Langsung ke konten utama

Classroom of the Elite 2nd Year Volume 3 Chapter 8 Part 3

 Chapter 8 Part 3


Langit semakin lama semakin gelap, dan jarak pandang di sekeliling kami pun semakin memburuk.

Angin juga semakin kencang, dan sesekali hembusan yang lebih ganas turun menghantam lereng.

Meski begitu, kabar baiknya adalah perjalanan menuju puncak hampir selesai.

Yang perlu kami lakukan sekarang hanyalah menuruni sisi lainnya melalui jalur yang relatif lebih landai.

Tentu saja, kami tetap harus berhati-hati agar tidak sampai kehilangan pijakan saat turun nanti.

"Aku akan baik-baik saja mulai dari sini. Tasku... biar aku yang membawanya lagi."

"Kau yakin? Aku ingin menghindari buang-buang waktu hanya untuk menyerahkannya lagi nanti."

"Ya, aku yakin. Terima kasih banyak sudah membantuku."

Aku menatapnya sekali lagi untuk memastikan, tapi melihat keyakinan di wajahnya, aku pun menyerahkan kembali tas itu.

Namun, bukannya langsung menyampirkannya ke bahu seperti sebelumnya, ia justru berdiri diam, menatap tas itu sambil menggenggamnya di tangan.

"Jadi? Apa kau sudah siap jalan lagi?"

Aku menanyainya, tapi ia sama sekali tidak mencoba menjawab. Sikapnya itu jelas bukan seperti orang yang terburu-buru ingin segera sampai tujuan.

"Ayanokouji-senpai, ada sesuatu yang ingin kutanyakan."

"Sejak tadi pagi, dari saat kau keluar tenda, kau terlihat terus memikirkan sesuatu."

Tidak, lebih tepatnya, sejak ia pertama kali meminta untuk menemaniku, aku sudah merasakan ada aura rasa ingin tahu darinya.

"Jadi... ternyata Senpai juga menyadarinya, ya?"

Nanase tidak terlihat terkejut, hanya mengangguk pelan sambil berbicara.

"Ada alasan kenapa selama beberapa hari ini aku terus menempel padamu, Ayanokouji-senpai."

Ia berdiri di sana, tak bergerak, sebelum mulai menjelaskan.

Jelas alasannya jauh lebih dalam daripada sekedar alasan kami berada di Table yang sama.

Tampaknya, dia akhirnya siap memberitahu jawaban yang selama ini kucari.

"Tapi sebelum itu, izinkan aku meminta maaf terlebih dahulu."

Ia membalikkan badan, lalu meletakkan ranselnya di pangkal sebuah pohon besar.

"Sayangnya, Senpai tidak akan bisa mencapai area E2 hari ini."

"Kata-katamu terdengar aneh. Bukankah kita memang sedang menuju ke sana?"

"Alasan aku ingin naik gunung ini sebenarnya untuk memancingmu ke sini, Senpai."

Dengan kata lain, tujuan Nanase bukanlah area E2, melainkan tempat kami berdiri sekarang—bagian utara D3.

"Mungkin hanya ada kita berdua saja di sini."

"Ya. Aku juga merasa begitu."

Setelah menyingkirkan ranselnya, Nanase kembali berbalik menghadapku.

"Selama enam hari ini aku bersamamu, aku sudah melihat banyak hal, Ayanokouji-senpai. Kamu berhasil mendapatkan banyak teman di sekolah ini, membangun kepercayaan dari mereka. Dan, sedikit demi sedikit, kamu menunjukkan kemampuanmu yang sebenarnya."

Sambil mengingat kembali minggu pertama kami di pulau ini, Nanase mulai menyampaikan kesannya.

"Aku juga ingin menyampaikan rasa hormatku pada ketajaman intuisi dan kemampuan fisik yang sesekali kamu tunjukkan."

"Aku tidak merasa melakukan sesuatu yang istimewa."

"Kalau benar begitu, bukankah itu justru membuatmu semakin luar biasa?"

Meski kata-katanya penuh pujian, ekspresinya tetap serius.

"Tapi, Ayanokouji-senpai... aku rasa kamu bukanlah orang yang pantas berada di sekolah ini."

Di titik itu, aura di sekelilingnya berubah, berbeda jauh dari yang biasa kutemui selama beberapa hari ini.

"Tidak pantas? Bisa kau jelaskan alasannya?"

Nanase mengangguk, perlahan berdiri tegak, lalu menatap mataku.

"Itu karena... kamu berasal dari White Room."

Akhirnya, setelah sekian lama, aku mendengar kata White Room diucapkan langsung dari mulut seorang murid lain sekolah ini.

