Chapter 8 Part 4
Suara angin kencang bergema di seluruh hutan saat aku berjuang mengikuti jejak dua orang tertentu.
Seberapa keras aku harus berusaha hanya untuk bisa sampai ke area D3 pagi ini...?
Seharusnya tinggal sedikit lagi... setidaknya, itulah yang terus kukatakan pada diriku sendiri sambil terus melangkah maju, meski kakiku gemetar setiap kali aku mengambil langkah.
Jika mereka sampai tahu bahwa aku sedang mengikuti mereka, maka semua yang sudah kulalui, seluruh usahaku sejauh ini, akan jadi sia-sia.
Biasanya, ketika membuntuti seseorang, penting untuk selalu menjaga mereka dalam jarak pandang agar tidak kehilangan jejak.
Tentu saja, itu berarti pihak lain juga bisa melihatmu. Ada risiko tertentu yang tidak bisa dihindari kalau melakukan hal semacam ini.
Tapi, siapa pun pihak yang kuikuti, tidak mungkin mereka akan menyadari apa yang sedang kulakukan.
Lagipula, bahkan aku sendiri tidak bisa melihat Ayanokouji—targetku—dari posisiku sekarang.
Kuncinya ada pada sebuah walkie-talkie yang kusimpan di saku jaketku.
Berkat alat itu, aku bisa terus terhubung dengan seseorang yang membantuku melacak posisi Ayanokouji secara akurat.
Sejak hari keenam, seluruh murid sudah diizinkan menggunakan poin mereka untuk fitur ‘Pencarian GPS’ di tablet masing-masing.
Dengan itu, aku dan rekanku bisa mendapat gambaran kasar mengenai lokasi Ayanokouji.
Kalau pun situasi terburuk terjadi, aku rela menghabiskan seluruh poinku hanya demi melacaknya.
Apa pun caranya, ada sesuatu yang mutlak yang harus kudapatkan:
Bukti yang jelas, tegas, dan tak terbantahkan.
Aku harus mendapatkan cukup bukti yang bisa memastikan Ayanokouji dikeluarkan.
Aku sudah tidak punya pilihan lain. Mengincar pengeluaran Horikita bukanlah hal yang seharusnya kuprioritaskan selama ini.
Aku benar-benar merasa malu—padahal aku selalu samar-samar menyadari kemampuan sebenarnya yang ia sembunyikan, tapi aku memilih untuk terus menutup mata.
Kalau dipikir sekarang, aku seharusnya lebih curiga sejak Ryuuen berhenti mencari ‘X’ di Kelas D.
Ayanokouji terlibat dalam segala hal yang terjadi saat itu. Bahkan setelah mataku terbuka pada kebenaran, masih ada bagian dari diriku yang sulit percaya. Bagaimanapun juga, dia selalu terlihat seperti anak SMA biasa yang tak menonjol.
Walkie-talkie di sakuku berbunyi. Karena aku memakai earphone wireless, aku bisa mendengar suara itu tanpa perlu berhenti berjalan.
[Harap tunggu sebentar, Kushida-senpai. Tampaknya mereka berdua berhenti tak jauh di depan lokasi mu sekarang.]
"Haa, haa... benarkah? Akhirnya mereka beristirahat...?"
Mengikuti instruksi yang kudapat, aku bersyukur bisa berhenti sejenak. Dengan ini, aku akhirnya bisa sedikit beristirahat.
[Aku tahu pasti kau lelah, tapi tolong bertahanlah sedikit lagi. Saat kebenaran itu tiba, tidak akan ada lagi yang bisa menghalangimu.]
Rekanku seharusnya tidak bisa mendengar ucapanku karena aku tidak menekan tombol transmisi, tapi dari cara bicaranya, ia seakan tahu persis keadaan yang sedang kualami.
"Aku tahu, aku tahu..."
Di titik ini, aku hanya merasa kesal. Rasanya seperti ada wortel yang terus digantung tepat di depanku, tapi selalu berada di luar jangkauan.
