Epilog Part 1
“Merepotkan sekali...”
Waktu baru saja lewat pukul 7 pagi di hari ketujuh ujian, saat di mana sebagian besar kelompok sudah pasti sedang menuju area tujuan pertama mereka. Namun, Ichinose Honami hanya menghela napas panjang sambil menatap jam tangan yang terpasang di pergelangan tangan kanannya. Awan kelabu pekat terlihat di langit yang mendung, seolah siap menumpahkan hujan kapan saja.
"Jamnya benar-benar rusak, Ichinose?"
Shibata Sou, rekan sekelompoknya, bertanya sambil melirik jam di pergelangan tangannya.
"Iya, sepertinya begitu. Kayaknya gara-gara tadi pagi aku jatuh di dekat sungai dan kebentur batu."
Dia sudah mencoba berbagai cara untuk memperbaikinya begitu sadar jamnya tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Namun, meski sudah berusaha, dia sama sekali tidak berhasil membuat GPS ataupun pengukur detak jantungnya kembali menyala.
Saat mencoba mengecek posisinya lewat tablet pun, peta tidak menampilkan apa-apa.
Dengan jam tangan yang rusak, ia tak akan bisa mendapat poin dari area tujuan maupun dari Task.
Tidak ada untungnya sama sekali membiarkannya begitu saja.
"Yah, anggap saja kita masih beruntung tidak berada di sisi lain pulau, ya?"
"Iya, bener juga."
Ichinose dan kelompoknya saat ini berada di barat daya area E6. Walau perjalanan kembali ke area awal hanya butuh sekitar dua jam, akan cukup berbahaya baginya jika harus pulang sendirian dengan GPS yang mati.
"Untuk sementara, sepertinya kita nggak punya pilihan selain balik."
Nada Shibata terdengar agak kesal, tapi jelas bukan karena menyalahkan Ichinose.
"Tapi─"
Area tujuan pertama mereka hari itu adalah area D5.
Dengan kata lain, arahnya hampir berlawanan dengan area awal.
Bukan hanya akan kehilangan kesempatan mendapat Arrival Bonus yang berharga, seluruh kelompok pun harus merelakan Early Bird Bonus. Ichinose tahu apa yang harus dilakukan, tapi alih-alih langsung bergerak, ia justru menoleh ke arah tiga orang—Kamuro, Hashimoto, dan Ninomiya—yang masih menunggu untuk berangkat di belakangnya.
"Yah, kalau udah rusak ya mau gimana lagi, kan Masumi-chan?"
"Kalau kamu berangkat sekarang, mungkin masih bisa balik tepat waktu untuk area ketiga."
Hashimoto dan Kamuro menyahut, dan Ninomiya, teman sekelasnya, mengangguk setuju.
Dari nada bicara mereka, sepertinya tak ada yang menyalahkan Ichinose.
Ichinose tentu senang akan hal itu, tapi bersamaan dengan itu rasa bersalah juga mulai tumbuh di hatinya.
Dua hari sebelumnya, di hari kelima ujian, kelompok Ichinose berhasil meraih peringkat pertama dalam sebuah Task yang memungkinkan kelompok untuk menambah anggota, dan sukses menambah tiga orang baru. Lalu di hari keenam, mereka menggunakan fitur GPS Search untuk bergabung dengan kelompok Hashimoto, tapi malah ketimpa masalah di keesokan paginya.
"Maaf ya, semuanya. Aku pasti bakal balik sebelum penunjukan area ketiga."
Karena keputusan sudah dibuat, tiap detik jadi sangat berarti. Ia harus bergerak cepat agar bisa kembali ke teman-temannya secepat mungkin.
"Kalau gitu, aku ikut Ichinose aja deh."
Setelah Shibata secara sukarela memutuskan, Ichinose menguatkan tekadnya dan mereka berdua pun melangkah ke selatan.
"Maaf ya, Shibata-kun, kamu jadi harus repot-repot nemenin aku begini."
"Ini bukan salahmu, jadi nggak perlu minta maaf."
"Ya, bener juga."
Begitulah, Ichinose dan Shibata menghabiskan waktu sekitar satu jam berjalan ke selatan menyusuri sungai hingga tiba di area E9.
Begitu menapakkan kaki di pasir pantai, area awal pun semakin dekat.
"Kita jalan lebih cepat dari yang kuduga. Bagus sekali."
