Langsung ke konten utama

Classroom of the Elite 2nd Year Volume 3 Epilog Part 2

 Epilog Part 2


Hujan mulai semakin deras.

Setelah menenangkan diri dan menerima perasaannya sendiri, Nanase akhirnya bicara dengan nada berat.

"Pertarungan ini... aku kalah, Ayanokouji-senpai."

"Haruskah aku menganggap itu artinya kau sudah benar-benar yakin?"

"Iya. Sepertinya, meskipun aku sudah berusaha sekuat tenaga, tetap saja mustahil bagiku untuk bisa mengalahkanmu, Senpai."

Telah terbaca sampai ke dalam dirinya yang paling dalam, ia tampak pasrah, seolah semua kebencian dan dendam yang tadinya membara lenyap begitu saja.

Membuatnya menyerah tanpa sekalipun aku harus mengangkat tangan, dalam satu sisi bisa dibilang aku sudah cukup berhasil.

"Kalau bisa, jelaskan semuanya secara rinci. Kenapa kau mengincarku? Kalau ini tidak diselesaikan dengan jelas, masalahnya akan merembet ke banyak hal yang lain nantinya."

"Itu adil. Kamu memang berhak tahu─ tidak, aku sendiri memang ingin kamu tahu, Senpai."

Dia lalu duduk setelah mengatakan itu, karena tak ada lagi tenaga untuk berdiri.


Meskipun gerakannya tak seperti orang biasa, bagiku dia tidak terasa seperti siswa White Room.

Kekuatan fisiknya memang pantas untuk dipuji. Bisa dibilang, dia mungkin tidak akan kalah kalau melawan Horikita atau Ibuki.

Namun, dibandingkan dengan seseorang dari White Room, dia masih terlalu kasar dan belum matang.

Selain itu, aneh rasanya kalau siswa White Room sampai menyebut nama Matsuo.

Untuk mencari tahu kebenarannya, aku hanya perlu sabar menunggu jawabannya.

"Aku... Aku masuk sekolah ini karena ingin membalaskan dendam teman masa kecilku."

"Teman masa kecilmu? Maksudmu─"

"Ya. Matsuo Eiichiro."

Aku langsung yakin kalau yang dia maksud adalah putra dari kepala pelayan yang dulu pernah mengurusku.

"Kamu pasti tidak tahu apa yang terjadi, kan? Karena sekolah ini benar-benar terisolasi dari dunia luar. Aku tidak menyadari itu sebelum masuk sekolah ini."

Dalam hal ini, Nanase tidak sepenuhnya salah. Tapi kebetulan aku tahu sedikit tentang apa yang menimpa keluarga Matsuo. Bagaimanapun, ‘dia’ pernah menyinggungnya ketika datang ke sekolah ini untuk membawaku kembali ke White Room.

Dan pada titik ini, Nanase mulai menceritakan segalanya dengan tenang.


Bagaimana Eiichiro dipaksa dikeluarkan dari SMA yang sudah ia perjuangkan mati-matian, akibat intervensi tanpa henti dari ayahku.

Di mana pun sekolah yang dia coba masuki setelah itu, dia selalu menerima nasib yang sama, sampai akhirnya menyerah sepenuhnya pada pendidikan.

Setelah ayahnya mengetahui hal itu, ayahnya mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri, membakar dirinya sendiri.

Dan, setelah kehilangan ayahnya, Eiichiro terpaksa bekerja paruh waktu hanya untuk bisa bertahan hidup.

Meskipun aku sudah mendengar semuanya dari ‘dia’, aku tetap memilih diam dan hanya mendengarkan Nanase.

"Dari TK sampai hari dia lulus SMP, aku selalu bersama dengan Eiichiro-kun. Dia setahun lebih tua dariku dan lebih unggul dalam segala hal, baik pelajaran maupun permainan... Dia adalah inspirasiku, panutanku."

Suara Nanase yang tenang semakin lama semakin berat.