Hanya sedikit orang yang tahu tentang keberadaan tempat itu.

Dalam situasi yang lebih normal, aku pasti bisa langsung memastikan tanpa ragu bahwa dialah orang yang dikirim Tsukishiro.

"Mungkin seperti yang sudah Senpai duga, aku masuk ke sekolah ini atas perintah Direktur Sementara Tsukishiro. Dan lebih tepatnya, perintah itu adalah untuk membuatmu dikeluarkan."

Cara Nanase mengungkapkan semuanya begitu terang-terangan seperti ini membuat ku sulit membayangkan bagaimana ia bisa begitu lama berdiam di balik layar, menyembunyikan niat aslinya.

"Kau bisa saja melakukannya kapan pun kau mau dalam beberapa hari terakhir. Jadi kenapa harus di sini? Kenapa sekarang? Pasti ada alasan lain selain untuk menghindari orang lain, kan?"

"Aku berencana menjatuhkanmu di sini lalu melukaimu, sehingga memicu Alarm Daruratmu. Para guru pasti akan segera datang dan memaksamu pensiun, yang artinya kau akan dikeluarkan. Sesuatu seperti itu."

"Jadi, persis dengan apa yang terjadi pada Komiya dan Kinoshita. Apa kau juga dalang di balik insiden itu?"

"Hmm... bagaimana menurutmu, Senpai?"

"Kurasa kau tidak akan sempat bolak-balik dalam waktu sesingkat itu. Tapi, kalau kau benar-benar berasal dari White Room, aku tidak begitu yakin."

Bagaimanapun, pada titik ini hal itu sudah tidak penting lagi.

"Lalu bagaimana kalau aku bilang pada guru yang datang nanti bahwa kau lah orang yang menyerangku?"

"Kurasa itu tidak akan begitu membantu. Mau tahu alasannya? Karena guru yang akan datang ke sini sudah pasti Direktur Sementara itu sendiri."

Tak ada gunanya berusaha membela diri. Apa pun bukti yang kumiliki, Tsukishiro tetap akan berpihak pada Nanase.

"Begitu rupanya. Jadi kalau aku kalah darimu di sini, sama saja artinya aku dikeluarkan dari sekolah."

Perlahan, aku melepas ranselku.

Setelah meletakkannya di samping pohon yang cocok jadi sandaran, aku kembali berbalik menghadap Nanase.

"Kalau Direktur Sementara Tsukishiro mengirimmu dengan keyakinan bahwa kau bisa mengalahkanku, maka sepertinya aku tak punya pilihan selain bertarung sungguh-sungguh. Meskipun, mengangkat tangan melawan seorang gadis bisa dengan mudah jadi masalah besar."

Pertarungan ini jelas tidak akan berakhir hanya sebagai perkelahian kekanak-kanakan.

Namun, jika sampai aku membalas serangannya, itu sudah lebih dari cukup untuk memicu hukuman.

Tidak ada jaminan bahwa Tsukishiro tidak akan membuat keputusan untuk membuat kami mengundurkan diri, atau lebih tepatnya, mengeluarkan kami berdua hanya karena saling adu pukul.

Kalau kami seimbang, itu sama saja dengan kekalahanku.

"Kalau Senpai mencari jalan keluar, satu-satunya pilihanmu adalah meninggalkan tas itu dan melarikan diri."

"Mungkin begitu."

"Tapi, sayangnya itu pun tak akan berguna."

Melanjutkan ujian tanpa tablet, tenda, atau peralatan lain sama saja dengan bunuh diri.

Artinya apa pun pilihanku, bagi Nanase, ia sudah siap untuk menanggapinya.

"Jadi, apa yang akan kamu lakukan?"

"Kalau sudah sejauh ini, hanya ada satu pilihan yang bisa kuambil."

Aku menatap mata Nanase, meneguhkan tekadku untuk bertarung.

"Jadi Senpai memilih untuk bertarung. Tapi, apa menurutmu itu akan menyelamatkanmu? Mungkin aku terdengar seperti pengecut, tapi kekalahanku sama saja dengan kekalahanmu juga, Ayanokouji-senpai."

"Mungkin kau benar."

Sambil percakapan terus bergulir, aku menciptakan sebuah celah, membuat diriku tampak terbuka terhadap serangan.

Namun, Nanase tidak langsung menyerang. Ia tampak sangat waspada terhadap celah yang sengaja kutunjukkan.

Dia bukan tipe yang bertarung secara gegabah. Sebaliknya, ia terlihat lebih memilih pendekatan ortodoks—mendorong lawan sedikit demi sedikit hingga tersudut.

Menahan diri agar tidak larut dalam tempo lawan merupakan keputusannya yang bijak.