Aku sudah susah payah mempertaruhkan diriku sejak matahari terbit, dan masih banyak hal lain yang harus kulakukan setelah ini juga...
Istirahat singkatku hanya berlangsung lima menit sebelum instruksi berikutnya terdengar lagi lewat walkie-talkie.
[Tidak ada tanda pergerakan. Sepertinya mereka berhenti sepenuhnya. Usahakan sembunyikan keberadaanmu dan perlahan bergerak ke arah barat laut. Jangan lupa untuk merekam menggunakan tabletmu.]
Cara bicaranya yang sopan tapi terkesan menyepelekan benar-benar menjengkelkan, tapi aku hanya ingin segera menyelesaikan semua ini.
Menahan diri agar tidak berlari, aku mengeluarkan tablet dari ransel dan mulai bergerak ke barat laut. Tak lama kemudian, aku berhasil melihat dua sosok di kejauhan.
Aku melihat Nanase, berdiri kaku di tempat, tiba-tiba menoleh ke arah Ayanokouji dan mengatakan sesuatu.
Karena keduanya tidak terlihat membawa ransel, aku sempat bertanya-tanya apakah mereka memang benar-benar sedang istirahat.
Aku membuka aplikasi kamera di tablet dan beralih ke mode perekaman.
Lalu, aku perlahan mendekat sejauh mungkin tanpa menampakkan diriku, bersembunyi di balik pepohonan. Tapi tidak peduli seberapa keras aku mencoba berkonsentrasi, suara angin yang begitu bising membuatku tidak bisa mendengar percakapan mereka dengan jelas.
Rasa tidak sabar mengalir deras di nadiku.
Darahku mendidih oleh hasrat yang menggerogoti untuk segera melihat mereka saling menyerang.
Mungkin aku bisa lebih memahami situasi jika bisa mendengar apa yang mereka bicarakan, tapi itu terlalu berbahaya.
Kalau aku mencoba mendekat lebih jauh, ada risiko Nanase akan menyadari keberadaanku karena kepalanya sudah berbalik.
Untuk saat ini, aku harus menahan emosiku. Meski sedikit berisiko, satu-satunya pilihanku adalah menenangkan diri dan mencari sudut yang lebih aman.
Aku menahan napas sambil perlahan bergerak.
Setelah sedikit menjauh dari mereka, rencanaku adalah mengitari perimeter dan───
"A─!?!"
Padahal aku seharusnya benar-benar sendirian, tiba-tiba sebuah tangan muncul entah dari mana dan mencengkeram bahuku.
Dan tepat ketika aku hendak berteriak karena terkejut, tangan lain segera menutup mulutku rapat-rapat.
Menghadapi kejadian tak terduga seperti ini, kepanikan langsung menyergapku.
Saat itu juga, sepasang bibir mungil nan menggoda mendekat ke telingaku.
"Shh~ Aku tahu kamu kaget, tapi kamu harus diam ya, Kushida-senpai. Bakal kacau banget kalau Ayanokouji-senpai sama Nanase-chan sampai sadar keberadaanmu, kan?"
Dari bibir sensual itu keluar suara yang terdengar seolah bisa menembus langsung ke dalam jiwaku.
Tak salah lagi—dia adalah Amasawa Ichika dari Kelas 1-A. Seorang gadis yang bahkan belum pernah benar-benar berbicara denganku sebelumnya. Malah, bisa dibilang inilah pertemuan pertama kami secara resmi.
Namun, jelas-jelas Amasawa sudah mengenalku, mengingat ia tahu namaku.
Setelah menyeretku menjauh dari tempat Ayanokouji dan Nanase berada, Amasawa akhirnya melepaskan cengkeramannya.
"Uhm... Kenapa kau ada di sini, Amasawa-san?"
Aku berusaha menahan diri, lalu bertanya padanya—dengan harapan dia segera pergi.
