghentakkan kakinya, sambil melihat ke arah pintu masuk kelas. "Bisakah kamu tenang sedikit? Ini bahkan belum sampai 5 menit sejak Kiyopon pergi. Dia dipanggil oleh sensei, kan? Berarti dia tidak akan kembali dalam waktu dekat." Hasebe Haruka, teman sekelas sekaligus teman terdekat, berkata begitu kepada Yukimura. Sakura Airi dan Miyake Akito duduk di sebelahnya. "Aku sudah tenang... tidak perlu khawatir," jawab Yukimura. Meskipun dia berhenti menghentakkan kaki, tidak lama setelah itu dia kembali tegang. Diam-diam dia mulai menghentakkan kakinya ke atas dan ke bawah, hingga menggesek celananya. Yukimura berencana untuk bicara dengan Ayanokouji sepulang sekolah, tapi dia menundanya karena kehadiran Horikita. Kemudian dia mendengar dari gadis itu bahwa Chabashira memanggilny...