"Kalau begitu, aku akan mulai."

Lebih dari itu, kenyataan bahwa ia sengaja memperingatkanku terlebih dahulu adalah bukti bahwa ia bukan tipe yang suka merencanakan tipu daya dari balik bayangan.

Tentu saja, bisa jadi itu hanyalah sebuah umpan.

Meski tanah di bawah kaki cukup gembur, sepertinya masih akan cukup berfungsi sebagai arena pertarungan kami.

"Hyaaah!!!"

Menjejak tanah, Nanase langsung menutup jarak di antara kami dalam sekejap.

Apakah ia akan menyerang dengan tangan, ataukah mengandalkan kaki?

Atau bahkan menggunakan keduanya?

Dalam situasi normal, aku akan memulai dengan menganalisis gaya bertarung lawan seperti ini dengan saksama.

Bagaimanapun juga, jika aku sembarangan membalas serangan, Nanase bisa saja terluka cukup parah.

Dan, mengingat apa yang telah ia katakan sebelumnya, itu hanya akan menjerumuskanku ke posisi yang lebih tidak menguntungkan.

Dengan situasi seperti ini, pikiranku berikutnya adalah mencoba menahannya dengan paksa. Namun aku khawatir—besar kemungkinan ia sudah memperhitungkan hal itu juga.

Tapi meskipun begitu, itu tetap bukan pilihan yang bijak.

Meski kata-kata Nanase saja tidak bisa sepenuhnya dipercaya, seharian ini aku bisa merasakan adanya sosok yang terus membuntuti kami dari belakang.

Sudah pasti ada seseorang—atau bahkan lebih dari satu—yang mengawasi, menjaga jarak dengan sangat hati-hati sambil menunggu untuk melihat bagaimana situasinya akan berkembang.

Siapa pun mereka, jika bukan bala bantuan, maka kemungkinan besar mereka ditugaskan untuk merekam bukti yang menentukan dengan tablet atau semacamnya.

Karena itu, dalam situasi ini, satu-satunya pilihan nyata yang bisa kuambil adalah…

Dengan berpura-pura membuat feint ke arah kiri, Nanase tiba-tiba menerjang lurus ke arahku dengan tangan terulur.

Bukannya mengepalkan tinju, ia mengayunkan telapak tangannya yang terbuka—memilih teknik grappling sebagai cara menyerang.

Melihat itu, aku segera bergerak. Meskipun reaksiku sedikit tertunda, kecepatanku dengan mudah melampaui serangan Nanase yang datang.

Menghindari lengannya dengan bersih, aku mengulurkan tanganku sendiri, mengarahkan pukulan lurus tepat ke wajahnya.

Kepalan tanganku yang terkunci erat berhenti hanya beberapa sentimeter sebelum menghantam kening Nanase.

"!"

Karena penglihatannya jauh melampaui orang biasa, ancaman pukulan itu membuat tubuhnya secara refleks menegang kaku.

"Itu yang pertama."

Andai aku tidak menghentikan pukulan ini, hasil pertarungan sudah diputuskan saat itu juga.

Kesadarannya pasti akan terhempas dalam sekejap, membuatnya roboh di tempat.

"Nanase, kau kelelahan? Atau kau merasa ragu? Kau seharusnya jauh lebih mampu dari ini."

Berdasarkan apa yang telah ia tunjukkan selama beberapa hari terakhir, ia seharusnya bisa bergerak di tingkat yang lebih tinggi daripada ini.

Pada akhirnya, tekadnya untuk memburuku dan memaksaku ke pojok masih belum cukup kuat.

"Apakah kamu pikir bisa mengalahkanku tanpa benar-benar bertarung balik...? Apa itu maksudmu?"

Aku menarik kembali tanganku tanpa menjawab, dan Nanase segera mundur, menciptakan jarak sekitar dua meter di antara kami. Namun ini hanya sementara.

Sekejap kemudian, ia kembali menjejak tanah, menerjang ke arahku lebih cepat dari sebelumnya. Dengan tangan kiri terkepal dan tubuh merunduk, jelas ia berniat melancarkan sebuah uppercut.

Aku menggeser langkah ke samping sesaat sebelum pukulannya mengenai sasaran, lalu melepaskan tinjuku sendiri yang melesat lurus ke arah pipinya.

Tentu saja, sama seperti sebelumnya, aku menghentikannya hanya satu atau dua sentimeter sebelum benar-benar mengenai.

"Itu yang kedua. Kalau aku teruskan, kau sudah kalah dua kali sekarang."

"Tapi kamu tidak melakukannya."

Tatapannya tertuju pada kepal tangan yang masih membeku di udara di depan wajahnya. Namun tak ada sedikit pun rasa takut dalam ekspresinya.