Kalau perkelahian benar-benar pecah saat aku masih membuang waktu dengannya, maka semuanya akan berantakan.
Aku bisa merasakan tekanan darahku naik, tapi tetap saja, aku tidak boleh kehilangan kendali.
"Kebetulan saja aku lewat dan melihatmu bertindak mencurigakan, Senpai."
"Aku tidak ‘bertindak mencurigakan’. Aku cuma... yah, sedang jalan-jalan sendirian, itu saja."
Aku tahu alasan ini terdengar sangat buruk. Toh, aku memang sedang bertindak sendiri, terpisah dari kelompokku.
Siapa pun yang melihat pasti merasa ini situasi yang aneh.
Lagipula, Amasawa sendiri sudah mengatakan bahwa akan berbahaya kalau Ayanokouji dan Nanase mengetahui apa yang sedang kulakukan.
Artinya, ada kemungkinan besar ia sudah tahu apa yang sebenarnya tengah kuperbuat.
Dan memang, sejauh yang kutahu, sebagian murid tahun pertama sudah mengetahui tentang diriku.
"Hmmm... Begitu ya?"
Amasawa mendekat dengan sorot mata yang penuh kecurigaan.
Kalau kupikir-pikir, bagaimana bisa si Amasawa ini sampai ke tempat sejauh ini tanpa tablet, bahkan tanpa membawa ransel sama sekali───
PLAK!!!
Suara keras yang kering, begitu asing, menggema di hutan. Tentu saja, suara itu langsung tenggelam di balik riuhnya hembusan angin.
Baru saja aku bertanya-tanya dari mana asal suara itu, rasa sakit perih yang menusuk tiba-tiba menjalar di pipi kananku. Aku spontan menutupinya dengan tangan.
"A-Apa!?"
"Kau nekat naik gunung sendirian begini... jadi sebenarnya apa sih yang kau incar, Senpai?"
"Ma-Maksudmu apa? Kau bicara apa, Amasawa-san!?"
"Oh? Aku penasaran, berapa lama kau bisa terus bersembunyi di balik topengmu itu~."
Ia kembali mendekat, sementara aku berpura-pura ketakutan atas tamparan yang mendadak mendarat di wajahku tadi.
"He-Hentikan!"
"Tidak mungkin aku berhenti sekarang, bodoh~"
Sambil berkata begitu, ia mengangkat telapak tangannya tinggi-tinggi.
Aku langsung mencoba mundur dan melindungi diri, tapi ia tetap memaksa maju.
PLAK!!!
Kali ini, dia menampar pipiku yang lain—dan dengan keras.
Meski aku sudah berusaha sekuat tenaga untuk menangkisnya, aku sama sekali tak mampu mengikuti kecepatan tangannya yang luar biasa.
"Ap-Apa kau paham apa yang sedang kau lakukan!? Kau tidak boleh berbuat begini!"
"Aku tahu mungkin kelihatannya tidak, tapi aku masih lumayan lembut padamu kok. Harusnya nggak sakit-sakit banget lah."
"Kenapa!? Ini... sama sekali tidak masuk akal!"
"Jadi kau benar-benar nggak ngerti ya~? Oke deh. Kalau begitu, bagaimana kalau aku coba bikin kau nyambung kalau aku mulai mukulmu pakai tinju, hmm~?"
"A-Apa...?"
Otakku bahkan belum sempat memproses kata-katanya ketika penglihatanku mendadak bergetar dan melengkung.
Aku hanya sempat mendengar samar suara sesuatu menghantam, lalu tahu-tahu tubuhku sudah terjerembab ke tanah, menatap langit mendung yang abu-abu.
A-Apa barusan... aku dipukul...?
Rasa hangat mulai menyebar di sisi wajahku, seperti darah yang merembes di bawah kulit.
Pipiku berdenyut panas, perih, dan perlahan membengkak.
"... uuh, aah... Aaah!!"
"Kukira yang satu itu lumayan sakit ya? Jujur aja, jarang-jarang kan dapat pengalaman dipukulin kayak gini?"
