Chapter 1 Part Intro
Hujan semakin deras dan kabut pun juga semakin tebal.
Sulit untuk melihat atau mendengar apa pun karena cuaca ini, tapi aku dapat merasakan sebuah kehadiran yang mengancam mendekati kami dari belakang.
Terdengar suara tanah lumpur yang diinjak dengan sengaja, menyembur ke udara setiap kali langkah kaki itu menginjaknya.
Sepertinya Nanase juga langsung menyadarinya.
Ketika aku menoleh ke belakang, kulihat seorang murid yang tiba-tiba berhenti di belakangku, rambut merahnya terombang-ambing ditiup angin.
"Sepertinya hujannya bakal semakin deras ya, Sen~pai?"
Orang itu tak lain adalah Amasawa Ichika dari Kelas 1-A, berdiri di sana, di tengah hujan.
Meski aku sudah mengetahui kalau dia satu kelompok dalam Table yang sama denganku dan Nanase, jelas ini bukanlah kebetulan semata.
Tidak ada murid lain di sekitar, dan dia pun tidak membawa ransel ataupun tablet.
Hal ini menimbulkan pertanyaan: Bagaimana dia bisa sampai sejauh ini?
Salah satu kemungkinan adalah dia sengaja menyembunyikan barang-barangnya di suatu tempat terdekat sebelum menghampiri kami.
Atau, mungkin saja dia sudah membuntuti kami sejak awal, hanya dengan tangan kosong tanpa membawa perlengkapan.
Aku menduga mungkin ada seseorang yang melacak kami lewat GPS dan mengirimkan posisi kami padanya melalui walkie-talkie.
Bagaimanapun, kemungkinan besar hal ini bisa disingkirkan sebagai kebetulan biasa.
Apa pun caranya, kedatangannya jelas bukan hal yang bisa kusambut dengan baik.
Selain itu, bukan berarti Amasawa benar-benar datang dengan tangan kosong. Di tangan kirinya, terdapat sebuah tongkat kayu tebal: sesuatu yang lebih dari cukup untuk dijadikan senjata pemukul.
Apa dia berniat menyerang kami diam-diam? Apa karena aku dan Nanase lebih dulu menyadari kehadirannya dia tidak jadi bertindak?
Namun, dengan cuaca seburuk ini, seharusnya dia bisa mendekati kami lebih tenang jika dia memang berniat menyerang.
"Tolong berdiri di belakangku, Senpai."
Sambil memikirkan alasan di balik kemunculan Amasawa yang tiba-tiba, Nanase—meski dia masih kelelahan karena kejadian sebelumnya—menempatkan dirinya di depanku.
Dilihat sekilas dari wajahnya, sorot matanya begitu tegas, dipenuhi ketidakpercayaan yang jelas-jelas terpancar.
"Oh? Nanase-chan, bukankah seharusnya kamu senang melihatku? Dingin sekali sikapmu terhadap rekan tersayang dari kelompokmu sendiri. Tunggu, apa kamu mungkin gugup gara-gara teman kecilku si tongkat ini~?"
Dengan santai, dia melempar tongkat kayu itu ke tanah di hadapan kami, seolah menunjukkan niat baik.
Namun, Nanase sama sekali tidak menurunkan kewaspadaannya.
"Kamu─ tidak bisa dipercaya."
"Jahatnya~. Bagaimana bisa kamu berkata begitu? Kepada aku yang super-duper imut ini~!"
Aku tidak berpikir bahwa menjadi imut ada hubungannya dengan bisa dipercaya atau tidak, tapi hal itu tidak penting saat ini.
"Mengapa kau berkata dia tidak bisa dipercaya, Nanase?"
Memang ada sesuatu pada diri Amasawa yang membuatnya sulit untuk menebak apa yang sebenarnya dia pikirkan.
Tidak berlebihan jika mengatakan bahwa dia memiliki kemampuan akting yang bagus dan keahlian luar biasa dalam mewujudkan rencana.
Jadi, wajar untuk tetap waspada terhadapnya, meski pada saat ini aku pun sudah begitu.
Namun, hal itu tidak menjelaskan tentang ketidakpercayaan dan kewaspadaan berlebihan yang ditunjukkan Nanase terhadapnya.
Tentu saja, jelas bahwa Amasawa memiliki alasan muncul di sini.
Bisa saja diasumsikan bahwa Nanase hanya bereaksi berlebihan saat ini setelah dia menjadi sekutuku, tapi…
"Aduh~. Aku kan bukan orang jahat, benar kan Ayanokouji-senpai~? Aku cuma mau ngobrol sebentar aja, oke~?"
"Tolong jangan dengarkan dia, dia berbahaya."
Meski Amasawa tidak menunjukkan sedikit pun permusuhan, Nanase tetap bersikeras, dan tidak menurunkan kewaspadaannya sedikit pun.
Walau sempat mengeluh sebelumnya, Amasawa sama sekali tidak terlihat terganggu dengan tuduhan yang tampaknya tak berdasar dari Nanase.
"Senpai… Sebenarnya ada sesuatu yang sudah lama kusimpan sendiri… Waktu kelompok Shinohara-senpai diserang dan saat Komiya-senpai serta Kinoshita-senpai terpaksa mundur dari ujian, kamu ingat saat kamu pergi mendaki lereng bersama Ike-senpai?"