Sekarang mereka hanya perlu bergerak ke barat dan akhirnya akan sampai dekat pelabuhan.
Bahkan dengan kecepatan normal, perjalanan terakhir ini hanya butuh waktu kurang dari setengah jam.
Namun, itu berarti perjalanan pulang-pergi memakan waktu sekitar satu jam, jangka waktunya tetaplah krusial.
"Shibata-kun, kenapa kamu nggak langsung lanjut saja dari sini ke area tujuan berikutnya?"
"Nggak bisa. Walaupun dekat, tetap aja berbahaya kalau kamu balik sendirian. Hutan itu kayak labirin, kamu juga tahu kan. Dan meskipun masih siang, langitnya mendung banget, bisa aja nanti turun hujan…"
Shibata mendongak ke langit sambil terdiam. Waktu saat itu sudah menunjukkan pukul 8 pagi, dan meski hujan belum turun, tidak ada yang tahu kapan cuaca akan menjadi buruk.
"Iya, aku tahu ini berbahaya. Tapi aku pasti bisa balik ke pelabuhan dari sini tanpa tersesat. Kalau mau ngejar kelompok papan atas, kita nggak boleh kehilangan satu poin pun. Lagipula, kalau hujan turun, bisa-bisa kita malah nggak bisa ketemu lagi sama yang lain."
Walau terkesan egois, Ichinose merasa mereka harus mencetak poin sebanyak mungkin.
"Aku cuma perlu jalan lurus kok. Aku bakal baik-baik aja."
Setidaknya, dia ingin Shibata segera kembali ke lapangan untuk mengumpulkan poin demi kelompok.
Sebagai orang yang membuat pergerakan anggota kelompok menjadi tertahan, dia hanya ingin mengurangi kerugian.
"...Baiklah, tapi jangan nekat, ya. Kalau hujan turun, jangan maksain diri, tunggu aja sampai reda, oke?"
“Iya, aku nggak bakalan bertindak ceroboh. Soalnya kalau sampai cedera terus aku terpaksa pensiun, itu bukan main-main.”
Setelah berjanji akan berhati-hati, Ichinose melambaikan tangan, menyuruh Shibata kembali bergabung dengan Hashimoto dan yang lain.
Lalu, dengan arah jalan yang baru saja ditunjukkan Shibata masih segar di ingatannya, dia melangkahkan kaki ke dalam hutan. Walau ia mungkin tak sempat tiba di area tujuan berikutnya, tekadnya untuk bisa kembali tepat waktu sebelum area ketiga membuatnya terus bergerak maju.
Kakinya melangkah lebih cepat dari pikirannya, berusaha keras untuk tidak membuang-buang waktu.
Karena tak melihat seorang pun sejak berpisah dengan Shibata, sepertinya memang tak ada kelompok lain di sekitar situ. Awalnya, ia berpikir akan bisa meminta bantuan kelompok lain bila terpaksa, tapi seiring berjalannya waktu, ia sadar betapa naifnya pemikiran itu.
Setelah sekitar sepuluh menit berjalan, jarak pandang yang sudah buruk di hutan yang redup perlahan makin memburuk.
Penyebabnya jelas saja karena awan kelabu di langit semakin tebal dan gelap.
Walau Ichinose berniat berjalan lurus, semak belukar di hadapannya tidak mengizinkan.
“Jalan ini... kalau itu memang bisa disebut jalan... itu benar-benar berbahaya.”
Begitu ia berhasil melewati satu pohon, dua pohon lainnya sudah menunggu menghadang di depan.
Seiring berjalannya waktu, rasa percaya dirinya untuk tetap berjalan lurus perlahan-lahan memudar.
“Kenapa semuanya jadi kacau begini, ya...?”
Tawa lirih penuh sindiran diri terucap dari bibirnya. Ia tak punya pilihan lain selain terus maju.
Lagipula, secara teori, pelabuhan seharusnya hanya berjarak beberapa ratus meter lagi.
Ia terus berjalan selama sekitar dua puluh menit sebelum akhirnya berhenti, benar-benar bingung harus melakukan apa.
Kalau dia tidak salah langkah, seharusnya sekarang dia sudah tiba di pelabuhan.
“Apa yang... apa yang sebenarnya sedang kulakukan...?”
Dia mencoba mengecek tabletnya lagi, tapi sama seperti sebelumnya, posisinya tidak muncul di peta.
