Langsung ke konten utama

Classroom of the Elite 2nd Year Volume 3 Chapter 6 Part 4

 Chapter 6 Part 4


Tugas Open Water Swimming berlalu begitu saja, meski Nanase gagal meraih posisi pertama, ia berhasil menyelinap ke posisi ketiga dan memperoleh beberapa poin berkat usahanya itu.

Ia menempuh jarak panjang yang berat dalam waktu yang sangat singkat, jika dipikir-pikir, penampilannya bisa dibilang luar biasa.

Aku berniat memujinya saat ia kembali, namun wajahnya tampak tidak puas, jadi aku memilih pendekatan lain.

"Gadis yang menempati peringkat pertama itu adalah teman sekelasku, Onodera. Dia lawan yang sangat tangguh dalam bidang berenang, jadi kau tak perlu terlalu memikirkan kekalahan ini."

Menghadapi lawan sekelas Onodera yang merupakan anggota unggulan klub renang, Nanase sebenarnya sudah tampil cukup baik.

"Ya. Onodera-senpai memang luar biasa. Namun, yang sebenarnya membuatku khawatir adalah…"

Nanase menggantungkan ucapannya, lalu menoleh ke belakang dan menatap seseorang.

Seseorang itu tak lain adalah Kouenji, pemuda yang merebut posisi pertama kategori putra dengan aksi yang begitu mendominasi.

"Selain tiba di area awal lebih cepat daripada kita, dia juga memenangkan pertandingannya dengan waktu rekor tercepat.

Ia berdiri tegap menatap ke arah laut, dan sejauh yang kulihat, dia tidak kehabisan napas sama sekali.

"Dia sama gilanya dengan kehebatannya yang menyerupai manusia super. Terlalu memikirkannya berlebihan hanya buang-buang waktu saja."

Meskipun aku berkata demikian, bahkan aku, sebagai teman sekelasnya, sudah dua atau tiga kali terpaksa mengubah penilaianku terhadapnya selama ujian khusus ini. Tugas Tarik Tambang sebelum ini juga salah satu contohnya.

Ia memiliki potensi yang sama sekali tak terukur.

Jika ini hanyalah sedikit dari kemampuan aslinya, maka wajar saja bila ia disebut sebagai 'anak jenius'.

Dengan tambahan 20 poin yang ia menangkan, posisi Kouenji sementara naik ke posisi pertama secara keseluruhan.

Namun, bukan berarti hal ini membuat Nagumo berada dalam kondisi terdesak.

Faktanya tetap sama—Nagumo masih berada dalam posisi yang sangat unggul dibandingkan Kouenji.

Ke depannya, Nagumo hampir pasti akan memaksimalkan jumlah anggota kelompoknya melalui Task.

Setelah kelompoknya mencapai enam orang, mereka akan mulai memperoleh poin dengan kecepatan yang lebih pesat dan kemungkinan besar akan melesat jauh di depan.

Betapapun luar biasanya Kouenji, pada akhirnya ia bergerak seorang diri. Ia tidak memiliki sumber daya manusia yang cukup untuk bisa keluar sebagai pemenang.

Karena itu, aku bertanya-tanya, bagaimana sebenarnya Kouenji berencana mengatasi kelemahan ini?

Untuk saat ini, kami memutuskan beristirahat sampai area tujuan berikutnya diumumkan.

Kami mengisi kembali cairan tubuh dengan air minum gratis yang disediakan di lokasi, bersantai, dan menikmati jeda yang layak kami dapatkan.

Lalu, pukul 1 siang, area tujuan ketiga hari itu pun diumumkan.

Kali ini ditentukan secara acak, langsung melompat dari area H9 ke area B6—dari satu sisi peta ke sisi lain.

Aku sudah melewatkan total lima area berturut-turut sejauh ini, kehilangan banyak poin akibat penalti semakin berat.

Karena itu, aku benar-benar ingin mencapai area yang baru ditentukan ini dengan cara apa pun juga.

"Senpai. Dari jaraknya, kayaknya masih memungkinkan, tapi…"

Setelah melihat area yang ditentukan di tabletnya, Nanase menatapku dengan mata yang berkilau.

"Kalau kita melewati hutan langsung, itu akan sulit. Namun, kita bisa lewat pantai di D8 dan C8, lalu melewati sedikit hutan untuk mencapai pantai di B8. Dari sana, kalau kita terus ke utara, kita bisa sampai ke B6 tanpa terlibat banyak masalah."