Aku benar-benar tak bisa memahaminya. Gadis ini tiba-tiba muncul entah dari mana lalu mulai menyerangku tanpa alasan, tapi kenapa???
Dan justru karena dia terlalu brutal, semuanya jadi semakin tak masuk akal.
"Jadi, bagaimana kalau sekarang aku hajar pipi yang satunya lagi?"
Dengan itu, Amasawa kembali melangkah mendekat.
Yang jelas, ini bukan sekadar lelucon konyol.
Aku harus menghindari pukulannya, bagaimanapun caranya.
Aku berusaha sekuat tenaga menepis tangannya, mendorong lengannya menjauh.
"A-Aku... aku minta maaf kalau mendorongmu, tapi kau tiba-tiba memukulku begitu..."
"Masih pura-pura jadi gadis manis, ya? Begini, aku tahu kau luar dalam, Kushida-senpai. Kau itu wanita busuk, jijik, yang terobsesi sama wajah manismu itu. Kau hidup dari menghisap rahasia-rahasia kelam orang lain, dan begitu kau terpojok, kau akan rela menghancurkan diri sendiri asal bisa menyeret semua orang ikut jatuh bersamamu. Sungguh spesimen murahan, dari ujung ke ujung, iya nggak?"
"A-Aku... aku tidak paham apa maksudmu, Amasawa-san... Ta-Tapi kekerasan itu... tidak baik, bukan?"
"Kalau begitu kenapa nggak coba laporin aja aku ke sekolah? Siapa tahu aku benar-benar dikeluarkan. Tapi ingat ya, kalau kau lakukan itu, aku bakal ninggalin hadiah perpisahan. Khusus buatmu, aku bakal buka semuaaa rahasia kotor masa SMP yang sudah kau kubur dalam-dalam, lalu menghancurkan statusmu."
"Ba-Bagaimana...?"
Kehadiran Amasawa yang tiba-tiba, tanpa air minum, tanpa tablet, tanpa apa pun—jelas bukan kebetulan belaka. Tidak... ada sesuatu yang sangat aneh di sini.
"Bagaimana aku tahu rahasiamu? Dari ekspresimu, kelihatannya kau berpikir aku dengarnya dari Ayanokouji-senpai, ya?"
Ia menatapku dengan sorot mata seolah mampu menebak segalanya.
"Tapi, itu salah besaaar. Tidak ada satu pun di dunia ini yang bisa lolos dariku. Aku itu eksistensi yang spesial, tahu?"
"Tidak ada satu pun di dunia ini...?"
"Mau aku kasih contoh? Ah, bagaimana dengan waktu kau coba mendekati Ketua OSIS Nagumo, tapi langsung ditolak mentah-mentah? Hehe, sejujurnya, bahkan kalaupun usahamu berhasil, kurasa dia juga tak bakal mau mendukungmu sekarang, apalagi setelah Horikita-senpai masuk ke dewan OSIS."
"Ba-Bagaimana... Bagaimana kau bisa tahu hal itu─!"
"Oh, astaga, bagaimana ya~?"
Amasawa tersenyum sinis padaku, seolah aku hanyalah mainan yang bisa ia permainkan sesuka hati. Saat itu juga, kesabaranku benar-benar habis.
"Siapa... Siapa yang bilang padamu!?!?"
"Ooo, akhirnya kau tunjukkan juga warna aslimu! Tapi tahu nggak, kau harus tenang, ya? Aku ngerti pulau ini luas banget, jadi rasanya kayak nggak ada orang lain di sekitar. Tapi tetap saja, kita nggak tahu kapan seseorang bisa muncul."
Amasawa jongkok dan menepuk hidungku dengan ringan, memberi semacam peringatan remeh yang terasa merendahkan.
Sikap busuknya yang penuh kesombongan itu benar-benar membuatku muak.
"Diam kau, dasar jalang busuk!"
