Langsung ke konten utama

Classroom of the Elite 2nd Year Volume 3 Chapter 7 Part 1

 Chapter 7 Part 1


Hari keenam ujian.
Kami memulainya dengan langsung bergerak ke selatan menuju area tujuan pertama hari itu, B6, di mana aku berhasil merebut Early Bird Bonus peringkat pertama. Setelah itu, area tujuan kedua adalah A5 yang letaknya cukup dekat, tapi sayangnya kami hanya mendapat Arrival Bonus.

Tak lama kemudian, pukul 1 siang, area ketiga diumumkan, yaitu area acak di C3. Ada beberapa jalur yang bisa kami tempuh untuk sampai ke sana. Pertama, langsung menembus pegunungan curam di area B4. Meski tidak terlihat jelas di peta, rute itu kemungkinan besar akan memaksa kami untuk banyak memanjat tebing. Alternatif yang sedikit lebih aman adalah bergerak sedikit ke timur dari posisi kami sekarang, lalu menyeberangi celah di area C4. Dan terakhir, ada opsi membuat jalan memutar besar melewati pegunungan ke area D5, lalu bergerak ke utara sepanjang sungai.

"Aku tebak sebagian besar kelompok lain pasti bakal lewat C4 atau muter jauh ke bawah."

"Aku juga berpikir begitu."

Jika kami berhasil melewati lereng A4 dan B4, kemungkinan besar kami bisa mengamankan Early Bird Bonus peringkat pertama.

"Meski aku tahu mungkin tubuhmu tidak dalam kondisi terbaik, kita tetap harus mengambil risiko ini."

"Kamu mau ambil jalur langsung lewat A4 dan B4, kan, Senpai?"

Nanase sejauh ini entah bagaimana masih bisa mengikutiku, tapi kali ini belum tentu begitu.

Namun rupanya, ia sudah membulatkan tekad, karena tanpa ragu ia memilih untuk tetap mengikutiku.

Tak lama setelah itu, dia akhirnya berhadapan dengan rintangan terbesarnya sejauh ini.

Selama ini kami hanya perlu melewati beberapa tanjakan dan lereng yang cukup curam, tapi tantangan di depan sekarang lebih mirip sebuah tebing tegak lurus.

Mau ke kiri atau ke kanan, tebing itu membentang sejauh mata memandang. Mengambil jalur memutar yang lebih mudah jelas bukan pilihan di sini.

Sampai titik ini, hanya ada dua pilihan: memanjat gunung, atau berbalik mencari jalan lain.

"A-Aku… aku bisa melakukannya!"

Melihatnya berusaha meyakinkan dirinya sendiri, aku memutuskan membiarkannya naik duluan untuk melihat sejauh mana ia bisa bertahan.

Ia mengeluarkan pita dari ranselnya dan mengikat rambut panjangnya agar lebih mudah memanjat.

"Ah…!"

Begitu mulai memanjat, ia salah memilih pijakan pada batu dan langsung terjatuh kembali ke tanah.

"Aduh, sakitnya…!"

Sambil meringis, ia mengusap pantatnya saat berdiri lagi. Untungnya, belum terlalu tinggi dari saat ia jatuh. Kalau saja ia terjatuh dua meter lebih tinggi, hasilnya mungkin akan jauh lebih buruk.

Tebing itu tingginya sekitar sepuluh meter, dan sebenarnya tidak terlihat terlalu sulit untuk dipanjat. Tapi untuk Nanase, melakukannya sendirian pasti akan berat.

"Sepertinya ini akhir jalanmu."

Nyatanya, rintangan ini jauh lebih sulit baginya daripada yang kubayangkan.

Enam hari terakhir ia memang berhasil mengikutiku dengan baik, tapi tampaknya mulai dari sini aku harus melanjutkan sendirian.

"A-Aku bisa! Aku pasti bisa!"

"Sekalipun bisa, nggak ada gunanya kalau semua stamina-mu habis hanya untuk sampai ke atas. Alasan kita lewat gunung ini justru untuk menghemat waktu. Tidak semua orang bakal memilih jalan memutar, jadi tiap detik sangat berharga."

Faktanya, berdebat soal ini sekarang pun sudah jadi pemborosan waktu, sesuatu yang pasti dipahami Nanase juga.

"Aku akan jalan duluan. Kalau kau masih mau maksa memanjat, terserah, tapi kau sendiri yang tanggung akibatnya."

Ekspresinya jelas menunjukkan rasa frustrasi, tapi aku hanya membalikkan badan, menempelkan tangan pada batu, lalu mulai memanjat tebing itu.