Aku menyelesaikan kalimatnya dan menambahkan beberapa pemikiran, membuatnya mengangguk lalu berdiri. Tampaknya ia sudah membayangkan rute yang sama.

"Syukurlah, aku sudah memulihkan tenagaku dan cairan tubuh ku sudah cukup terisi. Seharusnya aku bisa terus maju tanpa masalah."

Meski agak enggan meninggalkan area awal, kami sekali lagi melangkah menuju hutan pulau tak berpenghuni itu.

Awalnya kami masih melihat banyak kelompok siswa lain, tapi begitu memasuki hutan, kami kembali merasakan kesunyian yang familiar.

Berbeda dengan pantai berpasir yang terpapar terik matahari, panas pengap dan kelembapan di dalam hutan benar-benar menggerogoti tubuh.

"Kita baru saja mulai jalan, tapi aku sudah haus."

"Aku bersyukur bisa minum sepuasnya di area awal tadi, tapi sepertinya aku akan merindukan kemudahan itu juga."

Peralihan dari bebas minum air sepuasnya ke kondisi di mana kita harus menghemat air terasa lebih menyiksa dari dugaan. Itu sebabnya, meski mengumpulkan poin menjadi prioritas, wajar saja bila ada kelompok yang memilih tetap berada dekat dengan area awal.

"Lebih banyak kelompok yang berkumpul di area awal daripada yang kuduga. Apa itu karena stres dan kesulitan hidup di pulau ini selama empat sampai lima hari berturut-turut? Menurutmu bagaimana, Senpai?"

"Menurutku memang ada hubungannya, tapi bukan hanya itu. Faktor terbesar adalah pengumuman sepuluh kelompok terbawah."

"…Begitu, ya? Tapi toh hukuman dikeluarkan hanya untuk lima kelompok terbawah, dan sejak hari keempat mereka bisa mengecek posisi mereka lewat tablet, jadi masuk akal kalau mereka mulai lengah…"

Menjelang akhir hari ketiga, hampir semua siswa sudah berusaha mati-matian mengamankan posisi di papan peringkat. Kami dipaksa berkeliling pulau asing ini, diminta mengumpulkan poin sebanyak mungkin, sambil terus diterpa Task dan area tujuan yang berubah-ubah. Semua itu demi menghindari pengeluaran.

Namun, di hari keempat, semuanya berubah. Para siswa mulai membandingkan poin mereka dengan kelompok terbawah. Dengan menjadikan tiga hari pertama sebagai acuan, mereka membuat perkiraan kasar tentang berapa poin yang bisa diperoleh per hari, lalu menggunakannya untuk menilai apakah mereka unggul atau tidak.

"Tapi meski punya keunggulan 10 sampai 20 poin dari lima terbawah, tidak ada jaminan kau aman, bukan? Kalau itu aku, aku akan berusaha membuat selisih 30 sampai 40 poin dan mempertahankannya."

"Tentu saja, semua orang sebenarnya tahu bahwa mereka seharusnya bertindak begitu. Bagaimanapun juga, semua ingin menghadapi ujian khusus ini dengan tekad penuh dari awal sampai akhir. Tapi kenyataannya tidak semudah itu. Sama seperti kita sekarang yang kehausan, begitu seseorang mencicipi sedikit kenyamanan, tekad apa pun bisa jadi goyah."

"Begitu ya… aku rasa aku bisa sedikit mengerti. Misalnya, meski sudah bertekad belajar semalaman sebelum ujian besar, begitu kita merasa ingin tidur sebentar, ujung-ujungnya malah tidur terlelap sampai pagi…"

Ia tampak malu saat berkata demikian, seolah itu adalah pengalaman pribadinya.

"Sejak hari keempat, sebagian besar kelompok pasti mulai kehabisan makanan dan air, ditambah kelelahan yang menumpuk. Jadi, mampir sebentar ke area awal adalah akar masalah sebenarnya. Kalau melihat kelompok lain bersantai di lingkungan senyaman itu, wajar kalau kau tergoda untuk ikut-ikutan, meski cuma sebentar."

Andai tak ada satu pun kelompok yang beristirahat di area awal, kelompok lain yang mampir pun tak akan tergoda, melainkan langsung melanjutkan perjalanan.