Dia merujuk pada hari keempat ujian, ketika Ike mendengar suara dari puncak lereng dan panik, mengira Shinohara ada di sana.
Karena aku memutuskan bahwa terlalu berbahaya membiarkan Ike pergi sendirian, aku pun mengikutinya.
"Ketika kamu pergi, aku menyadari ada seseorang yang sedang mengawasi kami dari dekat, jadi aku mencoba mengejarnya."
"Jadi karena itu kau tidak bersama Sudō dan yang lain saat kita kembali setelah menemukan Shinohara?"
Nanase mengangguk pelan.
"Jadi, apa yang sebenarnya terjadi?"
"Sosok itu lari dariku. Meskipun aku tidak berhasil menyusul… aku sempat melihat dengan jelas rambutnya."
Sambil berkata demikian, Nanase perlahan mengangkat tangan kanannya dan menunjuk ke arah Amasawa.
"Waktu itu, orang yang mengawasi kami dari bayang-bayang adalah kamu, bukan, Amasawa-san?"
"Ahaha, jadi aku ketahuan, ya."
Alih-alih menyangkal, Amasawa justru tertawa, langsung mengakuinya.
Dia sama sekali tidak terlihat terkejut telah tertangkap basah, sikapnya tetap seperti biasa.
Karena itu, bisa dipastikan bahwa kehadiran yang kurasakan waktu itu memanglah Amasawa.
"Kamu juga yang melukai Komiya-senpai dan Kinoshita-senpai, bukan?"
"Eh? Bukannya kamu kayak… langsung ambil kesimpulan gitu aja? Bisa saja kan aku cuma kebetulan lewat di sekitar situ."
"Kalau begitu, kamu tidak perlu lari dariku, kan?"
"Kalau ada cewek lari ke arahmu dengan wajah menakutkan, siapa sih yang nggak lari? Lagian, aku nggak mau dicurigai."
"Aku tidak percaya padamu. Tidak sama sekali."
"Jadi dengan kata lain, Nanase-chan, kamu begitu saja memutuskan bahwa aku yang mendorong kedua senpai itu dari lereng, begitu maksudmu?"
"Ya, aku yakin. Hampir mustahil aku salah."
"Kamu yaaakiiin banget ya, tapi tetap kamu perlu menambahkan kata ‘hampir’, kan? Bukannya itu malah seperti bilang kalau sebenarnya kamu sama sekali nggak tahu?"
Kedua gadis itu, yang bahkan satu kelompok, saling bertukar kata, saling mengawasi satu sama lain.
"Kalau begitu, bisakah kamu bersumpah padaku bahwa bukan kamu yang melukai mereka?"
"Aku bisa saja bersumpah, tentu, tapi toh nggak penting juga apakah aku menepati sumpah itu atau tidak, kan?"
Pada dasarnya, Amasawa sedang mengatakan bahwa, pada akhirnya, janji lisan tak ada artinya.
"Coba deh, aku tanya balik: Kalau memang benar aku yang melakukannya, lalu apa yang akan kamu lakukan? Hm?"
Alih-alih mencoba lari dari pertanyaan Nanase yang terus-menerus menghujani dirinya, Amasawa justru memilih untuk menerjang langsung ke dalamnya.
Nanase mungkin merasa sedikit terdesak, tapi dia tetap tidak mundur, bertekad untuk mencari kebenaran.
"Aku ingin kamu memberitahuku kenapa kamu melakukan hal itu. Beritahu aku alasannya. Tidak, sebelum itu, kenapa namamu sama sekali tidak muncul saat para guru menyelidiki sinyal GPS di sekitar lokasi waktu itu?"
Ini bukan hal yang perlu dijawab oleh Amasawa, jadi aku yang angkat bicara.
"Menghilangkan sinyal GPS itu tidak lah sulit. Kau hanya perlu merusak arlojimu, itu saja."
"Ding ding ding~ Betuuuul~! Mau disengaja atau tidak, arloji yang rusak ya tetap rusak. Dan kita bahkan bisa menggantinya secara gratis juga!"
Dengan ekspresi puas, Amasawa memperlihatkan arloji yang terpasang di pergelangan tangan kanannya.
"Tapi meski kau merusak GPS-mu sebelum penyerangan, bukankah pihak sekolah tetap akan menyadarinya?"
"Ya, mungkin begitu. Tapi dalam kasus ini sih, kurasa bakal susah ketahuan, soalnya waktu itu semua orang lagi panik ngejar waktu."
Ada lebih dari 400 sinyal GPS di pulau itu. Kalaupun satu atau dua hilang dari peta, mustahil mereka sempat menyadarinya saat itu juga, dan mereka juga tidak punya waktu untuk memeriksa semuanya satu per satu. Wajar saja para guru harus memprioritaskan keselamatan para siswa terlebih dahulu.
"Sekolah tetap akan melakukan penyelidikan menyeluruh setelahnya, bukan? Cepat atau lambat pasti akan ketahuan."
Karena Shinohara sendiri telah bersaksi bahwa mereka diserang seseorang, pihak sekolah pasti akan menyelidikinya dengan teliti.
Dalam proses itu, kemungkinan besar mereka akan menemukan bahwa hanya sinyal GPS Amasawa yang menghilang.
Namun, di situlah letak masalahnya.