Mengenalnya, aku yakin dia akan memilih keputusan yang tenang dan rasional, jadi aku tak berniat menoleh untuk melihat apa yang ia lakukan. Namun, berlawanan dengan dugaanku, aku merasakan kehadirannya makin dekat di belakang, membuatku menoleh ke belakang.

"Apa yang kau lakukan?"

"Tolong… jangan hiraukan aku. Aku memilih mengikuti Senpai karena keputusanku sendiri…!"

Sambil berkata begitu, ia kembali meraih batu dengan penuh keberanian.

Namun, karena rasa lelah masih menggerogoti tubuhnya, genggamannya tak cukup kuat. Tangannya mulai bergetar saat berpegangan pada tebing.

"Kalau kau nggak hati-hati, akibatnya bisa lebih buruk daripada pensiun."

Aku kembali memperingatkannya, tapi ia tetap bersikeras mengejarku.

Apa sebenarnya yang memaksanya sampai sejauh ini hanya demi menemaniku?

Kalau niatnya memang hanya untuk memperlambat langkahku, maka dalam beberapa hal ia sudah berhasil.

Sambil berhati-hati menjaga pijakan di tebing, aku turun kembali ke sekitar pertengahan, lalu mengulurkan tanganku padanya.




"Pegang tanganku."

"A-Aku… aku nggak bisa, Senpai. Aku sudah berjanji tidak akan merepotkanmu sejak pertama kali memintamu untuk membiarkanku ikut… Jadi tolong, teruslah maju tanpa mengkhawatirkanku. Aku mohon."

"Kalau aku jalan terus dan kau terluka, rasanya nggak enak di hati. Kalau kau ada di bawah sana memohon minta tolong mungkin aku akan berpikir beda, tapi kali ini akulah yang memutuskan. Jadi jangan khawatirkan itu."

"Tapi…!"

"Bukankah buang-buang waktu kalau kita terus berdebat soal ini?"

Setelah kuingatkan untuk kedua kalinya, ia tak punya pilihan lagi. Tak ada lagi yang bisa ia katakan.

"…Baiklah."

Meski wajahnya masih sedikit frustrasi, akhirnya ia menggenggam tanganku. Bukan hanya karena kondisi fisiknya sedang tidak prima, bahkan sekalipun ia fit, masih ada pertanyaan besar apakah ia memang mampu memanjat sendiri atau tidak.

"Senpai… apa mungkin, kamu sudah pernah punya pengalaman memanjat tebing sebelumnya?"

"Tidak, ini pertama kalinya aku melakukan hal semacam ini."

Ujian ini memang memaksa kami mencoba berbagai hal yang belum pernah dicoba sebelumnya. Mengulurkan tangan untuk membantunya seperti ini mungkin bukan pilihan terbaik juga, mengingat berbagai risiko yang bisa terjadi.

"Begitu ya…"

Aku menuntunnya, menunjukkan batu-batu mana yang sebaiknya ia jadikan pegangan.

Meskipun metodenya terbilang tidak efisien, pada akhirnya kami berhasil juga mencapai puncak tebing itu.

Namun, ini belum garis finis. Kami menghabiskan lebih dari sepuluh menit hanya untuk sampai ke atas. Tanpa beristirahat sedikit pun, aku kembali melanjutkan perjalanan. Setelah kubantu naik, ia tentu bisa mencari cara turun sendiri nanti. Awalnya ia sempat tertinggal, tapi tekadnya sama sekali tak goyah, dan ia segera menyusulku kembali.

Saat kami terus melangkah maju, aku tak bisa menahan diri untuk membandingkannya dengan seekor anjing setia yang tak henti mengejar pemiliknya.

Tak lama kemudian, kami akhirnya tiba di area C3. Walaupun waktu yang terbuang cukup banyak, belum ada kelompok lain yang sampai di sana. Dengan mudah aku mengamankan Early Bird Bonus peringkat pertama.

"A-Akhirnya…!"

Meski usahanya tak cukup membuatnya mendapat bonus peringkat kedua sekalipun, Nanase tetap menghela napas lega.

Masih ada waktu sebelum area tujuan berikutnya diumumkan, jadi kupikir tak ada salahnya menemani Nanase dan beristirahat sebentar.

Seperti saat kami berdiri di puncak gunung sebelumnya, hembusan angin sepoi yang sesekali lewat terasa begitu menyegarkan.

"Beberapa hari terakhir ini cuacanya cukup tenang, tapi hari ini anginnya lumayan kencang ya."

Sejauh ini langit memang terus cerah dan bersinar, tapi kini awan tebal mulai menutupi, membuat langit perlahan mendung.