"Benar."

"Meskipun bebas saja kamu memamerkan kamu lebih mendominasi seperti ini, kamu tidak mungkin menang jika tidak benar-benar membalas seranganku."

"Lagipula, meskipun aku melakukannya, aku juga tetap tidak punya peluang, kan?"

"Betul. Jadi, apa yang akan kamu lakukan?"

Dari nada bicaranya, jelas Nanase sendiri juga belum menunjukkan kesungguhannya.

Ia menatapku dengan seksama, menganalisis setiap gerakanku. Terus maju menyerang sembari menimbang cara untuk menghindari apa pun serangan yang mungkin kulepaskan berikutnya.

"Aku sendiri belum yakin."

"Kalau begitu, lebih baik kamu segera memikirkannya... selagi kamu masih bisa berdiri dan berbicara."

Saat itu juga, ia tiba-tiba bergerak dan mencengkeram lengan kananku dengan kelincahan dan kekuatan yang menandakan kalau akhirnya dia mulai serius. Sepertinya dia berniat menjatuhkanku langsung ke tanah, jadi aku menguatkan diri dan melawan tarikannya dengan kekuatanku sendiri.

Ada banyak aliran seni bela diri yang memungkinkan seseorang mengatasi kekuatan fisik murni dengan teknik dan keterampilan terlatih, tanpa peduli pada gender maupun bentuk tubuh.

Namun, itu hanya berlaku ketika menghadapi lawan yang kekuatannya jauh di bawah kemampuanmu.

"Apa─!?"

Saat ia terkejut melihat kekakuan tubuhku, aku langsung memanfaatkan celah itu untuk menyerang.

Begitu ia berhenti berusaha menarik lenganku ke bawah, aku mengayunkan sebuah uppercut. Tinju kiriku menembus udara, berhenti kurang dari satu sentimeter dari dagu bawahnya. Hantaman itu begitu kuat hingga rambut panjangnya terhempas ke belakang meski tak ada kontak yang benar-benar terjadi.

"!!!"

Ia menatap kepalan tanganku dengan mata terbelalak, lalu perlahan mengalihkan pandangan ke arahku.

"Sekedar untuk mengingatkan saja—ini sudah ketiga kalinya."

Untuk pertama kalinya, sorot matanya mulai goyah saat bertemu dengan tatapanku.

"Sepertinya kekuatanmu memang sesuai dengan rumor, Ayanokouji-senpai..."

Aku tidak bisa membalas dengan serius saat ini. Satu-satunya cara adalah menghancurkan semangat juangnya tanpa benar-benar melukainya.

Aku harus membuatnya sadar bahwa aku adalah lawan yang tidak akan pernah bisa ia kalahkan.

"Aku tahu apa yang coba kamu lakukan sekarang, Senpai..."

Sepertinya, Nanase juga menyadarinya.

"Memang benar, kecil kemungkinan aku bisa menang jika terus seperti ini. Aku akui itu."

Apa semangat juangnya sudah hilang...? Tidak, mustahil.

Matanya masih dipenuhi campuran kebencian dan obsesi saat menatapku.

"‘Aku’... mungkin tidak akan bisa mengalahkanmu."

Sejauh ini, Nanase sepenuhnya ada dalam genggamanku. Namun, saat ia berbicara sekarang, jejak keraguan dalam ekspresi maupun gerak tubuhnya perlahan memudar. Atau lebih tepatnya, seolah-olah sejak awal ia sama sekali tidak pernah ragu.

Seakan ia mencoba menyatukan semua pikiran, perasaan, dan emosinya menjadi satu kesatuan yang utuh.

Tanpa sepatah kata, Nanase kembali menjejak tanah, melesat ke depan dengan kecepatan tinggi.

Aku tidak punya waktu lagi untuk menganalisis situasi dengan tenang. Aku terpaksa mengerahkan seluruh fokus untuk menghindar secepat mungkin. Gerakannya kini dua kali lebih cepat dibanding sebelumnya. Aku mundur cukup jauh untuk menghindari serangannya, lalu menambah beberapa langkah lagi untuk berjaga-jaga.

Tatapannya menusuk lurus ke arahku—tajam, begitu mematikan seolah bisa membunuh seseorang.

Perubahannya begitu drastis hingga sulit dipercaya bahwa dia adalah orang yang sama dengan sebelumnya. Jika aku menerima serangan terakhir itu secara langsung, kerusakan yang kuderita akan cukup parah. Sekali saja aku lengah, ia benar-benar bisa membalikkan keadaan.

Aura yang ia pancarkan sekarang benar-benar berbeda dari apa pun yang pernah kulihat darinya.