"Kalau memang sinyal GPS Amasawa satu-satunya yang hilang saat Komiya dan Kinoshita diserang, pihak sekolah pasti akan curiga. Tapi cuman itu saja. Karena kurangnya bukti, mereka tidak akan bisa menyimpulkan bahwa dialah pelakunya."
"Itu─"
Setelah menyaksikan sendiri keberadaan Amasawa di lokasi penyerangan, Nanase ingin menetapkannya sebagai pelaku.
Namun, membuktikan sebuah kejahatan jauh lebih sulit daripada sekadar menuduh seseorang. Bagaimanapun juga, pihak sekolah harus menghindari memaksa seseorang pensiun dari ujian hanya karena tuduhan yang keliru.
Awalnya, arloji itu dimaksudkan sebagai cara sekolah untuk menjaga aturan ujian dan mempertahankan ketertiban, namun pada saat ujian berlangsung para siswa dapat mengakali sistem itu sesuka hati.
Untuk mencegah penyalahgunaan sistem, pihak sekolah harus menerapkan sanksi yang tegas bagi mereka yang merusak arloji, seperti membatasi jumlah penggantian, mengenakan biaya poin, atau bahkan wajib pensiun.
Namun, semakin berat hukumannya, semakin besar pula celah penyalahgunaan dalam sistem itu sendiri. Misalnya, hal itu akan membuka peluang bagi seseorang untuk merusak atau mengutak-atik arloji pesaing agar mereka menerima hukuman. Selain itu, jika seorang siswa dipaksa pensiun karena kecelakaan murni atau kerusakan perangkat lunak, ujian khusus tersebut jelas akan terasa tidak memuaskan.
"Menemukan celah aturan itu hal yang biasa. Kalau sekolah saja tidak bisa menemukan bukti, maka kamu bebas melakukan apa pun yang kamu mau."
Meski penyampaiannya agak canggung, apa yang dikatakan Amasawa itu benar adanya.
"Kalau mereka tidak bisa menemukan bukti, maka aku hanya perlu bersaksi bahwa aku melihatmu di sana, Amasawa-san."
"Sama saja. Mau itu soal GPS-ku yang rusak atau keberadaanku di tempat kejadian, kesimpulan paling jauh yang muncul hanya sebatas kecurigaan."
Andai pelakunya adalah salah satu siswa yang bermasalah seperti Sudou atau Ryuuen, yang memiliki riwayat berperilaku kasar, pihak sekolah mungkin akan lebih curiga. Namun, Amasawa adalah siswi kelas satu dengan catatan bersih. Berdasarkan bukti karakter semacam itu, kemungkinannya cukup rendah pihak sekolah menyatakannya bersalah.
Terlebih lagi, Komiya dan Kinoshita bahkan tidak bersaksi bahwa mereka diserang, dan Shinohara sendiri hanya mampu memberikan pernyataan samar, tidak dapat menyebutkan siapa yang dilihatnya.
Kesaksian Nanase bahwa ia melihat Amasawa di area tersebut pun tidak akan diperlakukan berbeda.
Tanpa bukti yang konklusif, mustahil memaksa pihak sekolah menjatuhkan hukuman pada Amasawa.
"Begitulah, Nanase-chan."
Pada akhirnya, kami masih tidak tahu alasan Amasawa datang ke sini.
Pernyataan Nanase yang terus mengajukan pertanyaan dan permainan kata-kata Amasawa yang menghindar tidak membawa kami ke mana pun.
Dengan demikian, semakin sulit untuk percaya bahwa ia akan tiba-tiba memasang jebakan untuk kami saat ini.
Untuk sementara waktu, sebaiknya kami kesampingkan dulu masalah apakah dia pelaku di balik apa yang terjadi pada Komiya dan Kinoshita.
Kupikir aku harus menanyakan sesuatu untuk keluar dari kebuntuan ini dan mengembalikan percakapan ke jalurnya.
"Apa yang kau lakukan di sini, Amasawa? Tidak, bagaimana kau bisa menemukan kami?"
Mengingat ujian khusus ini masih berlangsung lebih dari seminggu, sebaiknya kami menghindari terlalu mencolok berdiri di tengah hujan deras seperti ini.
Kami perlu segera mendirikan tenda dan berteduh dari hujan.
"Tidak perlu buru-buru begitu, Ayanokouji-senpai. Nikmati saja momen kita bisa bertemu seperti ini~!"
"Maaf, tapi hujan ini sudah jauh lebih menguras stamina daripada yang aku perkirakan. Mari kita akhiri ini. Tolong."
"Kalau begitu~, bagaimana kalau aku bantu mendirikan tenda, lalu kita bermalam bersama, hanya kita berdua? Bagaimana?"
Anak laki-laki dan perempuan secara tegas dilarang bermalam bersama dalam satu tenda — sesuatu yang seharusnya juga sudah sepenuhnya ia ketahui.
Mungkin saja dia hanya berusaha mengulur waktu dengan mengajakku dalam percakapan yang tak ada gunanya.
"Ah, apa kau khawatir soal melanggar aturan? Tenang saja, tenang~. Bahkan sekolah pun tidak bisa memantau segalanya, tahu?"
Begitu Amasawa melangkah maju, Nanase langsung mendekat dan menggenggam lengannya.
"Apa maksudmu ini, Nanase-chan?"
"Kamu berniat meletakkan tanganmu pada Ayanokouji-senpai, bukan?"