Bahkan jika dia mencoba kembali ke arah semula, tidak ada jaminan dia bisa kembali ke tempat yang sama.
Ichinose biasanya bukan tipe orang yang mengambil keputusan gegabah seperti ini. Namun, sejak kelasnya turun ke Kelas C, dia merasa dirinya makin hari makin tidak sabaran.
Meski begitu, dia berhasil membentuk sebuah kelompok yang cukup kuat atas permintaan pemimpin Kelas A, Sakayanagi.
Dan demi menjaga keseimbangan dengan Kelas A, sekarang dia harus bisa membuktikan kemampuannya, lebih dari sebelumnya.
Dia tidak tahu di mana posisinya atau ke mana dia berjalan, tapi dia merasa punya kewajiban untuk terus maju.
Harus ke mana? Arah mana?
Untuk mengusir keraguan yang berputar-putar dalam pikirannya, Ichinose menguatkan hati dan melangkahkan kaki ke kanan.
Saat itulah, sebuah suara samar terdengar dari depan.
Dia sempat berpikir apakah sebaiknya berteriak, senang dengan kemungkinan bertemu orang lain, tapi dia juga tak bisa mengabaikan kemungkinan kalau itu hanyalah suara binatang liar.
Akhirnya, dengan hati-hati, dia memutuskan untuk bergerak menuju sumber suara itu.
Tak lama kemudian, dua sosok manusia muncul dalam pandangannya: Tsukishiro, Direktur Sementara, dan Shiba, Wali Kelas 1-D.
Melihat mereka, Ichinose menghela napas panjang penuh kelegaan—karena kini dia bisa meminta petunjuk jalan menuju pelabuhan.
Namun...
Dia segera sadar, bahwa itu hanyalah pemikiran naif yang sama seperti yang membuatnya terjebak dalam situasi ini. Walaupun semua ini terjadi karena kecelakaan, faktanya dia masih berada di tengah ujian khusus. Dengan kondisi itu, sangat kecil kemungkinan mereka akan memberinya arahan jika dia mengaku tersesat.
Jika arloji itu rusak karena masalah teknis, masih bisa dimaklumi. Tapi kenyataannya, itu rusak karena ulahnya sendiri. Kalau mereka menganggap semua ini tanggung jawab pribadinya, kesempatan berharganya untuk keluar dari hutan ini bisa lenyap begitu saja.
Karena itu, dia ingin mencari cara untuk memanfaatkan kesempatan ini.
Sebuah ide muncul di benaknya: mungkin akan lebih baik jika dia hanya mengikuti mereka dari belakang.
Idealnya, dari sini mereka akan kembali ke area awal. Sekalipun mereka menuju lokasi Tugas berikutnya, cepat atau lambat siswa lain pasti juga akan muncul. Apa pun hasilnya, dengan mengikuti mereka, setidaknya dia bisa menghindari skenario terburuk.
Setelah berpikir sejenak, dia akhirnya memutuskan untuk membuntuti mereka.
Karena mereka tampak sibuk mengobrol sambil berjalan, dia berpikir peluang untuk ketahuan cukup kecil. Dan sekalipun ketahuan, dia merasa itu tidak akan jadi masalah besar selama dia berpura-pura tidak tahu apa-apa.
“Aku sudah memintamu memastikan apakah kita benar-benar bisa bergerak bebas. Bagaimana?”
“Sepertinya itu sulit. Aku menemukan bukti kalau para guru sedang mengawasi kita dengan ketat. Di antara mereka, Mashima terlihat paling waspada...”
Suara percakapan mereka terdengar jelas di hutan yang sunyi, cukup bagi Ichinose untuk mendengar sebagian besar kata-katanya.
Meski begitu, dia tidak terlalu tertarik dengan isi percakapan mereka, dia lebih memilih untuk fokus bersembunyi.
“Selain dia, ada satu guru lagi yang patut diperhatikan: Chabashira, Wali Kelas 2-D. Dia sudah memeriksa semua catatan dan log.”
“Itu karena menyeret para guru ke dalam masalah ini adalah salah satu opsi terakhir yang ia punya. Entah itu Chabashira-sensei atau Mashima-sensei, aku yakin tindakan mereka pasti ada hubungannya dengan Ayanokouji-kun. Karena Ayanokouji ada di tempat kejadian waktu itu, wajar saja dia berhasil menemukan kebenarannya.”
Namun, segalanya berubah ketika nama yang tak terduga itu disebut.