"Karena itu...『Aku』yang akan melakukannya. Di sini, sekarang juga."

Perubahan dari ''Watashi'' menjadi『Boku』

Tidak mungkin hanya dengan perubahan kata ganti panggilan bisa mengubah gerakan seseorang.

Namun, tak bisa dipungkiri bahwa serangan terakhirnya berada di level yang sepenuhnya berbeda dibanding tiga serangan awalnya.

"Siapa kau sebenarnya?"

Melihat situasi ini, aku tidak bisa menahan diri untuk bertanya.

"『Aku』kembali dari ‘tempat itu’ untuk menghentikanmu."

‘Tempat itu’? Sesaat aku mengira ia berbicara tentang White Room, tapi sepertinya bukan.

"Dari tempat yang gelap... suram...『Aku』telah kembali."

Meski aku sama sekali tidak mengerti apa yang dia bicarakan, aku tidak boleh lengah.

Nanase yang kini menyebut dirinya dengan『Boku』telah mengubah gaya bertarungnya dari jiu-jitsu menjadi karate. Ia menyerang berulang kali dengan tusukan dan pukulan cepat—serangan mematikan yang, jika mengenai target dengan tepat, bisa cukup untuk menjatuhkan seorang pria dewasa.

Setelah tubuhku mulai menyesuaikan diri dengan irama untuk menangkis dan menghindar, aku mulai merenungkan misteri di balik perubahan kata ganti orang pertamanya itu.

"Kau pikir bisa terus menghindar selamanya!?"

Di pikirannya, ia mungkin yakin bahwa jika ia terus menyerang sepuluh, dua puluh kali, pada akhirnya salah satunya pasti akan mengenai. Karena itu ia menyingkirkan semua keraguan dan terus maju dengan serangan tanpa henti.

Siapa pun yang menyaksikan ini pasti akan berpikir sama.

Mereka akan mengira aku tidak mungkin bisa menghindar selamanya, cepat atau lambat aku pasti terpaksa melawan balik demi bertahan.

"Ha, Haaa!!!"

Napas Nanase makin berat seiring rentetan serangannya.

Tentu saja, mustahil ia bisa mempertahankan kecepatan serangan itu selamanya.

Namun, jika aku tidak melawan balik sama sekali, dia bisa memulihkan kekuatannya kapan saja.

"Hhh... Haaa...!"

Seperti yang kuduga, tak lama kemudian Nanase kehabisan napas dan mundur untuk menstabilkan pernafasannya.

"Pasti...『Aku』pasti akan mengalahkanmu... Pasti... mengalahkanmu..."

Dia merapal kata-kata itu seperti mantra seorang biksu, sambil menatapku seolah aku seorang pembunuh.

"『Aku』telah kembali...『Aku』kembali hanya untuk menjatuhkanmu..."

"Kembali? Apa maksudmu?"

Aku benar-benar tidak paham apa yang dia bicarakan sejak tadi.

"Tidak heran kau tak mengerti. Lagipula, kau dan『Aku』belum pernah bertemu langsung sebelumnya."

Jika memang begitu, kebencian berlebihan yang ia tunjukkan padaku ini sungguh tidak masuk akal.

Aku bisa membayangkan murid White Room mungkin menyimpan dendam meski belum pernah bertemu denganku.

Namun, apakah Nanase benar-benar berasal dari White Room?

Nada suaranya sedikit berbeda dari biasanya.

Walau wujudnya masih seorang gadis, kepribadiannya kini terasa seperti seorang pria.

"Kalau kau memilih untuk tidak melawan, itu keputusanmu.『Aku』akan terus melakukannya sampai kamu jatuh─"

Baru sekitar dua puluh detik sejak ia berhenti menyerang, tapi itu sudah cukup baginya untuk memulihkan tenaga.

"Hyaaah!!!"

Kebenciannya padaku tampak mendorongnya semakin jauh. Ia meluncurkan sebuah jab tercepat yang pernah kulihat darinya hari ini.

Tangan putihnya yang ramping melesat ke arah wajahku, kepalan itu hampir saja menyentuh ujung rambutku.

Di luar, ia masih tampak sebagai Nanase yang biasa, tapi mungkinkah di dalam ia sudah berubah menjadi sosok lain?

Saat aku memikirkan itu, satu hal terlintas di kepalaku.

Yaitu kemungkinan kepribadian ganda—yang secara resmi dikenal sebagai dissociative identity disorder.

Secara sederhana, ini adalah gangguan mental di mana dua atau lebih kepribadian berbeda tinggal dalam satu tubuh.

Jika Nanase memang mengidap gangguan ini, semuanya jadi lebih masuk akal.