"Sejak kapan kamu jadi kesatrianya? Bukannya kamu juga sempat merencanakan untuk membuatnya dikeluarkan bersama Housen-kun?"
"Itu… Itu bukan urusanmu. Kenapa kamu datang ke sini?"
"Aku kebetulan tersesat, jadi aku datang untuk meminta bantuan kalian."
Amasawa mengucapkan kebohongan bulat-bulat, seolah-olah sudah tidak berniat menjaga image lagi.
Mungkinkah ia datang sejauh ini hanya untuk melihat hasil pertarunganku dengan Nanase dan mengamati sisanya?
Dia mungkin juga sudah bisa menebak bahwa Nanase telah berpihak padaku, dilihat dari sikapnya.
Namun, tetap saja tidak masuk akal. Tidak ada alasan baginya untuk bertahan dan ikut serta dalam percakapan yang sama sekali tak berarti kalau tujuannya memang itu.
"Aku ingin bicara dengan Ayanokouji-senpai, jadi bisakah kamu melepaskan tanganku dan menyingkir?"
"Kenapa tidak bicara saja dari tempatmu sekarang?"
"Yah, jelas tidak bisa. Ini menyangkut White Room, lagipula~"
Amasawa mengakuinya, sepertinya dia sudah sampai pada kesimpulan bahwa tidak ada gunanya lagi menyembunyikan jati dirinya.
Tampak kaget, Nanase menoleh ke arahku.
Sepanjang semester pertama ini, keberadaan siswa White Room selalu berada di radar pengamatanku, namun aku tidak pernah bisa memastikan siapa orangnya.
Meski begitu, aku sama sekali tak menyangka bahwa aku akan mengetahuinya lewat sebuah pengakuan terang-terangan begini.
"Sekarang mengerti, Orang luar~?"
Jika Amasawa memang siswa dari White Room, maka masuk akal jika dia menyebut Nanase sebagai orang luar.
"Lepaskan tangannya, Nanase."
Meski jelas tidak puas, Nanase menurut dan melepaskan lengan Amasawa sesuai instruksiku.
"Waaah, kamu anak yang patuh sekali, Nanase-chan~! Seperti anjing setia; ternyata itu cocok juga untukmu."
Mendengar itu, Amasawa perlahan mendekat padaku, sedikit demi sedikit.
Aku menghela napas, tapi setidaknya pembicaraan ini akhirnya mungkin bisa menuju ke intinya.
"Maaf, tapi mengingat kesalahpahaman sebelumnya dengan Nanase, aku tidak akan langsung percaya hanya karena kau menyebut White Room."
"Tidak masalah, aku akan buktikan padamu bahwa itu bukan omong kosong. Hanya saja… kalau Nanase-chan ikut mendengar, rasanya agak…"
Dia menghentikan perkataannya, membentuk kata-kata ‘mengerti, kan?’ di bibirnya, lengkap dengan senyum iblis khasnya yang tetap terpasang di wajahnya.
Aku memberi isyarat kecil pada Nanase, memintanya untuk menjauh. Walau enggan meninggalkanku sendiri dengan Amasawa, akhirnya ia menyerah dan menurut. Hujan semakin deras, hingga dari jarak beberapa meter pun ia tak akan bisa mendengar percakapan kami bila kami berdua berbisik.
Menyusuri tanah berlumpur di tanah, Amasawa akhirnya berdiri dalam jarak satu jangkauan tanganku.
"Baiklah, dari mana aku harus memulainya~?"
Dia meletakkan tangannya di dagunya, sebuah gerakan yang dilebih-lebihkan seolah sedang memikirkan cara yang tepat untuk menjelaskan dirinya.
Bagaimanapun, kenyataan bahwa ia datang ke sini, dari awal memang tak masuk akal bagiku.
Selama beberapa bulan terakhir, siswa White Room selalu bersembunyi di balik bayang-bayang, menunggu kesempatan untuk membuatku dikeluarkan.
Namun, Amasawa muncul di depanku dan mengungkapkan identitasnya begitu saja.
Selain itu, kenyataan bahwa ia bahkan tampak ragu soal apa yang hendak ia katakan di titik ini saja sudah aneh sejak awal.
Terlihat jelas bahwa ia sengaja menunda dan mengulur waktu.
Tepat ketika aku mulai mempertimbangkan apakah perlu mendesaknya soal hal itu, Amasawa membuka mulut.
"Senpai, kurikulum yang kamu jalani saat berusia sepuluh tahun mencakup Teori Sistem berdasarkan Proyek 5. Dan di usia sebelas, Teori Relativitas berdasarkan Proyek 7. Aku ikut serta di keduanya, jadi aku mengingatnya dengan baik."
Ia mulai menyebut potongan informasi spesifik tentang White Room untuk membuktikan bahwa kami berasal dari tempat yang sama.
"Ruang kelas, koridor, kamar tempat tinggal kami… semuanya adalah dunia serba putih."
Setidaknya, tampak jelas bahwa Amasawa tahu lebih banyak tentang White Room daripada Nanase.
Dan sulit bagiku membayangkan bahwa ia mendengar semua ini dari Tsukishiro.
Ia tidak akan pernah membicarakan seluk-beluk White Room kepada seseorang yang tidak ada kaitannya — dengan kata lain orang luar.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Amasawa memang bersalah.