Ichinose langsung menahan napas, dia jadi tertarik dengan percakapan itu.
Ayanokouji.
Sebuah nama yang entah kenapa selalu membuat hatinya bergetar setiap kali mendengarnya.
Kedua pria itu berhenti sejenak sebelum melanjutkan percakapan, mungkin karena nama itu sendiri.
“Aku sudah mengubah log di pihak kita, jadi sepertinya mereka tidak akan bisa melacak apapun.”
“Terima kasih. Namun tetap saja, mungkin saja mereka masih bisa menemukan sesuatu. Kalau itu terjadi, tak akan ada kesempatan kedua. Kita harus memastikan bisa memojokkannya kali ini.”
“Tapi apa benar semudah itu memaksa dia keluar? Dia kan ─── dari White Room.”
“Orang-orang terlalu terobsesi dengan gelar. Dia hanyalah ───, itu saja.”
White Room?
Ichinose berusaha mendengarkan dengan seksama, tapi sebagian kata-kata mereka lenyap tertiup angin kencang yang tiba-tiba lewat.
Nama Ayanokouji dan kata pengeluaran terus bergema di kepalanya. Dari semua orang, kenapa justru Direktur Sementara dan seorang Wali kelas membicarakan hal semacam itu?
Karena penasaran, dia tanpa sadar memperkecil jarak, walau sebenarnya dia tahu seharusnya tetap menjaga jarak.
“Kalau dia terus ─── sampai hari terakhir, mari kita ─── dia lenyap di I2 ─── seperti yang direncanakan.”
Ichinose cukup yakin mereka tak akan bisa mendengarnya, tapi begitu dia mendekat cukup dekat untuk mulai menangkap maksud percakapan itu...
Saat itulah...
Kepala Direktur Sementara tiba-tiba menoleh ke belakang, tatapan tajamnya menusuk.
‘Bahaya.’
Naluri, atau mungkin instingnya, berteriak satu kata itu, memaksanya berbalik dan berlari sekencang-kencangnya.
Namun, ranselnya terlalu berat, membuatnya sulit meningkatkan kecepatan. Dalam keputusan kilat, ia melepaskan pengaitnya dan melemparkannya ke dalam semak-semak sekuat tenaga.
Jika mereka menemukannya, mereka bisa mengetahui identitasnya lewat tablet di dalamnya, tapi Ichinose terlalu panik untuk berpikir sejauh itu.
Meski wajahnya mungkin belum terlihat, ia yakin mereka sudah sadar kalau ada seseorang yang menguping. Dan itu saja sudah cukup.
Percakapan mereka tadi... jelas sesuatu yang tidak seharusnya ia dengar.
Sebuah firasat buruk merambat, membuat tubuhnya berkeringat dingin seiring dengan langkah kakinya yang terus berlari.
Ia pasti bisa lolos dari mereka, kan?
Dan tidak mungkin pula mereka, akan benar-benar mengejarnya, kan?
Ya... semuanya pasti akan baik-baik saja... kan?
Pasti. Pasti. Pasti...
Dari belakang, suara ranting patah dan dedaunan terinjak mulai terdengar. Ichinose memang tidak terlalu percaya diri dengan kemampuan fisiknya, tapi dia selalu yakin dengan kecepatannya.
Kiri, kanan, lurus—arahnya sudah tak lagi penting.
Dia hanya terus berlari, tersesat semakin jauh di dalam hutan, kehilangan kendali dengan setiap langkah tanpa arah yang dia ambil.
Ada perasaan aneh, nyaris tak nyata, ketika menyaksikan sesuatu yang seharusnya tidak boleh di lihat.
Dan justru rasa itulah yang membuatnya terus berlari.
“!!!”
Mata Ichinose terpaku ke jalan di depan, tanpa sempat memperhatikan di mana ia menapakkan kakinya. Dalam kebingungan itu, kakinya akhirnya tersangkut sesuatu, membuat tubuhnya jatuh ke tanah.
Saat menoleh ke belakang, ia melihat penyebabnya: akar pohon besar yang menonjol keluar dari tanah.
Lututnya terasa begitu perih akibat terjatuh, tapi dia berusaha bangkit kembali, sambil menggertakkan giginya.
Saat ia perlahan mulai menumpukan berat badannya kembali ke kakinya, sebuah tangan besar tiba-tiba meraih dan mencengkeram bahu kirinya dari belakang.