Gangguan ini lebih dari sekadar perubahan kepribadian. Pernah ada kasus langka di mana salah satu kepribadian mengidap penyakit kronis, namun penyakit itu hilang saat pasien beralih ke kepribadian lain.

Dengan logika yang sama, bukan mustahil kepribadian『Boku』yang ada dalam diri Nanase memiliki kemampuan fisik yang jauh melampaui dirinya yang asli.

Dan, jika kepribadian ini benar-benar milik seorang pria, maka mungkin saja ia mampu menunjukkan kekuatan yang hampir identik dengannya.

"Kau tidak lagi terlihat seperti Nanase."

Mendengar ucapanku, Nanase seketika menghentikan serangannya, menunjukkan ekspresi kesal yang tampak jelas wajahnya.

"Kau masih belum mengerti juga, ya?"

Ia menatapku tajam dengan lengannya terulur ke depan; kedua tinjunya bergetar karena amarah, sama seperti suara yang keluar dari mulutnya.

"『Aku』bukan Nanase. Orang yang berdiri di hadapanmu sekarang ini adalah... Matsuo Eiichirou."

"Matsuo Eiichirou?"

Jelas aku pernah mendengar nama keluarga Matsuo sebelumnya, bahkan belum lama ini. Nama itu muncul dari mulut orang itu ketika dia datang berkunjung ke SMA Koudo Ikusei. Dengan itu saja, aku sudah cukup bisa menebak ke mana arah pembicaraan ini.

"Putra dari pria yang dibunuh oleh ayahmu."

Melihat ekspresiku yang masih belum sepenuhnya mengerti, ia kembali membuka suara, kali ini dengan nada penuh kejengkelan.

"Tubuh ini hanya dipinjam. 『Aku』ada di sini, sekarang juga, semata-mata untuk menjatuhkanmu."

"Dipinjam? Lelucon yang konyol."

Tidak mungkin seseorang bisa mengambil alih kepribadian orang lain yang benar-benar nyata.

"Kalau kau pikir『Aku』bercanda, silakan saja buktikan."

Nanase kembali menjejak tanah dengan keras, lengannya bergetar hebat.

Gaya serangan tradisional yang sebelumnya ia gunakan perlahan berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih liar dan tak terkendali.

"『Aku』ada di sini... 『Aku』datang sejauh ini hanya untuk melihatmu kejatuhanmu!"

Bukan hanya gaya serangannya, seluruh gerakannya berubah. Dari yang awalnya terkontrol dan penuh perhitungan, kini menjadi brutal dan tak beraturan.

Tujuannya hanya satu: menekanku dengan kecepatan dan kekuatan. Meski sebagai gantinya, gerakannya menjadi lebih boros tenaga dan tidak efisien.

Namun, pada akhirnya, terlepas dari hal itu, selama ia bisa mendaratkan satu pukulan saja, mungkin tidak akan banyak perbedaan.

"『Aku』akan pastikan kau menerima balasannya!"

Meskipun ia telah meningkatkan intensitasnya, aku tentu tidak akan membiarkan diriku terkena begitu saja. Dan setelah semua yang terjadi, Nanase seharusnya juga sangat menyadari hal itu.

Meski berusaha tampak tenang, sebenarnya dialah yang terdesak, bukan aku.

Sebanyak apa pun ia mencoba mengambil napas singkat untuk memulihkan stamina, bahunya yang naik-turun dengan kasar menunjukkan bahwa ia sudah mendekati batas.

Namun, menunggu batas itu datang akan percuma. Tidak mungkin ia akan memilih mundur. Sebaliknya, ia pasti akan terus maju hingga akhir. Jadi satu-satunya pilihan yang kupunya adalah mematahkan semangat bertarungnya.

"Ini pertama kalinya『aku』melawan seseorang yang bisa menghindari begitu banyak serangan. ... Tapi, tidak mungkin kau bisa selamanya begini. Jika lawanmu『aku』... Jika『aku』yang kau hadapi... Maka『aku』pasti bisa mengalahkanmu!『Aku』tahu itu!"

Meski perlahan semangatnya mulai runtuh, ia tetap menunjukkan taringnya, berusaha menggigit balik semampunya.

"Kurasa aku sudah mengerti apa yang ingin kau katakan."

Aku mungkin belum tahu detail lengkap situasinya, tapi setidaknya ada satu hal yang bisa kupastikan dari semua ini.

Setelah beberapa saat merangkai pikiranku, aku akhirnya bicara.

"Nanase, kau tidak punya kepribadian ganda, dan juga tidak ada kepribadian orang lain yang mengambil alih dirimu."

"Seperti yang kukatakan, kalau kau pikir『aku』bercanda, silakan saja. Tapi kenyataannya,『aku』lah yang berdiri di depanmu sekarang."