"Aku membayangkan keputusan untuk beristirahat di area awal biasanya hasil diskusi kelompok. Sesuatu seperti: ‘Untuk sementara kita masih unggul, jadi mari istirahat di sini sambil mengambil Task mudah, nikmati air gratis dan rasa aman. Nanti, setelah punya cukup makanan dan air, baru kita berangkat lagi.’ Yah, kira-kira begitu intinya."

Nanase mengangguk setuju, meski beberapa saat kemudian ia melontarkan pertanyaan.

"Jadi, pilihan yang benar adalah tidak tergoda kemudahan itu dan lebih keras pada diri sendiri… maksudnya begitu, kan?"

"Nanase, tadi kau bilang ingin membangun selisih besar dan mempertahankannya, tapi sekarang kelelahan mulai menumpuk, bukan? Kau juga sudah mengikuti lebih banyak Task berat daripada aku."

"Y-Ya. Aku tahu aku bilang akan berusaha keras, tapi harus kuakui kecepatanku jauh berkurang sejak hari pertama. Kupikir besok atau lusa aku akan semakin melambat."

Meski tak diucapkan langsung, rasa lelah pada tubuhnya mungkin lebih parah daripada yang kubayangkan.

Energi yang terpakai untuk ikut Task saja sudah banyak, belum lagi jarak puluhan kilometer yang kami tempuh selama lima hari terakhir.

"Istirahat itu penting. Ada saatnya kau harus memaksakan diri untuk mendapatkan poin, tapi kuncinya adalah tahu kapan harus mendorong diri sendiri dan kapan harus mundur untuk beristirahat. Intinya, jangan lakukan hal yang sama seperti mayoritas siswa lain."

Bergerak saat yang lain beristirahat, dan beristirahat saat yang lain bergerak.

"Beberapa hari ini, aku merasa kamu agak sembrono menghadapi ujian, Ayanokouji-senpai. Tapi sebenarnya kamu memang sengaja agar tidak terlalu menonjol di paruh pertama, kan?"

"Kurang lebih begitu. Tentu saja, kalau ada kesempatan yang tepat, aku akan ikut. Tapi sekalipun aku ikut Task yang diperebutkan banyak orang, jumlah poin yang bisa kudapat tetap lah terbatas."

Banyak Task yang sebenarnya bisa kumenangkan, namun kesempatannya tak pernah datang karena tempat partisipasi sudah diambil orang lain lebih dulu.

"Uhm, kalau boleh tahu… kenapa kali ini kamu memberitahuku soal rencanamu? Selama ini setiap kali topik itu muncul, kamu selalu berusaha menutupi atau mengalihkannya, Senpai."

Pertanyaannya wajar. Memang bukan kebiasaanku berbicara terus terang seperti ini.

Jadi, mengapa kali ini aku justru membagikan sebagian kecil strategiku, bukannya menutupinya seperti biasanya?

Karena sudah beberapa hari terakhir bepergian bersama, aku mulai memahami Nanase lebih baik.

Siswa bernama Nanase Tsubasa… seperti apa kepribadiannya? Bagaimana cara berpikirnya? Dia siswa rajin dengan kemampuan fisik dan akademik di atas rata-rata. Tipe yang mengikuti instruksi tanpa mengeluh, namun tetap berani berbicara jika merasa perlu. Yang terpenting, ia memiliki kepercayaan diri dan keteguhan hati untuk tidak mudah hancur.

Semua ini adalah kekuatan sekaligus kelemahan, dan juga cara hidup yang agak canggung. Justru karena sifat itulah aku merasa janggal dengan kenyataan bahwa ia memilih bekerja sama dengan Housen.

Apakah karena dia ingin menyingkirkanku sebagai murid White Room?

Atau ada motif lain?

Saat pertama kali ia mengajukan ide untuk bepergian bersamaku, aku sempat mengira ia sedang mencari kesempatan untuk menyerangku di saat lengah.

Karena itu, beberapa kali aku dengan sengaja berusaha terlihat santai atau ceroboh selama bersama.

Jika ia ingin menyerang di dalam hutan gelap, tindakannya akan tersembunyi dari pandangan siapa pun.

Namun pada akhirnya, Nanase sama sekali tidak pernah mencoba memanfaatkan kesempatan itu.

Sebaliknya, ia malah mendengarkan keluh kesah Ike, membantu Shinohara dan yang lain saat mereka kesusahan—selalu menampilkan usaha tulus untuk menolong orang lain.