Suara teriakan itu meledak dari dasar hatiku, dibakar oleh amarah yang tak bisa lagi ku kendalikan.
Bagi siapa pun yang hanya pernah melihat ‘topeng’ Kushida Kikyou yang manis, kata-kata kasarku barusan pasti terasa mengejutkan.
Namun Amasawa sama sekali tidak kaget. Sebaliknya, ia malah tertawa puas.
"Ahahahaha! Hmm, ini baru cocok banget sama dirimu yang sebenarnya, Kushida-senpai~!"
Ya... dia benar-benar tahu segalanya tentang diriku, tentang apa saja yang sudah kulakukan.
Bahkan, ia tampaknya tahu jauh lebih banyak daripada Ayanokouji maupun Horikita...
"A-Apa... apa sebenarnya mau mu!?"
"Aku juga nggak yakin harus jawab apa kalau ditanya begitu. Aku hanya... yah, aku hanya ada di sini untuk menyelamatkan Ayanokouji-senpai."
"Menyelamatkan? Hah?"
"Jangan coba-coba sembunyi, Kushida-senpai. Aku bisa melihat setiap gerakanmu dengan jelas. Kau berniat mencari-cari kelemahan Ayanokouji-senpai pakai tablet yang kau jatuhkan di sana, kan? Supaya bisa bikin dia dikeluarkan.”
"A-Aku... aku tidak mengerti maksudmu. Cari kelemahan dia dengan tabletku? Hah? Apa maksudnya itu?"
Sial. Gadis ini sudah membongkar semuanya... Dalam hati kecilku aku tahu, melawan pun tak ada gunanya lagi. Tapi tetap saja, aku merasa tak punya pilihan selain menyangkal, terus berbohong sampai akhir.
"Kalian sudah sekelas lebih dari setahun, tapi kau masih aja nggak ngerti apa-apa ya, Senpai? Nggak mungkin banget Ayanokouji-senpai merasa terancam sama cara berpikir dangkal kayak gitu."
Amasawa lalu mengalihkan pandangannya ke arah tempat Ayanokouji dan Nanase seharusnya berada.
"Aah, padahal aku pengen banget duduk manis di kursi penonton barisan depan. Aku yakin dia bakal ngalahin Nanase-chan tanpa harus melukainya sedikit pun. Aku beneran pengen lihat itu~."
Setelah bergumam sendiri, dia kembali menatapku.
"Aku nggak tahu siapa yang menyuruhmu, tapi jelas kau sedang dimanfaatkan habis-habisan, Kushida-senpai. Apa pun yang sedang terjadi di sana dengan Nanase-chan, aku cukup yakin Ayanokouji-senpai sudah menyadari gerak-gerikmu. Nggak mungkin dia tidak menyadarinya, mengingat betapa payahnya kau yang amatiran ini."
"Ta-Tapi aku sudah menjaga jarak cukup jauh...!"
"Eh? Menjaga jarak, hmm? Apa barusan aku dengar pengakuan kalau kau nguntit dia?"
"A-Aku... aku cuma merasa aneh saja melihat mereka berdua pergi bareng..."
"Jadi kau mengikutinya hanya karena penasaran? Menyusuri jalur gunung terjal sendirian, begitu?"
Aku merasa harus berhenti membuat alasan dan jujur saja, tapi kebiasaanku untuk kabur selalu lebih kuat. Pada akhirnya, aku tak bisa lagi memandang Amasawa selain sebagai musuh berbahaya.
"Itu bukan urusanmu."
"Ya ya, aku sudah menduga kau akan keras kepala. Tapi kenyataannya, ini justru sangat ada hubungannya denganku. Karena, Ayanokouji-senpai itu orang yang sangat istimewa bagiku."
"Hah? Maksudmu... kau menyukainya... begitu?"
"Jangan sampai kesimpulannya se-vulgar itu dong~. Bukan ‘suka’ dalam artian romantis. Lebih tepatnya aku ‘mencintainya’...? Hmm, tidak, kurasa perasaan ini jauh, jauh lebih besar dari sekadar cinta. Sesuatu yang jauh melampaui itu."