Ia meninggikan suaranya, menghentakkan kaki ke tanah.

Namun, justru itu saja sudah cukup menjadi bukti bahwa hal itu tidak nyata.

"Tidak, sayangnya aku tidak bisa mempercayaimu. Kalau saja kepribadian alternatifmu bukanlah seseorang yang benar-benar ada, mungkin aku masih bisa percaya. Tapi kau mengatakan bahwa ‘Matsuo Eiichirou’, seseorang yang nyata, meminjam tubuhmu. Maaf, tapi itu terlalu tidak masuk akal."

"Kalau begitu... Kalau begitu bagaimana kau menjelaskan『keberadaanku』di sini!?"

Tak perlu dipikirkan dalam-dalam, jawabannya sebenarnya sederhana.

"Kau hanya menciptakan kepribadian lain di dalam dirimu sendiri. Alasannya kau sengaja mengganti kata ganti dari ‘Watashi’ ke『Boku』adalah untuk mengingatkan dirimu sendiri akan hal itu."

Pada dasarnya, Nanase adalah seseorang yang tidak suka kekerasan.

Ia tidak menyukai gagasan menggunakan kekuatan untuk memaksa orang lain tunduk.

Namun, karena ia terpaksa bertarung, maka satu-satunya cara adalah menciptakan sebuah kepribadian yang bisa melakukan kekerasan untuknya.

Dengan kata lain, ia hanya ‘memerankan’ kepribadian itu.

"Lebih dari segalanya, kekuatan ini adalah bukti bahwa『aku』nyata!"

Dengan itu, tinjunya meluncur padaku, jelas lebih cepat dan kuat dari pukulan sebelumnya.

"Itu bukan apa-apa selain kekuatan yang memang sudah ada di dalam dirimu, Nanase."

Wajah Nanase memucat, seolah terguncang karena aku berhasil menyentuh inti permasalahannya.

"Ka-kau salah!『Aku』...『Aku』ini Matsuo!"

"Kalau memang benar kau Matsuo, maka kau tak perlu marah seperti ini."

Sebagai Matsuo, ia cukup bisa menertawakanku, menyebut alasanku konyol, dan mengabaikannya begitu saja.

"Tapi sejak kau mengganti kata gantimu, ada yang janggal dalam caramu berbicara. Itu tidak lebih dari bentuk penipuan diri."

Kata ganti『Boku』hanya dijadikannya pemicu untuk memaksa dirinya tampil lebih agresif.

"Tidak!!!"

"Kau ingin percaya bahwa kepribadian Matsuo ada dalam dirimu... Tidak, bahkan aku yakin jauh di lubuk hatimu sendiri kau pun tidak percaya itu."

Ia mati-matian mencoba berpegang pada topeng kebohongan itu, tapi tidak bisa.

"AAAAAAAAHHHHHHH!!!"

Tak sanggup lagi mendengar ucapanku, Nanase menjerit dan menerjangku.

Namun kecepatan dan ketajamannya tadi sudah lenyap. Kini serangannya begitu lamban hingga aku merasa bisa menghindar bahkan dengan mata tertutup.

"Sudah cukup, Nanase. Kau tidak bisa mengalahkanku."

"『Aku』bisa!『Aku』harus bisa!"

Ia meraih kerah jerseykku dengan tangan kiri, lalu mengayunkan tangan kanannya lebar-lebar untuk menghantam wajahku.

Posisiku memang terlihat terbuka lebar, target yang mudah. Biasanya, hampir mustahil untuk menghindar.

Tapi meski gerakku terbatas oleh cekikannya, aku tetap berhasil menghindar dengan mulus.

"Cih!"

Sebuah pukulan lain menyusul, tapi lagi-lagi aku berhasil menghindarinya.

"Kenapa!? Kenapa『aku』tidak bisa mengenaimu!?!? Kenapa bisa begini!?!?"

Pukulan ketiga, keempat, kelima... namun hasilnya tetap sama.

Frustrasi karena pukulannya tak kunjung mengenai sasaran, ia nekat mencoba meraih rambutku, mungkin berpikir jika kepalaku tak bisa bergerak, maka ia bisa menghantamku.

Namun, aku segera mencengkeram pergelangan tangannya sebelum sempat menyentuhku.

"Le-Lepaskan!"

"Meski kulepaskan, hasilnya tidak akan berbeda."

"Lepaskan『aku』!!!"

Ia menarik paksa tangannya, lalu mengulangi siklus tanpa arti itu lagi.

Tinju meluncur ke udara kosong, lagi dan lagi. Aku bahkan sudah kehilangan hitungan berapa kali ini terjadi.