"Singkatnya, tak bisa dipungkiri kau adalah musuhku, Nanase. Bukan hanya karena ujian ini menuntut kita bersaing sebagai siswa beda angkatan, tapi juga karena ada hadiah 20 juta poin pribadi bila kau berhasil membuatku dikeluarkan."

"…Benar. Bagaimanapun juga, aku memang sempat berencana menjatuhkanmu sebelumnya, Senpai."

"Tapi sejauh ini, tindak tandukmu membuatku sulit menganggapmu sebagai musuh."

"Padahal aku sudah jelas-jelas pernah bersikap bermusuhan…?"

"Aneh, bukan? Yah, selain itu, aku juga yakin sekalipun aku tak berkata apa pun, kau tetap bisa menebak strategiku sampai batas tertentu."

Ia tampak terkejut, tapi jauh di dalam hati seharusnya ia sudah menyadari maksudku.

Dan meski sudah cukup tahu, ia masih berpura-pura tidak paham demi menggali lebih banyak informasi.

"Tapi bagaimanapun juga, ini hanya intuisiku."

Kali ini Nanase memilih diam.

Aku tidak berniat menekannya lebih jauh, cukup puas untuk melanjutkan perjalanan kami dengan tenang melewati hutan.

Untuk sementara, prioritas utamaku hanyalah mencapai area tujuan berikutnya.


...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Classroom of the Elite 2nd Year Volume 2

Volume 2 Ilustrasi Prolog Chapter 1 Part 1 Chapter 1 Part 2 Chapter 1 Part 3 Chapter 1 Part 4 Chapter 1 Part 5 Chapter 2 Part 1 Chapter 2 Part 2 Chapter 2 Part 3 Chapter 3 Part 1 Chapter 3 Part 2 Chapter 3 Part 3 Chapter 3 Part 4 Chapter 3 Part 5 Chapter 3 Part 6 Chapter 3 Part 7 Chapter 3 Part 8 Chapter 3 Part 9 Chapter 3 Part 10 Chapter 3 Part 11 Chapter 4 Part 1 Chapter 4 Part 2 Chapter 4 Part 3 Chapter 4 Part 4 Chapter 4 Part 5 Chapter 4 Part 6 Chapter 4 Part 7 Chapter 5 Part 1 Chapter 5 Part 2 Chapter 5 Part 3 Chapter 5 Part 4 Epilog [PDF] SS Amasawa Ichika SS Horikita Suzune SS Tsubaki Sakurako SS Shiina Hiyori

Classroom of the Elite 2nd Year Volume 1

Volume 1 Prolog Chapter 1 Chapter 2 Chapter 3 Chapter 4 Chapter 5 Part 1 Chapter 5 Part 2 Chapter 5 Part 3 Chapter 5 Part 4 Chapter 6 Part 1 Chapter 6 Part 2 Epilog SS Horikita Suzune SS Nanase Tsubasa I SS Nanase Tsubasa II SS Karuizawa Kei

Classroom of the Elite 2nd Year Volume 2 Chapter 1 Part 1

Chpater 1 : Perubahan dalam Kehidupan Sekolah (Part 1) Pada hari itu, Kelas 2-D menghadapi situasi aneh yang belum pernah terjadi sebelumnya. Teruhiko Yukimura berkali-kali menghentakkan kakinya, sambil melihat ke arah pintu masuk kelas. "Bisakah kamu tenang sedikit? Ini bahkan belum sampai 5 menit sejak Kiyopon pergi. Dia dipanggil oleh sensei, kan? Berarti dia tidak akan kembali dalam waktu dekat." Hasebe Haruka, teman sekelas sekaligus teman terdekat, berkata begitu kepada Yukimura. Sakura Airi dan Miyake Akito duduk di sebelahnya. "Aku sudah tenang... tidak perlu khawatir," jawab Yukimura. Meskipun dia berhenti menghentakkan kaki, tidak lama setelah itu dia kembali tegang. Diam-diam dia mulai menghentakkan kakinya ke atas dan ke bawah, hingga menggesek celananya. Yukimura berencana untuk bicara dengan Ayanokouji sepulang sekolah, tapi dia menundanya karena kehadiran Horikita. Kemudian dia mendengar dari gadis itu bahwa Chabashira memanggilny...