"Apa...?"
"Aku sudah bilang apa adanya. Pokoknya, aku sudah cukup banyak bicara padamu, jadi kenapa kau tidak turun saja dari gunung ini, kembali ke kelompokmu. Cuaca sebentar lagi bakal memburuk. Ini mungkin kesempatan terakhirmu untuk mundur."
"...Jangan main-main dengan aku!"
Aku mencengkram segenggam tanah basah dan melemparkannya ke arah Amasawa sebagai bentuk penolakan.
"Aku akan mencari kelemahan Ayanokouji dan membuatnya dikeluarkan dari sini, apa pun yang terjadi...!"
"Sekalipun kau berhasil mengusirnya, itu nggak akan menyelesaikan apa pun. Kau tahu itu kan?"
Aku sudah sejauh ini, dan aku sangat ingin ambisiku terwujud.
Karena itu, tak ada alasan bagiku untuk mundur, apalagi menyerah pada seorang adik kelas.
"Aku akan bilang sekali lagi. Ayanokouji-senpai itu orang yang sangat istimewa bagiku. Aku tidak akan pernah membiarkan orang luar sepertimu membuatnya dikeluarkan."
Amasawa kemudian meraih rambut depanku dengan kasar, mencengkeramnya kuat-kuat hingga wajahku terangkat paksa, sejajar dengan matanya.
"Ahh!!! Lepaskan aku!!"
"Kenapa aku harus melakukannya~?"
Mata Amasawa yang berkilau itu justru terasa kosong, hampa; mata seseorang yang telah kehilangan kewarasannya.
Tubuhku mulai bergetar. Instingku menjerit, memohon agar aku segera melarikan diri.
"Dasar gila! Kau nggak normal...!"
"Hmm, menarik sekali~! Kau sampai gemetar ketakutan hanya karena seorang gadis yang lebih muda darimu. Tapi menurutku, sebaiknya kau pelihara baik-baik perasaan menakjubkan itu, Kushida-senpai~."
Amasawa berbicara tentang diriku dengan nada tinggi, namun anehnya terasa seperti hinaan.
Dia terus melanjutkan, jelas-jelas tidak peduli dengan apa pun yang mungkin kuucapkan sebagai balasan.
"Kau pikir kau lebih imut dari semua orang, lebih pintar dari semua orang, lebih hebat dari semua orang... Singkatnya, kau itu cuma jatuh cinta sama dirimu sendiri, bukan, Kushida-senpai? Air liurmu menetes hanya dengan membayangkan bisa menunjukkan dominasimu, selalu haus untuk menguasai rahasia orang lain. Tapi pada saat yang sama, kau benci banget kehilangan kendali itu, nggak akan pernah bisa memaafkan orang-orang yang tahu rahasiamu. Secara pribadi sih, aku nggak masalah sama kepribadianmu yang kacau ini."
Aku menahan diri untuk tidak membalas, memilih memproses situasi dengan kepala dingin.
Jelas sekali... gadis ini—bajingan ini—sudah tahu segalanya tentangku.
Untuk saat ini, aku harus membuang jauh-jauh pertanyaan seperti ‘bagaimana’ dan ‘kenapa’.
Dengan pemikiran itu, aku mencoba menenangkan degup jantungku yang liar, lalu berdiri.
"Tadi... sebenarnya apa maksudmu?"
Aku mengatur ulang pikiranku, perlahan berhasil merebut kembali kendali diri.
Semakin aku dikuasai emosi, semakin aku terjebak dalam ritmenya.