"Haa... Haa... Haaaa...!"

Akhirnya, ia benar-benar mencapai batasnya, baik fisik maupun mental.

"Kenapa... kenapa...『aku』sudah sedekat ini tapi... hanya sedikit lagi, dan..."

Namun tekadnya sudah hilang. Lututnya gemetar, tubuhnya enggan maju.

"Sejak awal, sebuah kesalahan jika kau berpikir kau bisa mengenaiku kalau terus mencoba. Dengan kemampuanmu, bahkan sampai kau mati sekalipun, kau tidak akan pernah bisa mendaratkan pukulan padaku. Tidak sekalipun."

Tentu saja, itu hanya gertakan.

Tidak ada manusia yang bisa selamanya menghindar, bahkan aku pun juga begitu.

Namun, bagi Nanase yang baru saja gagal total untuk mendaratkan satu pukulan pun, kata-kataku pasti terasa meyakinkan.

"Kalau kau benar-benar ingin aku dikeluarkan, sebaiknya kau mulai berpura-pura jadi korban sekarang. Kalau kau buat bajumu terlihat berantakan, itu saja mungkin sudah cukup untuk menjebakku."

Meskipun terdengar seperti aku membantu lawan, aku tahu Nanase tidak akan memilih cara itu.

Karena jauh di lubuk hatinya, ia sebenarnya tidak benar-benar ingin aku dikeluarkan.

"『Aku』...『Aku』!!!"

Dia meraung, lalu lututnya akhirnya menyerah, membuat tubuhnya jatuh terhempas ke tanah.

Tak peduli sebesar apa semangat yang dia tunjukkan, jika jauh di dalam hati sudah menyerah, maka semua itu hanyalah gerakan kosong tanpa makna.


...


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Classroom of the Elite 2nd Year Volume 2

Volume 2 Ilustrasi Prolog Chapter 1 Part 1 Chapter 1 Part 2 Chapter 1 Part 3 Chapter 1 Part 4 Chapter 1 Part 5 Chapter 2 Part 1 Chapter 2 Part 2 Chapter 2 Part 3 Chapter 3 Part 1 Chapter 3 Part 2 Chapter 3 Part 3 Chapter 3 Part 4 Chapter 3 Part 5 Chapter 3 Part 6 Chapter 3 Part 7 Chapter 3 Part 8 Chapter 3 Part 9 Chapter 3 Part 10 Chapter 3 Part 11 Chapter 4 Part 1 Chapter 4 Part 2 Chapter 4 Part 3 Chapter 4 Part 4 Chapter 4 Part 5 Chapter 4 Part 6 Chapter 4 Part 7 Chapter 5 Part 1 Chapter 5 Part 2 Chapter 5 Part 3 Chapter 5 Part 4 Epilog [PDF] SS Amasawa Ichika SS Horikita Suzune SS Tsubaki Sakurako SS Shiina Hiyori

Classroom of the Elite 2nd Year Volume 1

Volume 1 Prolog Chapter 1 Chapter 2 Chapter 3 Chapter 4 Chapter 5 Part 1 Chapter 5 Part 2 Chapter 5 Part 3 Chapter 5 Part 4 Chapter 6 Part 1 Chapter 6 Part 2 Epilog SS Horikita Suzune SS Nanase Tsubasa I SS Nanase Tsubasa II SS Karuizawa Kei

Classroom of the Elite 2nd Year Volume 2 Chapter 1 Part 1

Chpater 1 : Perubahan dalam Kehidupan Sekolah (Part 1) Pada hari itu, Kelas 2-D menghadapi situasi aneh yang belum pernah terjadi sebelumnya. Teruhiko Yukimura berkali-kali menghentakkan kakinya, sambil melihat ke arah pintu masuk kelas. "Bisakah kamu tenang sedikit? Ini bahkan belum sampai 5 menit sejak Kiyopon pergi. Dia dipanggil oleh sensei, kan? Berarti dia tidak akan kembali dalam waktu dekat." Hasebe Haruka, teman sekelas sekaligus teman terdekat, berkata begitu kepada Yukimura. Sakura Airi dan Miyake Akito duduk di sebelahnya. "Aku sudah tenang... tidak perlu khawatir," jawab Yukimura. Meskipun dia berhenti menghentakkan kaki, tidak lama setelah itu dia kembali tegang. Diam-diam dia mulai menghentakkan kakinya ke atas dan ke bawah, hingga menggesek celananya. Yukimura berencana untuk bicara dengan Ayanokouji sepulang sekolah, tapi dia menundanya karena kehadiran Horikita. Kemudian dia mendengar dari gadis itu bahwa Chabashira memanggilny...