Dari hal-hal yang ia ketahui hingga cara ia menunjukkan diri, ia benar-benar sesuai dengan gambaran seorang siswa White Room.
"Kenapa kau repot-repot bersikap seperti orang biasa, hanya untuk mengungkapkan identitasmu padaku seperti ini?"
"Yah yah, kupikir kamu akan penasaran soal itu. Alasannya, aku ingin memberitahumu bahwa aku bukan musuhmu, Senpai."
“Itu tidak masuk akal. Siswa White Room dikirim ke sini untuk mengeluarkanku. Mengatakan bahwa kau bukan musuhku, dalam hal itu saja, terdengar tidak logis."
Tanpa peduli bahwa pakaian kami sudah basah kuyup oleh hujan, Amasawa terus berbicara.
"Kamu tidak akan tahu ini karena kamu bagian dari generasi keempat, Ayanokouji-senpai, tapi generasi-generasi setelahmu menyimpan rasa iri yang luar biasa terhadapmu. Pihak atasan mungkin berpikir mereka bisa memilih seseorang yang menjanjikan dan memanfaatkan rasa iri itu untuk memaksamu dikeluarkan. Namun, mereka memilih orang yang salah. Mereka tidak memprediksi bahwa aku hanyalah seorang gadis yang diam-diam mengagumimu."
"Jadi, itu alasanmu mengungkapkan jati dirimu?"
Ia mengangguk pelan sambil bergumam, "Mhm."
"Kalau begitu, bukankah lebih baik kau melakukannya sejak awal kau masuk sekolah ini? Kau bahkan sempat menginjakkan kaki di kamarku beberapa kali, jadi kau seharusnya punya banyak kesempatan untuk memberitahuku."
"Yah, mau sebenci atau secinta apa pun kau mengidolakan seseorang, sejak awal semua itu hanya tersimpan di dalam kepala, bukan? Kita harus bicara dan bertemu langsung sebelum rasa kagummu terasa layak. Itu butuh waktu."
Dengan kata lain, seandainya aku ternyata bukan seseorang yang menurut Amasawa pantas untuk diidolakan, maka mungkin saja ia sudah bergerak untuk menyingkirkanku. Dan melihat arah percakapan kami sejauh ini, itu terdengar cukup masuk akal.
"Sekarang mengerti?"
"Kurasa begitu. Hanya seseorang dari White Room yang bisa bicara sejauh ini tentang tempat itu."
"Bagus~. Rasanya agak aneh, ya? Menjalani hari-hari di sekolah seperti seorang siswa SMA biasa."
Sebelumnya, akulah satu-satunya yang mengalami sensasi aneh itu. Namun, mengetahui bahwa siswa White Room lain kini merasakannya juga, membangkitkan rasa ingin tahuku yang tulus.
"Kalau kau merasakan hal yang sama denganku, pasti kau juga menyadari betapa menariknya sekolah ini, bukan?"
"Aku sangat mengerti apa maksudmu, Senpai. Aku juga beberapa kali berpikir, alangkah baiknya kalau aku bisa menikmati menjadi siswa biasa seperti ini sampai lulus. Aku sudah memikirkannya berkali-kali, jujur saja. Hanya saja, aku susah untuk berteman, jadi aku tidak punya banyak orang untuk diajak bicara."
Dalam beberapa hal, dia cukup mirip denganku.
Meski aku bisa berbicara dengan orang lain seperti Horikita dan Ike, selalu ada jarak yang terasa di antara kami.
Kalau diingat kembali, untuk waktu yang cukup lama, rasanya aku tidak benar-benar bisa menyebut siapa pun sebagai teman.
"Itu bukan berarti aku kekurangan dalam kemampuan berkomunikasi sepertimu, Senpai."
Seolah menyadari dengan tepat apa yang kupikirkan, Amasawa bicara untuk meluruskannya.
"Aku diajari hal-hal yang pada dasarnya sama denganmu, Senpai. Tapi di saat yang sama, ada hal-hal tertentu yang hanya bisa dipelajari oleh generasi kelima — generasi setelahmu."
Ia berhenti sejenak untuk melihat apakah aku ingin menanggapi sebelum melanjutkan.
"Konon, sebelum generasi kelima, anak-anak sering dihancurkan satu per satu karena individualisme mereka yang berlebihan. Tentu saja, terlepas dari mereka yang nilainya buruk, tapi mereka yang nilainya baik masih diizinkan untuk saling berinteraksi. Di generasiku, sebaliknya, semua anak diwajibkan mempertahankan kemampuan komunikasi antarpersonal di tingkat minimum."
Jika yang dia katakan benar, maka aku bisa mengerti kenapa dia tampak begitu mudah menunjukkan berbagai ekspresi di wajahnya. Meskipun aku bisa berpura-pura menjadi orang lain dalam jangka pendek berkat kemampuan aktingku, sulit untuk mematahkan kebiasaan yang terbentuk setelah menjalani sebagian besar hidup tanpa emosi.
"Masih tidak percaya padaku?"
"Aku percaya kau dari White Room, tapi aku belum yakin dengan alasan yang kau berikan untuk mengungkapkan identitasmu."
"Kamu tenang sekali, Senpai, untuk seseorang yang percaya bahwa aku siswa White Room. Mungkin kamu tidak menganggapku sebagai ancaman, ya?"
Aku tidak menjawab, membuat senyum tipis terlihat di wajahnya.