"Yah, tahu nggak, aku lumayan kagum juga kau bisa sejauh ini sendirian. Memang sih, kau punya tablet dan ada seseorang yang membantumu, tapi tetap saja, kenyataannya kau menempuh perjalanan ini dengan kakimu sendiri. Kau juga pasti cukup kesulitan berbohong pada anggota kelompokmu, kan? Lagipula, memisahkan diri dari kelompok itu ada risikonya. Setiap poin yang kau korbankan demi jalan pintas seperti ini sama saja dengan semakin dekat ke pengusiran—"
Sekali lagi, Amasawa menjatuhkanku, lalu menatapku dari atas dengan tatapan meremehkan.
"Tapi, Kushida-senpai yang imut ini pasti nggak akan mengabaikan hal sepele semacam itu, bukan? Meskipun tindakanmu bisa bikin posisi kelompokmu terancam dan tenggelam ke peringkat bawah, aku yakin kau paling tidak sudah menyiapkan poin pribadi yang cukup untuk memastikan keselamatanmu sendiri, iya kan?"
Tak perlu dipertanyakan lagi, asumsinya tepat sasaran.
Aku bisa bertindak sebegitu gegabah karena aku sudah mengamankan dua juta poin yang cukup untuk menjagaku tetap aman.
1,3 juta berasal dari kantongku sendiri, sementara sisanya ditopang oleh ‘orang itu’.
"Aku tidak akan kalah... Apa pun yang terjadi, aku tidak akan menyerah sampai akhir..."
"Kalau begitu~, bagaimana caramu mewujudkan itu~? Dari yang kulihat, kau sekarang ini bermain di telapak tanganku, Senpai."
Apa yang dikatakannya memang benar, tapi...
"—Lalu kenapa? Memang kau berhasil mempermainkanku, tapi sejak kapan aku kalah?"
Api tekad yang membara di dalam diriku tidak akan pernah padam hanya karena hal sepele seperti ini.
Bukannya goyah, aku justru mulai menguasai emosiku kembali sedikit demi sedikit.
Tak ada alasan untuk panik. Itu hanya berarti aku harus menyingkirkan Amasawa juga.
Aku akan menyingkirkan siapa pun—dan setiap orang—yang berani menghalangi jalanku.
Tapi, itu bukan satu-satunya hal.
"Oh...? Ini jauh lebih gila dari yang kubayangkan. Kau benar-benar perempuan busuk ya, Kushida-senpai. Tapi ada satu hal yang masih bisa kuacungi jempol darimu. Kekuatanmu—bukan fisik, tapi kekuatan mentalmu—cukup patut dihargai. Bukan rasa takut yang menguasaimu, melainkan kebencian. Dan itu bukan cuma untukku, tapi juga untuk siapa pun yang tahu kebenaran tentang masa lalumu."
Tanpa repot-repot menepuk tanah dan lumpur dari jersey-ku, aku bangkit lagi. Sama seperti sebelumnya, berapa kali pun aku jatuh, aku akan terus berdiri.
Kalau perlu, aku akan menjatuhkan Amasawa di sini, saat ini juga.
"Jangan repot-repot. Meski tanganku diikat, kau tetap nggak akan punya peluang melawanku. Dah duluan~, Kushida-senpai~."
Dia berbicara seolah tahu persis apa yang kupikirkan, lalu membalikkan badan, memberi celah sempurna untukku menyerangnya.
Pikiranku hanya dipenuhi oleh dorongan manis untuk mendorongnya jatuh dan menekannya ke tanah.
Namun, seperti sudah menduga gerakanku, dia dengan mudah menghindar tepat di detik terakhir.
Tak sampai satu detik kemudian, kakiku disapu hingga tubuhku terhempas lagi ke tanah. Sudah entah berapa kali hal ini terjadi, aku bahkan tak lagi menghitungnya.
"U-Ugh...! Sial!"
"Kita memang nggak cocok ya, Senpai? Aku tahu kau biasanya memperlakukan rahasia orang lain sebagai senjata untuk dapat apa yang kau mau. Tapi, sayangnya, aku nggak punya rahasia yang bisa kau pakai. Mau kau ancam dengan kekerasan pun, aku lebih kuat daripada kebanyakan cowok. Lagi pula aku juga nggak dekat dengan siapa pun, jadi sandera pun nggak bakal ada gunanya. Kalau dipaksa cari kelemahan... mungkin Ayanokouji-senpai bisa dibilang kelemahanku. Tapi, buat orang sepertimu, mengalahkannya sama sulitnya dengan mengalahkanku. Kita sepemikiran, kan?"