"Bahkan setelah diusir dari rumah, Eiichiro-kun berkata dia tidak akan menyerah sampai akhir, dan saat itulah dia mulai bekerja. Walaupun setelah itu kami jarang bertemu, aku percaya hubungan kami tidak akan berubah."

Dia terus bicara tanpa jeda, seolah sedang kembali hidup di masa lalu.

"Meski sudah menyerah bersekolah... Meski sudah kehilangan ayahnya... Dia tetap bilang dia tidak akan menyerah... Berkata bahwa dia akan menatap kedepan dan berusaha sekuat tenaga... Dia bahkan tersenyum... Namun tetap saja..."

Suara Nanase mulai bergetar, dia mengepal tangannya sangat erat.

"Awal tahun ini, di malam 14 Februari, aku mengunjungi apartemen Eiichiro-kun. Dia sudah berusaha begitu keras, jadi aku berharap setidaknya bisa membuatnya merasa lebih baik, tapi─"

Bahkan tanpa mendengar kelanjutannya, aku sudah bisa menebak ke mana arahnya:

Bahwa, meski sudah berusaha keras, Matsuo Eiichiro pada akhirnya memilih mengakhiri hidupnya sendiri.

"[Kalau tidak bisa bertemu lagi, maka kau tak akan pernah bisa menyampaikan perasaanmu] Itu yang kau katakan sebelumnya."

Aku teringat ucapan Nanase ketika dia menghibur Ike pada hari kedua ujian.

Dalam kasusnya sendiri, dia sudah terlambat untuk menyesal. Kata-kata yang tulus tak lagi ada artinya bila ditujukan pada seseorang yang sudah tiada.

"Aku tidak banyak tahu tentangmu atau ayahmu saat itu. Faktanya, aku baru saja mendaftarkan diri ke SMA lain, namun ketika itu... orang itu muncul di hadapanku."

"Maksudmu, Tsukishiro?"

"Ya. Saat itu, Direktur Sementara Tsukishiro memberitahuku alasan kenapa hidup Eiichiro-kun berantakan. Dia bilang akar dari semuanya adalah seseorang bernama Ayanokouji Kiyotaka yang kabur dari sebuah tempat bernama [White Room] dengan masuk ke sekolah bernama [SMA Koudo Ikusei]. Dan dia juga bilang, dia sudah menyiapkan cara agar aku bisa masuk ke sana."

Dan begitulah, Nanase menerima tawarannya, demi membalas dendam atas kematian sahabat masa kecilnya.

"Kalau aku berhasil membuatmu dikeluarkan, dia berjanji akan mempertemukanku dengan ayahmu, Senpai. Sejujurnya, aku berniat meminta ayahmu menundukkan kepala dan meminta maaf kepada Eiichiro-kun, tapi..."

Sekalipun dia berhasil membuatku dikeluarkan, sama sekali tidak mungkin [orang itu] mau menundukkan kepalanya.

Perkataannya takkan pernah bisa menembus hati orang seperti dia. Aku sangat yakin akan hal itu.

Saat ini aku sudah dapat melihat gambaran besarnya, tapi masih ada beberapa hal yang belum kumengerti.

"Tsukishiro mengatakan padaku bahwa dia telah mengirim seorang murid dari White Room. Apa itu hanya gertakan?"

"Uhm, apa maksudmu dengan itu, Senpai? Aku sendiri bahkan tidak begitu tahu soal [White Room] itu."

Sepertinya dia tidak berbohong, kalau begitu, hanya ada dua kemungkinan yang bisa kupikirkan.

Pertama, orang yang dikirim bukanlah Nanase, melainkan seseorang yang sama sekali berbeda, entah dari White Room atau bukan.

Sedangkan yang kedua, [penegak] yang dimaksud memanglah Nanase, dan dia hanya ingin aku percaya bahwa Nanase berasal dari White Room.

Kalau yang terakhir benar, berarti sudah tidak ada lagi orang lain yang mengincarku.

Namun, hal itu terasa sulit untuk dibayangkan.