"Kalau begitu~ aku sudah mengatakan semua yang ingin kukatakan padamu, jadi kurasa sudah waktunya aku pamit."
Mengucapkan itu, ia membalikkan badan, puas hanya karena telah diakui sebagai siswa White Room.
"Apa yang sebenarnya kau pikirkan, Amasawa?"
"Aduh~ Bukannya aku sudah bilang~? Aku mengagumimu, Ayanokouji-senpai. Itu doang."
Sambil menoleh, ia mengulurkan tangannya dan menyentuhkan ujung jarinya — yang basah dan dingin karena hujan — ke pipiku.
"Jadi tolong, jangan biarkan dirimu hancur tanpa izinku, oke?"
Dan dengan itu, ia menarik kembali tangannya dan melangkah pergi, entah ke mana.
Ia bilang “jangan biarkan dirimu hancur”... tapi oleh siapa? Tsukishiro? Para siswa tahun pertama yang mengincar hadiah dua puluh juta poin pribadi? Atau, mungkin saja…
"Ayanokouji-senpai, kamu baik-baik saja? Dia tidak melakukan apa pun padamu, kan?"
Menyadari kepergian Amasawa, Nanase segera kembali menghampiriku, karena merasa khawatir. Aku mengangguk, berusaha menenangkannya, sebelum memandang ke arah ranselku.
"Hujannya semakin lebat. Kita harus cepat."
Aku ingin meluangkan waktu untuk memproses semuanya, tapi ada hal lain yang harus diutamakan saat ini.
"Ya! Kita harus mendirikan tenda, kan?"
"Ya."
Aku menjawab singkat, namun masih ada satu hal yang tidak boleh kulupakan.
Yaitu, memeriksa jejak kaki yang ditinggalkan Amasawa.
"Senpai…?"
"Hujan akan segera menghapus jejak kakinya."
Amasawa baru saja pergi, namun jejak langkah kakinya sudah mulai kehilangan bentuknya.
"Jejak kaki Amasawa-san…? Ada yang aneh dengan jejak kakinya?"
"Waktu Komiya dan Kinoshita diserang, aku menemukan beberapa jejak kaki di dekat lokasi kejadian. Dari yang bisa kulihat, aku cukup yakin ukurannya sama dengan milik Amasawa."
Dengan kata lain, Amasawa memang ada di sana, persis seperti yang Nanase katakan.
"Jadi, alih-alih kebetulan berada di area itu, maksudmu dia yang mendorong mereka menuruni lereng?"
"Aku tidak tahu soal itu. Mungkin aman untuk menyimpulkan kalau dialah yang mengawasi kita waktu itu, tapi belum ada bukti konklusif yang menunjukkan bahwa dia yang mendorong kedua orang itu."
Untuk sesaat, sepertinya Nanase belum benar-benar menangkap maksud ucapanku.
"Mungkin belum ada bukti kuat. Tapi, bukankah sudah cukup aman untuk mengasumsikan bahwa dialah pelakunya?"
"Berdasarkan informasi yang kita miliki saat ini, Amasawa memang kandidat yang paling memungkinkan sebagai pelaku."
"Benar. Aku juga berpikir begitu. Aku tahu aku sudah mengulang-ulang hal ini, tapi aku yakin betul dialah yang kulihat waktu itu."
Jelas, dia tidak salah soal itu.
"Tapi, bukan berarti kau benar-benar melihat dia mendorong mereka berdua."
"Yah… itu… dia baru saja mengaku tadi, bukan?"
"Sulit menyebut itu sebagai sebuah pengakuan. Dia hanya bertanya apa yang akan kau lakukan kalau ternyata dia yang mendorong mereka. Itu jauh dari pengakuan langsung bahwa dialah pelakunya."
"Mungkin dia sengaja mengatakannya begitu karena takut kita merekam pembicaraan atau semacamnya?"
"Dengan hujan deras seperti ini dan kondisi yang kita alami, kurasa dia tidak perlu khawatir soal itu."
Sekilas, ini bukan lingkungan yang cocok untuk merekam apa pun.
"Kau tetap tidak bisa benar-benar yakin seratus persen. Dia tahu betul bahwa kau adalah lawan yang harus diwaspadai, jadi masuk akal saja kalau dia mengambil semua langkah pencegahan yang diperlukan."
Untuk menyingkirkan semua risiko yang mungkin muncul, itu memang langkah yang bijak.
"Kalau dia benar-benar dengan sengaja melukai dua senior hingga nyaris mengancam nyawa, maka seharusnya dia langsung kabur segera setelah melakukannya. Kenapa dia malah bertahan dan membiarkanmu melihatnya saat lari?"
Nanase berpikir sejenak untuk menjawab sambil mengambil ranselnya.
"Itu… kurasa karena dia ingin tahu apa yang terjadi pada Komiya-senpai dan Kinoshita-senpai. Sama seperti mentalitas seorang pembakar yang selalu kembali ke TKP."
Memang ada pepatah yang mengatakan bahwa pembakar, atau pelaku kejahatan pada umumnya, cenderung kembali ke tempat kejadian perkara.
Meski ada banyak teori soal fenomena ini, terlalu berisiko untuk menghubungkannya begitu saja dengan situasi ini. Jika kita berspekulasi dengan asumsi bahwa Amasawa adalah pelakunya, maka kita akan kesulitan melihat lebih dalam dari sekadar yang terlihat di permukaan.