Ichinose langsung membeku di tempat, terkejut hingga jantungnya hampir berhenti berdetak, lalu dengan takut-takut menoleh ke belakang.
"... Kalau aku tidak salah, kau Honami Ichinose dari Kelas 2-C, bukan?"
Terintimidasi oleh tatapan tajam Shiba, Ichinose kembali jatuh terduduk ke tanah.
"A-Ah- U-Um- ya, benar..."
Dengan pantatnya menempel di tanah, ia berusaha keras merangkak mundur, tapi sama sekali tak ada jalan untuk bisa lepas dari tatapan penuh penilaian itu.
Shiba berdiri menjulang di atasnya, matanya dipenuhi emosi yang tak bisa ditebak.
"Kenapa kau ada di sini?"
"U-Um, itu ... jam tanganku rusak, jadi ... aku berniat memeriksanya..."
"Begitu. Jadi itu sebabnya tidak ada sinyal GPS di sekitar sini."
Setelah jeda singkat, ia melanjutkan.
"Tidak masalah sebanyak apa yang sudah kau dengar. Bahkan jika hanya beberapa kata, fakta bahwa kau terseret ke dalam masalah ini... yah... artinya kau hanya sedang sial."
"A... Apa maksud anda aku akan dihukum karena sesuatu?"
"Ini tak ada hubungannya dengan aturan sekolah ataupun penalti. Kami hanya harus menyingkirkanmu. Saat ini juga."
Begitu berkata begitu, Shiba perlahan mengulurkan tangannya ke arah Ichinose.
"Agak terlalu cepat kalau langsung menggunakan cara kekerasan, Shiba-sensei."
Tsukishiro muncul sedikit terlambat, sambil membawa ransel Ichinose di tangannya, lalu menahan Shiba.
"Ya, maafkan aku."
Mendengar itu, Wakil Direktur menoleh dan menatap Ichinose dengan senyum samar yang terasa mengancam.
"Mari kita lakukan dengan cara yang lebih formal. Kau mendengar sesuatu, kan, Ichinose-san?"
"Ti-Tidak sama sekali. Aku tidak mendengar apa pun..."
Tentu saja, itu bohong.
Meski hanya sepenggal-sepenggal, Ichinose memang sempat mendengar percakapan mereka yang penuh keganjilan.
Namun, apa pun jawabannya, kemungkinan besar mereka tidak akan mempercayainya.
"Aku tidak cukup naif untuk mempercayai kata-katamu. Sebagai orang dewasa, kami harus selalu mengantisipasi yang terburuk dan bertindak sesuai keadaan. Jadi, aku tak punya pilihan lain selain berasumsi bahwa kau mendengar semuanya."
Tsukishiro berdiri di hadapan Ichinose, menatapnya dengan tatapan yang penuh penilaian.
Lalu ia jongkok, menurunkan tubuhnya agar sejajar dengan pandangan mata Ichinose.
"Meski tak disengaja, tetap saja kau mendengar semuanya. Informasi yang seharusnya tidak pernah sampai ke telingamu, nyatanya sekarang ada padamu."
Shiba hanya berdiri di belakang, menatap atasannya, seolah khawatir ke mana arah percakapan ini berlanjut.
"Kalau percakapan tadi sampai bocor keluar, aku dan Shiba-sensei akan mendapat masalah besar."
"A-Aku sungguh tidak mendeng─"
"Itu tidak benar. Ingat, aku sedang bicara dengan asumsi kuat bahwa kau memang mendengarnya."
Mendengar itu, Ichinose hanya bisa menelan napasnya yang tertahan.
"Haruskah kami memberimu sedikit ‘perlakuan kasar’ agar kau melupakannya, Ichinose-san? Pensiunmu tentu akan segera menyusul setelahnya."
Melihatnya meringkuk ketakutan, Tsukishiro tersenyum dan kembali berdiri.
"Tentu saja aku hanya bercanda. Sebagai orang yang dipercaya menjaga sekolah ini, aku tidak akan benar-benar mengatakan hal seperti itu. Sebisa mungkin aku juga ingin menghindari penyelesaian dengan kekerasan. Jadi, aku tawarkan sebuah kesepakatan. Jika kau sampai memberi tahu satu orang pun tentang ini, aku sendiri yang akan memastikan sebuah grup yang sepenuhnya berisi siswa kelas 2-C dipaksa mundur dari ujian."