Dibandingkan dengan orang lain pada umumnya, Nanase memang sangat berbakat, tetapi kemampuannya masih kurang untuk seseorang yang ditugaskan mengeluarkanku. Bahkan Tsukishiro pun seharusnya tahu bahwa hasilnya akan seperti ini.

"Aku tahu bukan kamu yang salah, Ayanokouji-senpai, tetapi... aku hanya ingin... bukan, aku memang ingin melampiaskannya pada seseorang... semua amarah dan rasa frustrasi yang kupendam..."

Beberapa hal mulai masuk akal setelah mendengar itu. Sikapnya sejak pertama kali dia datang kemari.

Di tengah semua usahanya untuk membuatku dikeluarkan, ada pula beberapa kali di mana dia justru membantuku.

Sikap yang saling bertentangan itu muncul karena Nanase sendiri sebenarnya tidak percaya bahwa apa yang dilakukannya adalah hal yang benar.

Dan hari ini, dengan keyakinan bahwa dia bertindak demi memenuhi wasiat Matsuo Eiichiro, dia melepaskan semuanya.

Kami berada di dataran tinggi gunung, dan hujan yang turun telah mendinginkan tanah di bawah kaki kami, membuat kabut tebal menyelimuti area sekitar.

"Aku... Aku tidak tahu lagi bagaimana harus menghadapi Senpai... aku benar-benar minta maaf..."

Dilanda rasa malu atas dirinya sendiri dan perbuatannya, Nanase menutupi wajahnya dengan kedua tangannya, tak sanggup menatapku.

Tanpa sepatah kata pun, aku menunggu dengan sabar hingga dia tenang.

"Kau tidak perlu meminta maaf. Amarah yang kau rasakan sepenuhnya dapat dimengerti."

Faktanya, [orang itu] telah melakukan dosa besar hanya demi membawaku kembali.

Seseorang yang berhati dingin, penuh perhitungan, dan bahkan tak memandang orang lain sebagai manusia.

Namun, ironisnya, itu juga merupakan cerminan dari diriku sendiri.

"Aku gagal melaksanakan perintah Direktur Sementara. Tidak ada gunanya aku tetap di sini."

"Kau akan keluar dari sekolah?"

"Setidaknya itu yang bisa kulakukan untuk menebus perbuatanku."

[Orang itu] dan aku memang selalu sama.

Selama kami bisa melindungi diri sendiri, keberadaan kami, tidak penting apa yang terjadi pada orang lain.

Dan kami berdua sama-sama enggan begitu saja memperlihatkan jati diri kami kepada orang luar.

Namun, meski mirip, tetap ada satu perbedaan penting di antara kami.

Semuanya berawal pada pilihan: apakah kami akan menyingkirkan orang bodoh yang menghalangi jalan kami, atau... apakah kami mampu mengulurkan tangan.

Mengulurkan tangan pada orang bodoh adalah sesuatu yang tidak akan pernah dilakukan [orang itu], dan itulah perbedaan mendasar di antara kami.

Perlahan, aku mengulurkan tanganku kepada Nanase.

"Senpai...?"

"Kalau kau benar-benar menyesal, tolong tarik kembali ucapanmu barusan."

"Apa... maksudmu...?"

"Tidak ada alasan bagimu untuk merasa malu. Kau hanya berusaha sebaik mungkin membalaskan dendam demi sahabatmu. Namun, ada alasan mengapa aku tidak boleh kalah darimu, karena aku percaya bahwa bertahan di sekolah ini adalah satu-satunya cara bagiku untuk melawan [orang itu], ayahku."

Meski masih enggan menatapku secara langsung, dia mengangkat kepalanya sedikit, cukup untuk melihat telapak tanganku yang terulur.