"Mendorong dua orang dari lereng saja sudah tindakan yang kejam, jadi tidak masuk akal kalau dia mengambil risiko kembali ke TKP hanya karena penasaran dengan nasib mereka. Ditambah lagi fakta bahwa kau berhasil mengenalinya saat dia kabur. Sejujurnya, sulit dipercaya seseorang yang dikirim oleh Tsukishiro akan membuat kesalahan seperti itu."
Aku menelusuri kembali jejak kaki yang hampir memudar itu untuk memastikan aku tidak melewatkan apa pun.
"Kalau begitu, aku penasaran kenapa dia mengungkapkan identitasnya pada kita seperti ini?"
"Kurasa karena dia tahu aku melihatnya waktu itu dan sadar dia tidak bisa lagi menyembunyikannya. Meskipun itu tidak akan membuktikan kesalahannya kalau kulaporkan ke sekolah, tetap saja itu akan menimbulkan masalah baginya, bukan? Bagaimanapun, misi yang diberikan oleh Direktur Sementara Tsukishiro padanya bisa terancam."
"Pada akhirnya, itu bertentangan dengan kenyataan bahwa dia kembali ke TKP."
"Tidak bisakah kita anggap saja itu sebagai kecerobohan di pihaknya?"
"Kurasa tidak mungkin begitu."
Mungkin saja Amasawa sengaja membiarkan Nanase menemukannya karena suatu alasan?
Saat aku mulai memikirkan kemungkinan itu, aku menemukan sebuah petunjuk baru.
"Seperti yang kuduga, ada sesuatu dari setiap tindakan Amasawa yang tidak bisa diabaikan begitu saja."
"Sesuatu yang tidak bisa diabaikan?"
Aku menunjuk ke jejak-jejak kaki Amasawa, yang kini hampir sepenuhnya terhapus hujan.
"Jejak langkahnya terlihat bersih dan rapi saat ia mendekat dari belakang, tapi… yang sebelumnya—"
"Eh!? Ini…"
Nanase akhirnya menyadari keanehan itu juga.
"Ini jejak kaki orang lain, kan?"
"Ya."
Ada jejak lain yang sedikit lebih besar dari milik Amasawa, tapi ukurannya sudah tidak bisa dipastikan karena bentuknya sudah rusak.
"Siapa pun itu, sepertinya mereka mendekati kita sampai di sekitar sini, tempat di mana jejak mereka bertemu dengan jejak Amasawa. Ada sesuatu yang terjadi di titik ini, karena jejaknya jadi berantakan, tapi di sini terlihat jejak misterius itu berbalik arah."
"Jadi, maksudmu… seseorang sempat berada di sini tepat beberapa saat sebelum Amasawa-san mendatangi kita…?"
Entah mereka seorang siswa atau staf sekolah, sama sekali tidak ada cara untuk memastikan.
"Bisa tolong ambilkan tongkat yang tadi dipegang Amasawa?"
"Ba-Baik!"
Nanase segera mengambil tongkat itu dan menyerahkannya padaku.
Begitu kulihat dari dekat, semua spekulasiku sejauh ini akhirnya menyempit menjadi satu jawaban tunggal.
"Bagaimana menurutmu, Nanase? Kau menyadari sesuatu?"
"Menyadari sesuatu…? Yah, kupikir tongkat ini berbahaya kalau dipakai untuk memukul seseorang. Tunggu dulu, ini…"
Nanase mengambil kembali tongkat itu, dan setelah memegangnya sebentar, ia akhirnya menyadari sesuatu.
"Ini… Ini sepertinya bukan sesuatu yang bisa ditemukan begitu saja di hutan."
"Ya. Ada bagian yang sudah dipangkas agar lebih cocok digunakan sebagai senjata. Dibandingkan ranting lain di sekitar, bentuknya sangat tidak alami."
"Apa kamu berpikir dia berencana memakai ini untuk menyerangmu, Ayanokouji-senpai?"
"Kalau Amasawa benar-benar berniat menyerangku, dia pasti sudah mencoba melakukannya saat aku lengah, bukan dengan memanggilku lebih dulu. Meski begitu, walau ia memegang senjata berbahaya, tidak terlihat bahwa dia memiliki niat buruk. Kalau dipikir-pikir, kurasa dia hanya ingin kita menyadari keberadaannya."
Dan, dari sini, ada satu hal lagi yang bisa disimpulkan.
"Dengan kata lain, dia sama sekali tidak berniat menyerang kita sejak awal… Bukankah itu berarti yang awalnya membawa benda ini bukan Amasawa-san, melainkan orang misterius yang menghilang sebelum dia mendekati kita?"
Jejak kaki misterius itu tampak mengambil langkah pendek saat mendekati kami, tetapi ketika mereka berbalik arah setelah bertemu dengan Amasawa, jarak langkah mereka menjadi lebih lebar. Mereka pergi seolah berusaha agar tidak ketahuan, atau lebih tepatnya, seolah sedang melarikan diri.
"Tapi kenapa?"
"Dari apa yang Amasawa katakan padaku, aku ini adalah orang yang dia kagumi. Jadi, tidak terlalu berlebihan jika berpikir bahwa mungkin dia hanya ingin melindungiku saat aku hampir diserang."