Nada suaranya yang cerewet dan meremehkan itu seperti gaya seorang guru brengsek yang sok tahu.
"Yah, gimana kalau sekarang kau menyerah aja? Aku masih harus menemui Ayanokouji-senpai."
"...Mau apa kau? Mau bilang kalau aku ngikutin dia diam-diam?"
"Bukan, bukan. Aku udah bilang, nggak ada gunanya, tolol. Dia udah tahu. Tapi siapa tahu, mungkin semuanya bakal berjalan persis sesuai keinginanmu, Kushida-senpai. Mungkin ribut kecil sama Nanase ini akan berakhir dengan Ayanokouji-senpai dikeluarkan dari sekolah. Kedengarannya kayak mimpi indahmu jadi kenyataan, kan?"
"...Setelah AyanokÅji pergi, giliranmu. Aku pasti akan menghancurkanmu."
"Aduh, Kushida-senpai~. So sweet, tapi hasil pertarungan kita sudah ditentukan bahkan sebelum dimulai. Aku paham sih, menyingkirkan orang-orang yang tahu rahasiamu memang satu-satunya cara bagimu untuk melindungi diri. Tapi cara itu cuma berjalan kalau yang kau hadapi pria seperti Ayanokouji-senpai, yang nggak suka buka mulut tentang rahasia orang lain. Kalau aku, aku akan melakukan apa pun agar rahasiamu terbongkar sebelum aku tinggalkan sekolah. Kau tahu itu, kan?"
"Hah...! Jangan bikin aku ketawa. Emang betul bocah sialan kayak kau pasti nggak tahan untuk menyebarkannya. Tapi itu bukan berarti ada yang bakal percaya. Kebanyakan orang mungkin cuma akan anggap itu ocehan nggak berguna dari seseorang yang sebentar lagi dikeluarkan."
"Yah, bisa jadi begitu. Mungkin memang nggak banyak yang percaya sepenuhnya. Tapi tetap saja, itu cukup untuk memberi retakan pada topeng ‘Kushida Kikyou’ yang selama ini kau bangun dengan sempurna. Dan bukankah itu sudah lebih dari cukup?"
Setelah melontarkan semua kata-kata yang dirasanya perlu, Amasawa menghilang ke dalam hutan, menuju ke arah Ayanokouji dan Nanase.
Bukan berarti aku tidak bisa mengejarnya, tapi kalau aku melakukannya... aku tahu pasti dia akan menyerang balik tanpa ampun.
Dia mungkin akan menyebarkan rahasia yang kusimpan tanpa ragu sedikit pun.
Dan itu berarti mutlak kekalahanku.
Aku terduduk sendirian di dalam hutan, lumpuh, menatap ke langit.
Hujan perlahan mulai turun, menetes lembut di sela-sela dedaunan tebal di atas sana.
Butir-butirnya jatuh di pipiku, lalu mengalir dingin di belakang leherku.
"Aku... sebenarnya lagi ngapain sih...?"
Kata-kata hampa itu keluar dari mulutku. Semuanya terasa kosong. Begitu kosongnya sampai aku bahkan tak lagi bisa merasa marah.
Pertama Ayanokouji, lalu sekarang Amasawa... orang-orang yang mengancam kedamaian hidupku terus bermunculan satu demi satu.
Tidak... bukan cuma mereka berdua.
Mereka bukan satu-satunya alasan kenapa aku hari ini harus berlutut dalam lumpur seperti ini.
Aku mulai mengingat kembali di mana semua ini bermula... alasan kenapa semua bisa jadi begini sejak awal.
...

Komentar
Posting Komentar
Tulis komentar