"Kalau aku boleh sedikit egois, aku lebih memilih tidak mendengar kabar kau keluar dari sekolah. Sebaliknya, aku ingin kau bekerja sama denganku. Bahkan sekarang, Tsukishiro mungkin sedang merencanakan cara menggunakan ujian khusus ini untuk mengeluarkanku dan menyerahkanku sebagai hadiah untuk ayahku. Jika itu terjadi, semua usaha Matsuo Eiichiro untuk memasukkanku ke sekolah ini akan sia-sia."

"Jadi... maksudmu, aku melakukan kebalikan dari selama ini?"

"Maukah kau menjabat tanganku?"

Tangan mungil dan halusnya menggenggam tanganku.

"─Ini adalah janji."

Meski dingin karena hujan, masih ada sedikit kehangatan di dalamnya.

Nanase, yang sejak tadi menundukkan kepala, akhirnya menatap mataku.

Ini tidak ada hubungannya dengan dia benar-benar dapat membantuku atau tidak.

Aku hanya perlu memanfaatkannya agar dia bisa berguna, sekalipun nantinya aku hanya memakainya sekali dan membuangnya.

"Kau bisa masuk angin kalau terlalu lama kehujanan, ayo kita pergi."

"...Baik."





~Volume 3 End~

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Classroom of the Elite 2nd Year Volume 2

Volume 2 Ilustrasi Prolog Chapter 1 Part 1 Chapter 1 Part 2 Chapter 1 Part 3 Chapter 1 Part 4 Chapter 1 Part 5 Chapter 2 Part 1 Chapter 2 Part 2 Chapter 2 Part 3 Chapter 3 Part 1 Chapter 3 Part 2 Chapter 3 Part 3 Chapter 3 Part 4 Chapter 3 Part 5 Chapter 3 Part 6 Chapter 3 Part 7 Chapter 3 Part 8 Chapter 3 Part 9 Chapter 3 Part 10 Chapter 3 Part 11 Chapter 4 Part 1 Chapter 4 Part 2 Chapter 4 Part 3 Chapter 4 Part 4 Chapter 4 Part 5 Chapter 4 Part 6 Chapter 4 Part 7 Chapter 5 Part 1 Chapter 5 Part 2 Chapter 5 Part 3 Chapter 5 Part 4 Epilog [PDF] SS Amasawa Ichika SS Horikita Suzune SS Tsubaki Sakurako SS Shiina Hiyori

Classroom of the Elite 2nd Year Volume 1

Volume 1 Prolog Chapter 1 Chapter 2 Chapter 3 Chapter 4 Chapter 5 Part 1 Chapter 5 Part 2 Chapter 5 Part 3 Chapter 5 Part 4 Chapter 6 Part 1 Chapter 6 Part 2 Epilog SS Horikita Suzune SS Nanase Tsubasa I SS Nanase Tsubasa II SS Karuizawa Kei

Classroom of the Elite 2nd Year Volume 2 Chapter 1 Part 1

Chpater 1 : Perubahan dalam Kehidupan Sekolah (Part 1) Pada hari itu, Kelas 2-D menghadapi situasi aneh yang belum pernah terjadi sebelumnya. Teruhiko Yukimura berkali-kali menghentakkan kakinya, sambil melihat ke arah pintu masuk kelas. "Bisakah kamu tenang sedikit? Ini bahkan belum sampai 5 menit sejak Kiyopon pergi. Dia dipanggil oleh sensei, kan? Berarti dia tidak akan kembali dalam waktu dekat." Hasebe Haruka, teman sekelas sekaligus teman terdekat, berkata begitu kepada Yukimura. Sakura Airi dan Miyake Akito duduk di sebelahnya. "Aku sudah tenang... tidak perlu khawatir," jawab Yukimura. Meskipun dia berhenti menghentakkan kaki, tidak lama setelah itu dia kembali tegang. Diam-diam dia mulai menghentakkan kakinya ke atas dan ke bawah, hingga menggesek celananya. Yukimura berencana untuk bicara dengan Ayanokouji sepulang sekolah, tapi dia menundanya karena kehadiran Horikita. Kemudian dia mendengar dari gadis itu bahwa Chabashira memanggilny...