"Rasanya agak berisiko menganggap dia sebagai sekutu hanya dari hal itu saja…"
"Benar. Namun, jejak kaki ini jelas-jelas mengincarku, dan aku bahkan tidak bisa menebak siapa orangnya."
"Apa… mungkin kau pikir itu bisa saja anggota staf sekolah?"
"Itu mungkin saja, tapi faktanya, mengingat imbalan atas diriku."
Ada kemungkinan besar bahwa jejak kaki misterius ini milik seorang siswa yang mengincar hadiah dari buruannya.
Sangat masuk akal kalau ada orang yang rela mempertaruhkan masa depannya demi mencoba memaksaku keluar dari sekolah.
"Ah! Benar juga!"
Seolah mendapat pencerahan, Nanase tiba-tiba meninggikan suaranya.
"Senpai, ayo kita lakukan Pencarian GPS sekarang! Belum terlalu lama sejak Amasawa-san mendekati kita. Bahkan kalau orang misterius itu kabur secepat mungkin, dengan cuaca seperti ini, seharusnya mereka belum lari terlalu jauh, bukan?"
Dia tidak salah. Jika kami melakukan Pencarian GPS sekarang dan ada sinyal di area sekitar, kami bisa mempersempit daftar tersangka sekaligus. Cukup dengan memeriksa satu per satu sinyal terdekat untuk mengetahui siapa mereka.
"Ah, tapi kita tidak bisa mengidentifikasi mereka kalau mereka menghancurkan jam tangan mereka seperti yang dilakukan Amasawa-san, kan…"
"Tidak, itu tidak benar. Saat kau merusak jam tanganmu, sinyal GPS-mu akan menghilang. Abaikan dulu Amasawa, jika kita melakukan pencarian sekarang dan hanya ada satu siswa dengan sinyal yang hilang, bagaimana?"
"…Kalau begitu, dialah orangnya."
"Benar. Jadi, kita bisa menyimpulkan bahwa orang yang mencoba menyerangku pasti tidak merusak jam tangannya."
"Kalau begitu, bukankah layak menghabiskan poin untuk melakukan pencarian ini?"
Baru sekitar lima belas menit berlalu sejak Amasawa pertama kali memanggilku.
Jadi, bahkan jika mereka lari secepat mungkin, paling jauh mereka hanya bisa mencapai tepi area D3 saat ini.
Dengan sedikit keberuntungan, hanya akan ada satu sinyal yang sesuai dengan kondisi ini, memungkinkan kami mengidentifikasi pemilik jejak kaki misterius itu.
Dengan demikian, masuk akal bagiku untuk mengikuti ide Nanase dan melakukan Pencarian GPS di sini, sekarang juga, tapi…
"Aku tidak akan menggunakan Pencarian GPS."
"E-Eh!? Ke-Kenapa tidak!?"
"Pada akhirnya, tidak lah aneh jika semua ini hanya bagian dari strategi untuk memancingku melakukan Pencarian GPS, sehingga seseorang yang sama sekali tidak terkait dan kebetulan berada di dekat sini justru akan muncul sebagai tersangka."
Sulit untuk memastikan bahwa ini bukan upaya untuk menyesatkan kami agar mencurigai orang yang tidak bersalah. Seseorang harus selalu berhati-hati dalam situasi di mana lawan seolah sengaja menyuap kita dengan informasi, seperti bagaimana Amasawa dengan sengaja membiarkan Nanase melihatnya saat kabur dari TKP, atau bahkan kehadirannya di sini hari ini.
"Rasanya agak sia-sia jika tidak mengeceknya."
"Kalau itu aku, aku tidak akan sebodoh itu sampai tertangkap oleh hal sepele seperti ini. Jika mereka bahkan tidak mempertimbangkan fitur Pencarian GPS sebelum bertindak, maka mereka jelas bukan orang yang perlu kita khawatirkan."
Meskipun Nanase tampak belum sepenuhnya yakin, akhirnya dia menyerah dan mengikuti keputusanku.
Bagaimanapun, meski aku masih ingin mengatur ulang pemikiranku, itu tidak akan bisa kulakukan mengingat kondisi cuaca yang semakin memburuk.
Setelah memutuskan untuk mengakhiri percakapan, kami segera bergerak untuk mendirikan tenda.
Tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa hujan deras benar-benar turun saat ini.
Tenda kami dipasang saling berhadapan di bagian pintu masuknya, dan setelah semuanya beres, kami segera berlindung di dalam, menjauhi hujan.
Aku melepaskan seragam olahraga, jaket, dan pakaian dalamku yang basah kuyup sebelum mengeringkan rambut dan tubuhku dengan handuk.
Lalu, setelah berganti dengan pakaian cadangan, aku sedikit membuka resleting pintu masuk dan mengintip ke luar. Hari masih siang, tapi dunia di luar sudah gelap seperti malam.
Kemungkinan besar kami akan terjebak di sini selama hari ini, setidaknya begitu pikirku.
Tetesan hujan bahkan nyaris memaksa masuk lewat celah pintu masuk, jadi aku menutupnya kembali dan berbaring di atas sleeping bag.
Dalam waktu singkat ini, aku telah mengetahui masa lalu Nanase dan mengidentifikasi Amasawa sebagai siswa dari White Room.
Namun, itu bukan berarti seluruh misteri sudah tersingkap.
...
Komentar
Posting Komentar
Tulis komentar