"Pasti cukup mengejutkan ya, tiba-tiba dilempar ke pulau terpencil begini begitu masuk SMA."

"Tentu saja. Sekolah ini memang luar biasa."

Nanase menampilkan senyum tipis, canggung, seolah dipaksakan.

"Senpai, apakah kamu menikmati bersekolah di sini?"

"Kurasa begitu. Memang ada beberapa hal yang membuatku pusing, tapi aku tidak pernah merasa sekolah ini membosankan."

Sebagian besar waktu di sekolah memang terasa sama setiap harinya, tapi di sisi lain, ada banyak hal yang berbeda.

Aku hanya menikmatinya apa adanya, puas dengan perubahan kecil yang senantiasa hadir hari demi hari.

"Walau rasanya kelulusan masih jauh, itu pasti akan datang begitu cepat tanpa terasa. Karena itu, kurasa sebaiknya aku menggunakan waktu yang ada tanpa penyesalan."

"…Kelulusan…"

"Ada yang salah?"

"Ti-Tidak… bukan apa-apa."

Ada sesuatu pada Nanase kali ini—suatu aura atau perasaan dari sikapnya—yang terasa berbeda sekali dari Nanase yang sudah kukenal selama beberapa hari terakhir.

Rasanya hampir sama dengan kesan pertama yang ia tunjukkan ketika baru masuk sekolah.

Namun perbedaannya begitu samar. Begitu samar hingga kalau ada yang bilang itu hanya imajinasiku, mungkin aku akan mempercayainya.

Kalau memang ia benar menyimpan sesuatu dalam pikirannya, kurasa aku hanya perlu menunggu sampai tiba waktunya dia sendiri yang akan menceritakannya padaku.


...



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Classroom of the Elite 2nd Year Volume 2

Volume 2 Ilustrasi Prolog Chapter 1 Part 1 Chapter 1 Part 2 Chapter 1 Part 3 Chapter 1 Part 4 Chapter 1 Part 5 Chapter 2 Part 1 Chapter 2 Part 2 Chapter 2 Part 3 Chapter 3 Part 1 Chapter 3 Part 2 Chapter 3 Part 3 Chapter 3 Part 4 Chapter 3 Part 5 Chapter 3 Part 6 Chapter 3 Part 7 Chapter 3 Part 8 Chapter 3 Part 9 Chapter 3 Part 10 Chapter 3 Part 11 Chapter 4 Part 1 Chapter 4 Part 2 Chapter 4 Part 3 Chapter 4 Part 4 Chapter 4 Part 5 Chapter 4 Part 6 Chapter 4 Part 7 Chapter 5 Part 1 Chapter 5 Part 2 Chapter 5 Part 3 Chapter 5 Part 4 Epilog [PDF] SS Amasawa Ichika SS Horikita Suzune SS Tsubaki Sakurako SS Shiina Hiyori

Classroom of the Elite 2nd Year Volume 1

Volume 1 Prolog Chapter 1 Chapter 2 Chapter 3 Chapter 4 Chapter 5 Part 1 Chapter 5 Part 2 Chapter 5 Part 3 Chapter 5 Part 4 Chapter 6 Part 1 Chapter 6 Part 2 Epilog SS Horikita Suzune SS Nanase Tsubasa I SS Nanase Tsubasa II SS Karuizawa Kei

Classroom of the Elite 2nd Year Volume 2 Chapter 1 Part 1

Chpater 1 : Perubahan dalam Kehidupan Sekolah (Part 1) Pada hari itu, Kelas 2-D menghadapi situasi aneh yang belum pernah terjadi sebelumnya. Teruhiko Yukimura berkali-kali menghentakkan kakinya, sambil melihat ke arah pintu masuk kelas. "Bisakah kamu tenang sedikit? Ini bahkan belum sampai 5 menit sejak Kiyopon pergi. Dia dipanggil oleh sensei, kan? Berarti dia tidak akan kembali dalam waktu dekat." Hasebe Haruka, teman sekelas sekaligus teman terdekat, berkata begitu kepada Yukimura. Sakura Airi dan Miyake Akito duduk di sebelahnya. "Aku sudah tenang... tidak perlu khawatir," jawab Yukimura. Meskipun dia berhenti menghentakkan kaki, tidak lama setelah itu dia kembali tegang. Diam-diam dia mulai menghentakkan kakinya ke atas dan ke bawah, hingga menggesek celananya. Yukimura berencana untuk bicara dengan Ayanokouji sepulang sekolah, tapi dia menundanya karena kehadiran Horikita. Kemudian dia mendengar dari gadis itu bahwa Chabashira memanggilny...