"...!"
"Tentu saja itu adalah grup yang tidak punya poin pribadi untuk menyelamatkan diri mereka."
Dengan kata lain, mereka akan terkena ‘pengusiran’.
"Kau mungkin berpikir aku tidak bisa melakukan itu? Sebagai orang yang memegang kendali aturan, membuat sebuah alasan palsu bukanlah hal sulit. Tidak ada yang tahu apa yang bisa terjadi, terutama di pulau terpencil luas ini yang hampir tidak terawasi."
Tsukishiro menyipitkan matanya, menatap Ichinose yang gemetar ketakutan.
Itu cara halusnya untuk bertanya apakah Ichinose sudah mengerti.
"Wakil Direktur Tsukishiro, bukankah lebih baik menggunakan kewenangan Anda langsung daripada menunjukkan kelonggaran seperti ini? Jika melenyapkan Ichinose, kurasa Chabashira maupun Mashima tidak akan sadar. Mereka berdua hanya berhati-hati kalau urusannya menyangkut Ayanokouji."
"Itu memang benar. Lalu menurutmu apa yang lebih baik dilakukan, Shiba-sensei?"
Tanpa berpikir panjang, Shiba mengeluarkan sepasang sarung tangan karet dari sakunya.
"Jika Anda bersedia menyerahkannya padaku, biar aku yang menanganinya."
Harapan Ichinose untuk bisa lolos sekarang sudah lenyap sepenuhnya, membuatnya tak bisa berbuat apa pun selain menunggu vonis dari kedua orang itu.
Dari wajahnya yang pucat pasi, jelas terlihat ia bahkan tak bisa membayangkan apa yang akan dilakukan Shiba setelah memakai sarung tangan itu.
Pemandangan itu membuat Tsukishiro tersenyum tipis.
"Baiklah, aku tak ingin buang waktu lagi untuk ini."
Sambil berkata begitu, Tsukishiro meletakkan ransel yang ia bawa di depan Ichinose, lalu mundur selangkah.
"Pelabuhan berada sekitar 150 meter lurus di depan kita. Silakan pergi."
"Y-Ya, baik pak...!"
Diliputi kepanikan, Ichinose buru-buru mengenakan ranselnya, dia ingin segera pergi menjauh secepat mungkin.
"Yang seharusnya kau lindungi bukanlah musuhmu, melainkan teman-teman sekelasmu. Ingatlah itu baik-baik."
Ichinose mengangguk cepat, lalu segera bergegas ke arah yang ditunjukkan Tsukishiro.
Begitu ia menghilang ke dalam hutan, Shiba menoleh pada Tsukishiro dengan raut bingung.
"Tidak apa-apa. Biarkan saja dia."
"Anda yakin? Kalau dia menceritakan ini pada Ayanokouji, itu akan menghambat rencana kita."
Dia tidak bisa menghilangkan kemungkinan bahwa masih ada masalah yang seharusnya diselesaikan.
"Halangan tak terduga itu selalu ada. Kalau begitu, kita hanya harus menyesuaikan diri."
Shiba masih terlihat ragu, belum bisa memahami maksud sebenarnya dari Tsukishiro.
"Apakah kau benar-benar khawatir? Padahal aku sudah memberinya peringatan yang cukup efektif."
Jika Ichinose melanggar, beberapa teman sekelasnya akan dikeluarkan. Meski itu hanya ancaman, bagi seseorang seperti Ichinose yang selalu mempedulikan teman-temannya, hal itu akan terasa sangat nyata.
"Terlepas dari hubungannya dengan Ayanokouji-kun, menyingkirkan musuh kuat seperti dia akan menjadi keuntungan besar untuk Kelas C. Dia sendiri nanti juga akan menyadarinya seiring berjalannya waktu. Jadi mari kita tenang dan lihat saja bagaimana kelanjutannya."
Setetes air hujan jatuh mengenai pipi Tsukishiro.
"Aku hampir yakin 99% Nanase-san akan gagal, tapi tampaknya, dia akhirnya mulai bergerak. Jika semuanya berjalan sesuai rencana, peringatan darurat Ayanokouji-kun akan berbunyi sekarang."
Tsukishiro berbicara dengan tenang, tanpa sedikit pun keraguan dalam suaranya.
Sebuah keyakinan yang lahir dari tekadnya yang tak tergoyahkan.
...

Komentar
Posting Komentar
Tulis komentar